Wednesday, June 9, 2010

Mencegah Radikalisme Petani Terulang

Krisis pupuk yang terjadi di berbagai daerah di Jawa Timur mencapai klimaksnya. Dalam dua pekan terakhir ini aksi ”penjarahan” pupuk oleh petani berlangsung di Kabupaten Probolinggo, Ngawi, Bojonegoro, serta beberapa daerah lain. Aksi ini merupakan puncak dari kemarahan petani yang kian kesulitan mendapatkan pupuk. Padahal, saat ini adalah masanya pemupukan untuk musim tanam ketiga tahun ini.
Petani dihadapkan pilihan yang sulit. Di satu sisi, mereka harus segera mendapatkan pupuk, karena jika tidak, ancaman gagal panen dan rugi lebih besar telah terpampang di depan mata. Di sisi lain, petani harus menghadapi kenyataan yang sangat pelik.
Harga pupuk yang ada di pasaran selangit. Di Bojonegoro, misalnya, harga pupuk urea buatan PT Petrokimia Gresik di tingkat pengecer menembus angka Rp 150 ribu per sak (isi 50 kg). Atau, jauh di atas harga eceran tertinggi yang dipatok pemerintah, yakni Rp 60 ribu per sak. Kondisi serupa terjadi pada pupuk jenis serupa untuk produk lain, seperti PT Kalimantan Timur (Kaltim). Di sejumlah daerah, harga pupuk buatan Kaltim mencapai Rp 215 ribu per sak (isi 50 kg). Padahal harga normalnya hanya sekitar Rp 75 ribu per sak.
Kenyataan harga yang mahal dan tiadanya ketersediaan pasokan pupuk itu membuat petani gelap mata. Karena itu, ketika mereka melihat iring-iringan truk bermuatan pupuk bersubsidi melintas di hadapannya, mereka berubah menjadi radikal dan lebih beringas. Mereka tidak punya cara lain, -karena dimana-mana kios menyatakan pupuk habis, selain beramai-ramai menghadang truk dan membeli secara paksa pupuk yang hendak dikirim ke daerah lain.
Dalam konteks ini, apa saja yang melandasi petani yang semula berperilaku santun dan nir-kekerasan, mendadak berubah menjadi radikal? Apa yang diperlukan supaya kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang?

Kesenjangan
Apabila kita cermati, ada beberapa hal yang membuat petani melakukan tindakan-tindakan yang sebenarnya bukan merupakan watak asli dari kaum agraris. Pertama, petani merasa letih lantaran telah bertahun-tahun terus diombang ambingkan dengan keadaan. Derita mereka tidak hanya berlangsung di saat musim tanam, yang ditandai dengan langka dan mahalnya pupuk. Saat panen pun, hasil kerja kerasnya di sawah tidak sebanding dengan cost produksi dan keringat yang dikucurkan. Saat musim panen harga gabah kering sawah (GKS), misalnya, hanya berkisar Rp 1.750 per kg. Harga itu jauh di bawah harga beras yang tiga kali lipat di atasnya. Dari sisi nilai keekonomisan, hasil panen tersebut jauh dari kata sebanding dengan biaya produksi maupun upah dari kerja kerasnya selama empat bulan.
Kedua, petani hanya dibuat tergantung dengan produk-produk pupuk yang dibuat oleh produsen. Saat sawah masih subur, petani disarankan memakai pupuk berbahan kimia. Tetapi kini, saat unsur hara tanah milik petani kian menipis dan ketergantungan terhadap pupuk kimia masih cukup tinggi, mereka ”dipaksa” beli pupuk organik yang menurut petani sendiri kualitasnya kurang bagus. Petani tidak punya pilihan. Pupuk organik tersebut harus dibeli, karena satu paket dengan pupuk kimia lainnya. Mereka pun merasa dipermainkan.
Ketiga, kurang maksimalnya fungsi distributor dan pengecer pupuk sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 03/M-DAG/PER/2006 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Dalam bagian kedua pasal 10 permendag tersebut dijelaskan, salah satu tugas dan tanggung jawab distributor adalah
”Menjamin persediaan minimal pupuk bersubsidi di wilayah tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan selama 1 (satu) minggu ke depan sesuai dengan rencana kebutuhan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian.” Sementara, pada bagian ketiga pasal 11 ditegaskan, bahwa ”Pengecer bertanggung jawab dan menjamin persediaan atas semua jenis pupuk bersubsidi di wilayah tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh distributor.”
Faktanya, regulasi itu belum berlaku maksimal. Setiap masa tanam dimulai, petani sering kesulitan mendapatkan pupuk. Keadaan ini akhirnya memunculkan negative thinking di kalangan petani. Mereka menduga ada penyelewengan pupuk. Buruk sangka inilah yang pada akhirnya memicu kesenjangan ekonomi dan berujung pada kekerasan (radikalisme).
Jadi, ada benarnya Gabriel Demombynes dan Berk Ozler dalam artikelnya, crime and local inequality (World Bank, 2002), yang memberikan paparan tentang hubungan antara kesenjangan lokal dengan kejahatan terhadap harta (property crime) dan kekerasan terhadap diri (violent crime). Dalam studinya (tidak disebutkan tahunnya) di Afrika Selatan, mereka menemukan fakta bahwa tingkat perampokan dilaporkan lebih tinggi 20 persen-30 persen di wilayah hukum kepolisian pada daerah yang lebih kaya dibandingkan dengan wilayah sekitarnya. Temuan ini konsisten dengan teori ekonomi terkait dengan hubungan antara kesenjangan dengan kejahatan terhadap harta benda dan teori sosial tentang kesenjangan yang memicu kejahatan secara umum.

Tawaran
Untuk menghindari radikalisme petani kembali terulang, setidaknya, menurut penulis, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, distributor, pengecer, pemerintah daerah dan pihak-pihak lain yang terkait harus benar-benar jujur dalam distribusi pupuk. Sekilas memang terdengar klise. Tetapi, disadari atau tidak, ketidakjujuran akan membuat kesenjangan sosial dan ekonomi di kalangan petani yang berujung kekerasan akan terpantik. Jangan sekali-kali membohongi petani dengan mengatakan tak ada pupuk, sementara di waktu bersamaan melarikan pupuk ke daerah lain.
Kedua, pemetaan (mapping) dan perencanaan kebutuhan untuk lahan pertanian yang membutuhkan pupuk bersubsidi harus dilakukan dengan cermat dan terukur, serta mengacu kalender musim. Fakta di lapangan menunjukkan, selama ini pupuk banyak yang lari ke lahan di kawasan hutan yang sebelumnya tidak masuk dalam pemetaan. Kondisi ini juga turut memicu kelangkaan pupuk. Idealnya, pemetaan ini melibatkan aparat di tingkat desa, --tidak hanya PPL, karena mereka yang tahu persis kondisi di lapangan.
Ketiga, ketegasan aparat terhadap pelaku penyelewengan pupuk. Law enforcement perlu diterapkan dengan sungguh-sungguh. Banyak terjadi di lapangan pihak-pihak terkait sengaja menjual pupuk bersubsidi ke luar daerah dengan maksud mencari keuntungan yang lebih besar. Dari segi bisnis, mencari keuntungan yang besar tidak salah. Tetapi, karena pupuk merupakan produk dalam pengawasan, tindakan ini harus dicegah oleh aparat. Jika hal itu dibiarkan, (sekali lagi) akan memicu kesenjangan dan berujung radikalisme.
Keempat, pemerintah daerah harus intensif melakukan penyuluhan kepada petani terkait pentingnya berhemat dan menabung pupuk. Tidak bisa dipungkiri, sebagian petani boros menggunakan pupuk. Menurut rumus pertanian, setiap satu hektare (ha) sawah hanya membutuhkan 250 kg urea. Tetapi, ada juga petani yang menggunakan pupuk hingga 300 kg urea untuk satu ha sawah. Ada kelebihan 50 kg. Taruhlah, jika satu kecamatan ada 100 petani boros pupuk, berarti ada 5 ton urea yang terbuang. Belum lagi satu kabupaten atau satu provinsi. Perilaku ini harus segera diubah dengan pendekatan-pendekatan halus. Selain itu, petani juga perlu diajari menabung pupuk. Kecenderungan petani, biasanya mereka beli pupuk saat musim tanam dimulai karena tidak punya cukup uang untuk menabung pupuk. Di sinilah diperlukannya peran dinas pertanian, bisa melalui KUD atau kelompok tani, untuk mendorong adanya kredit pupuk. Hal ini juga penting untuk mengantisipasi terjadinya kelangkaan pupuk.
Kelima, kembali ke pupuk organik, back to nature. Seyogyanya, pemerintah daerah juga harus mendorong penggunaan pupuk alam. Penyadaran menipisnya unsur hara yang bisa mengurangi tingkat kesuburan tanah perlu terus dilakukan oleh PPL dan aparat desa. Langkah ini perlu juga diimbangi dengan pelatihan-pelatihan pembuatan pupuk alam dengan peserta dari kalangan petani, yang dilakukan secara berkelanjutan. Memang, untuk mengembalikan hara tanah kembali seperti semula, membutuhkan waktu lama. Tetapi, ini pilihan mendesak yang perlu dilakukan dengan segera selagi masih ada waktu. Agar tanah kembali menjadi sumber kehidupan yang layak dan menyejahterakan petani. Semoga. (*)

Ujung Kulon Jawa Timur, 30 November 2008

*) Tayang di Harian Kompas Jawa Timur, edisi 03 Desember 2008

No comments:

Post a Comment