Wednesday, June 9, 2010

Republik Simbol

Simbol pada hakikatnya merupakan perlambang yang disepakati oleh pemakainya untuk menandai atau mempresentasikan entitas tertentu. Pengertian simbol berkaitan dengan sesuatu yang imanen, hal-hal di dalam dunia nyata yang disatukan ke dalam diri manusia. Misalnya nilai-nilai, norma, aturan, etika, kebiasaan dan lainnya.
Simbol juga merupakan kategori untuk memilih pengalaman manusia (Spradley,1972). Kategori itu diwujudkan dalam bentuk hasil kebudayaan seperti pakaian, rumah, peralatan kerja, citra dan atribut yang kemudian menjadi peta pengertian yang digunakan untuk menafsir tindakan dan peristiwa yang mereka lihat dan hadapi. Manifestasi simbol tak terbatas pada bentuk fisik, tetapi juga nonfisik, seperti bahasa, ilmu pengetahuan yang menyatukan pengertian sesama manusia. Dengan demikian, terdapat hubungan antara simbol dan kebudayaan. Keduanya membawahi manusia dalam kehidupan yang membuat manusia bertanggung jawab atas tindakannya.
****
Akhir-akhir ini kehidupan kita semakin dipenuhi dengan simbol-simbol dan perlambang. Belum hilang dalam memori parade simbol wakil rakyat yang mencitrakan diri sebagai pembela dan penyalur aspirasi, unjuk simbol kembali dijejalkan, memenuhi ruang-ruang privat dan publik. Simbol sebagai pejuang ekonomi kerakyatan, bukan penganut madzhab neoliberalisme, terus didedahkan oleh tiga pasangan capres-cawapres, memenuhi ruang dan waktu kita. Seolah satu dari mereka ingin menegaskan hanya pasangannyalah yang lebih pantas menyandang simbol pejuang ekonomi kerakyatan dan kemandirian bangsa.
Atas nama simbol (Adipura), Siti Khoiyaroh, 4, anak pasangan pedagang kaki lima (PKL), Sumariah dan Mat Naki, mengalami luka bakar berat karena tersiram air kuah bakso panas saat penertiban PKL oleh aparat Satpol PP Surabaya di Jalan Boulevard, depan WTC pada Senin (11/5). Tubuh balita malang ini terbakar mulai perut, punggung, muka, tangan dan kaki. Khoiyaroh akhirnya meninggal dunia di kamar perawatan unit laka bakar (burn unit) RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, pukul 15.15, Senin (18/5).
Beberapa pekan lalu, perwakilan PKL Bojonegoro dipertemukan dengan Dinas Kominfo setempat. Mereka diajak rundingan, mencari solusi terbaik atas penggusuran (penertiban: bahasa birokrasi) PKL yang selama beberapa bulan terakhir ini tidak pernah menemukan titik temunya. Setahun lalu aparat Satpol PP Bojonegoro melakukan penggusuran besar-besaran. Semua pedagang yang berjualan di sepanjang jalan protokol kota Bojonegoro dibersihkan. Lapak dagangannya diratakan dengan tanah. Jerit dan tangis para bunga trotoar yang terenggut sumber penghidupannya, tidak didengar aparat. Telinga dan mata mereka tertutup oleh ambisi simbol dan citra: kota yang bersih, demi meraih Adipura!
Mereka dipindah ke tempat relokasi, bekas bangunan terminal lama Bojonegoro dan di sepanjang Jalan MH Thamrin, Bojonegoro. Harapannya elok, titik relokasi tersebut akan dijadikan sebagai simbol baru: pusat jajanan rakyat Bojonegoro. Mereka dipaksa untuk membentuk pasar sendiri.
Kepindahan para PKL di lokasi yang baru, justru menjadi awal matinya sumur kehidupan mereka. Beberapa pekan setelah berjualan, mereka kolaps. Dengan berbondong-bondong, mereka kembali ke kampung halaman dengan ketidakpastian mau melakukan apa. Angka pengangguran kembali bertambah. Dan negara menjadi penyebab utamanya.
Pengatasnamaan simbol, citra, dan lambang acapkali mendera nurani, mereduksi nilai-nilai kemandirian, kemanusiaan, dan kebudayaan yang sebenarnya tidak mampu dijawab oleh negara. Sumariah dan Mat Naki serta PKL Bojonegoro tidak pernah meminta belas kasihan negara untuk menghidupi anaknya. Mereka hanya meminta negara menyediakan sejengkal tanah, untuk menghidupi dan membesarkan anak-anaknya kelak. Namun, demi angkuhnya simbol dan citra pemerintah yang ”bersih” dan ”baik” mereka dipaksa untuk rela dibersihkan.
Suatu kali, mantan Mendagri dan Otoda M. Ryaas Rasyid pernah berujar, dasar filosofi pemerintah yang baik adalah pemerintah yang tidak suka menggusur. Acontrario-nya, jika filosofi ini dijadikan dasar dari kerangka kerja pemerintah, maka pemerintah yang suka menggusur rakyatnya sendiri adalah pemerintah yang tidak baik. (*)

Bojonegoro, 25 Mei 2009
*) Tayang di Radar Bojonegoro edisi 28 Mei 2009.

No comments:

Post a Comment