Wednesday, June 9, 2010

Kunker dan Cermin Kinerja Anggota DPRD

Di tengah gencarnya sorotan minor masyarakat terhadap perilaku Komisi III DPR RI yang ”membela” Polri dalam kasus ”Cicak versus Buaya”, kalangan DPRD juga membuat sensasi yang tidak beda jauh. Dengan dalih mempelajari produk hukum yang kelak akan diterapkan di daerah asalnya, mereka ramai-ramai melakukan kunjungan kerja (kunker) atau studi banding (stuba) ke luar daerah.
Bisa jadi, kunker yang dijalankan di DPRD Bojonegoro cukup mencengangkan. Dalam rentang waktu tiga bulan, masing-masing komisi (empat komisi) di DPRD Bojonegoro melakukan kunker hingga empat kali. Tujuan kunker mereka tidak hanya di dalam Provinsi Jawa Timur, melainkan juga lintas provinsi. Seperti DKI Jakarta, Jawa Tengah, hingga Kalimantan Timur.
Kunker ke berbagai kota di luar provinsi, yang menghabiskan anggaran miliaran rupiah seolah menjadi tren di masa-masal awal anggota DPRD periode 2009-2014 di berbagai kabupaten dan kota di Jawa Timur. Di DPRD Jawa Timur ”virus” kunker juga menjangkiti. Sebagaimana dilansir oleh Kompas Jawa Timur (edisi 30/10/2009), kunker yang dilakukan anggota DPRD Jatim telah menimbulkan kontroversi di masyarakat, karena dianggap tidak perlu dan terkesan membuang anggaran. Meski disanggah oleh anggota wakil rakyat, publik tetap belum melihat urgensi dan relevansi kunker terhadap peningkatan kinerja anggota DPRD.

Kebingungan
Maraknya kunker yang dilakukan anggota DPRD, menurut penulis, mencerminkan setidaknya dua hal. Pertama, ada kesan mereka mengalami kebingungan dalam memulai kerja sebagai wakil rakyat. Meski standar kerja mereka sudah diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta Tata Tertib (Tatib) dan Kode Etik DPRD, tidak urung cakupan di peraturan perundang-undangan tersebut yang bersifat umum belum dapat memperjelas area kerja mereka, sehingga menimbulkan kebingungan. Sementara, pada saat yang sama, beban tugas dan kerja sudah menumpuk.
Sebagaimana dimaklumi, anggota DPRD kabupaten/kota dan DPRD provinsi diresmikan akhir Agustus 2009. Namun, beberapa hari setelah dilantik, mereka langsung dihadapkan pada beban pekerjaan untuk menuntaskan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2010. Itupun dengan kondisi yang abnormal. Sebab, apabila mengacu pada kalender atau siklus penganggaran dan pembangunan, bulan Agustus seharusnya membahas penyusunan Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) dan penyampaian RKA SKPD kepada DPRD. Bulan September membahas RKA-SKPD, dan bulan Oktober waktunya penyerahan rancangan peraturan daerah (Raperda) APBD dari kepala daerah kepada DPRD.
Akan tetapi, saat ini mereka baru menerima rancangan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS), yang seharusnya diterimakan Juni (masih masa anggota DPRD periode 2004-2009). Sehingga, mereka ketinggalan beberapa tahapan penting yang seharusnya menjadi pijakan dalam pelaksanaan fungsinya sebagai anggota DPRD. Ironisnya, ketertinggalan tahapan penting dalam siklus penganggaran dan pembangunan ini disikapi dengan kunker yang tidak substantif dan menunjang dalam memperpendek jarak ketertinggalan tersebut.
Kedua, kelatahan melakukan kunker menunjukkan kinerja mereka yang tidak mampu, tangkas, dan sigap menghadapi kerja-kerja darurat dan situasi abnormal. Merujuk data KPUD Kabupaten Bojonegoro dan KPUD Jawa Timur, dari 50 anggota DPRD Bojonegoro, 34 orang di antaranya atau 68 persen adalah orang baru, sisanya orang lama. Sedangkan di DPRD Jawa Timur, lebih tinggi. Dari 100 anggota, sebanyak 78 orang (78 persen) adalah orang baru.
Dalam hal-hal tertentu, dominasi orang baru menyisakan masalah, apalagi kalau sebelumnya masing-masing new comers itu tidak membekali diri dengan kemampuan yang dapat menunjang kinerjanya sebagai wakil rakyat. Akan tetapi, alasan itu dapat mentah selama pimpinan dewan mampu mengkonsolidasikan kapasitas dan kemampuan anggotanya untuk mendesain kerangka kerja yang optimal.

Langkah Mendesak
Salah satu kebiasaan buruk yang sering diulang-ulang oleh DPRD adalah tidak disiapkannya rencana kerja (Renja) jangka pendek 1 tahun dan rencana strategis (Renstra) 5 tahun. Belum lama ini penulis sempat berbicara dengan salah satu pimpinan DPRD Bojonegoro. Secara terbuka dia mengakui selama beberapa periode dewan tidak pernah membuat Renja, apalagi Renstra. Kegiatan-kegiatan anggota DPRD lebih banyak bersifat insidental, sporadis, dan reaktif, yang disusun setiap sebulan sekali oleh Badan Musyawarah (Bamus, dulu Panitia Musyawarah/Panmus).
Hakikinya, Renja dan Renstra penting disusun dan dibuat oleh DPRD sebagai acuan dalam menjalankan kinerjanya. Sebab, dalam Renja dan Renstralah DPRD dapat memaklumatkan capaian kerja, luaran, masukan, dan indikator keberhasilan (sekaligus kegagalan) dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai wakil rakyat. Acuan yang ada dalam Renja dan Renstra juga berfungsi sebagai media dan sarana evaluasi serta perbaikan terhadap kerja-kerja yang belum maksimal. Disinilah fungsi monitoring dan evaluasi akan berjalan efektif. Dari kasus ini kita bisa bertanya, bagaimana mungkin kinerja mereka akan dapat terarah dan terukur, baik dalam menjalankan fungsinya sebagai budgeting, legislating, dan controlling, sebagaimana diamanatkan dalam UU 27/2009, kalau Renja dan Renstra tidak pernah mereka miliki? Oleh karena itu, Renja dan Renstra adalah program jangka menengah dan panjang yang harus disiapkan oleh DPRD.
Sementara jangka pendeknya, DPRD harus memaksimalkan waktu yang tersisa (satu bulan setengah) untuk menyusun APBD dengan semaksimal mungkin. Kalaupun sekarang DPRD sudah tertinggal dari siklus penganggaran dan pembangunan, bukan dengan kunker jalan keluarnya. Sebaiknya, untuk mengejar ketertinggalan pemahaman dan pendalaman APBD, DPRD lebih memfokuskan diri melakukan analisa kebijakan dan capaian pelaksanaan urusan wajib pemerintah daerah sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, khususnya pasal 6 dan 7.
Sehingga, hal itu dapat dijadikan bahan untuk optimalisasi peran dan fungsinya sebagai wujud pertanggungjwaban kepada konstituen. Misalnya, komisi-komisi DPRD dapat melakukan pertemuan dengan konstituen secara periodik di daerah pemilihan (dapil)-nya masing-masing. Rasanya, cara ini lebih akuntabel, partisipatif, serta lebih efisien dan efektif, karena tak menyedot anggaran yang besar, tetapi secara substantif tepat sasaran.
Selain itu, di sela-sela pembahasan APBD, DPRD juga perlu menyiapkan diri dengan melakukan capacity building (penguatan kapasitas) dengan meminta masukan dari pakar-pakar serta tenaga ahli untuk melakukan analisa anggaran. Langkah ini penting dilakukan untuk ”menambal” celah kekurangmampuan anggota dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai wakil rakyat. Hal-hal di atas penting dilakukan agar jangan sampai APBD terlambat, sehingga berdampak terhadap dikuranginya dana alokasi umum (DAU) kabupaten/kota dan provinsi. Jika DAU sampai dipotong oleh Menteri Keuangan, yang rugi juga rakyat dan DPRD pasti terkena getahnya. Tentu, kita tidak menginginkannya bukan? (*)

Ujung Sersan Mulyono, 18 November 2009

*) Tayang di Tabloid Suara Banyuurip Edisi 28/II/November 2009.

No comments:

Post a Comment