Wednesday, June 9, 2010

Mengembalikan Khittah Demokrasi

ADA dua hal penting yang menyedot perhatian khalayak dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 tanggal 9 April yang baru saja berlalu. Dua hal itu adalah angka golongan putih (golput) yang kian tinggi dan money politics (politik uang) yang semakin menggiriskan dan memprihatinkan. Term golput menjadi pembahasan utama dalam ruang-ruang diskusi politik, karena angka golput dalam pileg lalu, --mengacu rilis quick count (hitung cepat) sejumlah lembaga survei, mencapai rekor tertinggi dalam sejarah pelaksanaan pemilu di tanah air: sekitar 30 persen.
Angka golput, dihitung dari pemilih yang tidak datang dan suara tidak sah, dalam Pemilu 1955 mencapai 12,34 persen. Sementara dalam Pemilu 1971 (6,67 persen), Pemilu 1977 (8,40 persen), Pemilu 1982 (9,61 persen), Pemilu 1987 (8,39 persen), Pemilu 1992 (9,05 persen), Pemilu 1997 (10,07 persen), Pemilu 1999 (10,40 persen), Pileg 2004 (23,34 persen), Pilpres tahap I (23,47 persen), Pilpres II (24,95 persen). (Kompas, 14/4/2009)
Meskipun relatif lebih sedikit dibandingkan prediksi berbagai kalangan sebelumnya yang menyebut angka 40 persen, golput pada pileg kali ini tetaplah hal yang memprihatinkan. Apalagi, di waktu bersamaan praktik politik uang di masyarakat sudah mencapai taraf yang mengkhawatirkan.
Dalam pileg kemarin, intensitas lalu lintas politik uang nyaris tanpa kontrol. Masyarakat pemilih dengan bebas dan tak terbatas menghimpun pemberian uang yang dilakukan oleh para caleg dan parpol peserta pemilu. Catatan penulis, jumlah rupiah yang diberikan bervariasi. Antara Rp 5.000 hingga Rp 25.000 per orang, bahkan terkadang lebih. Rakyat menikmati betul pesta lima tahunan ini.
Mereka tidak hanya bisa menerima pemberian uang dari caleg partai A. Melainkan juga tidak segan-segan menerima pemberian dari caleg partai B, atau bahkan caleg partai C. Perilaku sebagian rakyat semakin transaksional. Sebagian rakyat berprinsip, siapa yang memberikan uang banyak, dialah yang akan kami pilih.
Menjadi tidak mengherankan kalau kemudian caleg melakukan segala cara untuk mendapatkan suara dari rakyat. Segala yang dimilikinya dikeluarkan, demi ikut membeli suara yang ”dilelang” rakyat secara terbuka. Untuk memperebutkan satu kursi di DPRD Bojonegoro, seorang caleg rata-rata rela mengeluarkan dana puluhan hingga ratusan juta rupiah. Bahkan, ada seorang caleg yang sudah menghabiskan dana Rp 1,4 miliar demi berburu satu kursi di DPRD kabupaten!
Meningkatnya angka golput dari pemilu ke pemilu dan kian memprihatinkannya praktik politik uang tidak cukup membuat kita hanya instropeksi. Harus ada tindakan nyata kalau menginginkan demokrasi berjalan sesuai dengan relnya.

Tanggung Jawab Semua Pihak
Tak dapat disangkal bahwa masyarakat semakin pragmatis dalam menyikapi momentum suksesi, baik pilkades, pemilu kepala daerah, pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Akan tetapi, menjadi tidak arif dan bijaksana kalau rakyat semata yang disalahkan akibat
maraknya perilaku transaksional itu, tanpa dicari tahu akar persoalannya. Masyarakat berperilaku demikian sebagai ganti rugi dan hukuman akibat sering dilupakannya aspirasi yang mereka titipkan kepada para caleg maupun kandidat kepala daerah dan presiden.
Sementara di sisi lain, para kandidat caleg juga sambat dengan semakin liarnya perilaku politik uang. Mereka mengalami dilema. Kalau tidak melakukan politik uang, dukungan yang diharapkan dapat dipastikan hilang. Sementara, jika mengikuti arus umum, meski sebenarnya mereka sudah merasa sebagai sapi perahan, uang mereka akan terkuras habis.
Itupun masih belum pasti mereka menjadi anggota legislatif. Ini seperti sebuah lingkaran setan yang sulit untuk menemukan sekaligus memutus titik simpulnya.
Dibutuhkan tanggung jawab semua pihak untuk bersama-sama menghentikan, setidaknya mengurangi, perilaku yang tidak mendidik tersebut. Sebab, dalam Pemilu 2014 diprediksi jumlah parpol peserta pesta demokrasi tersebut diprediksi menyempit, sebagai imbas dari diterapkannya parliamentary treshold (PT) 2,5 persen suara sah secara nasional seperti diamanatkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Jika tidak diantisipasi sejak dini, maka dampak ”negatif” menyempitnya jumlah parpol peserta Pemilu 2014 hanya akan menjadikan posisi tawar dan harga suara rakyat semakin mahal. Sebab, tidak menutup kemungkinan rakyat akan berlomba-lomba meningkatkan tarif suaranya di mata caleg dan parpol. Pada titik yang sama, caleg dan parpol langsung menyambut transaksi tersebut dengan harga kompetitif. Pada titik inilah makna substansi demokrasi tercerabut dari akarnya. Isyarat SOS patut dikibarkan, akibat terancamnya keberlanjutan demokrasi yang sesungguhnya.

Revolusi Pola Pikir Politik
Tak ada jalan lain, revolusi mindset (pola pikir) politik rakyat harus dikembalikan kepada khittahnya, dengan pertama, parpol harus bahu membahu melakukan pendidikan politik substansial. Selama ini, fungsi parpol sebagai tutor akan pentingnya proses politik dalam membentuk negara sudah hilang. Artikulasi politik dan penghargaan terhadap konstituen hanya dilakukan pada saat momentum pemilu dekat. Tentu, titik tekan pendidikan politik dari parpol ini harus disertai dengan politik teladan, ada kesamaan antara yang diucapkan dengan yang dikatakan, bukan hanya lip service semata.
Politik teladan juga bisa dimaknai dengan jujur menyampaikan apa adanya kepada publik terkait fungsi wakil rakyat. Selama kampanye pileg lalu, masyarakat dibodohi oleh janji para caleg yang akan memprogramkan bla bla bla. Padahal, jika mengacu UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, pasal 41, fungsi utama DPR/DPRD adalah hanya tiga. Yakni, pembuatan peraturan (legislating) perundang-undangan, termasuk peraturan daerah; ikut merancang (budgeting) terhadap APBN/APBD yang diusulkan eksekutif; dan pengawasan (controlling) pada pelaksanaan pembangunan, pemerintahan, dan pelaksanaan peraturan/perda. Tidak ada penyebutan dewan mempunyai kewenangan memprogramkan pembangunan. Eksekusi program tetap di tangan eksekutif. Hal inilah yang perlu disampaikan secara jujur kepada rakyat, agar tidak ada pengkhianatan aspirasi di kemudian hari.
Kedua, organisasi masyarakat sipil (OMS), dalam hal ini mahasiswa, pers, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan, dan tokoh agama, juga perlu melakukan hal yang sama. Pendidikan politik tidak bisa dibebankan hanya kepada parpol, karena sudah kian akutnya pola pikir politik masyarakat. Yang terpenting ditekankan oleh OMS adalah lebih kepada substansi politik sebagai pilar terbentuknya welfare society (negara berkesejahteraan)-nya, bukan praksisnya. Term praksis politik biarlah dilakukan oleh parpol dan kadernya.
Pers juga perlu demikian. Gencarnya pers memberitakan caleg yang gagal, lantas menjadi stres pada titik-titik tertentu sebenarnya kurang mendidik. Efek negatif dari pemberitaan ini akan menyelipkan kesan bahwa politik adalah mengerikan dan menakutkan. Memang, dari sisi news value (nilai berita), kejadian tersebut tergolong penting dan menarik (Asep Syamsul M. Ramli, 2003). Akan tetapi, dampak panjangnya yang dapat membuat rakyat paranoid dan antipati terhadap politik, perlu dipertimbangkan lebih jauh. Tentu ini tidak diinginkan karena itu langkah mundur yang luar biasa dan membahayakan demokrasi.
Ketiga, panitia pengawas pemilu (panwaslu) harus tegas, konsisten, adil, dan kontinyu dalam memerangi perilaku politik uang. Selama Pileg 2009 lalu, panwaslu cukup tegas memerangi politik uang, tetapi masih menyisakan kesan tebang pilih. Hanyalah parpol tertentu yang ditindak. Pengawasan terhadap money politics sebaiknya juga tidak hanya difokuskan pada parpol dan caleg, masyarakat pemilih juga perlu diawasi.
Agar tercipta pemilihan yang bersih, pengawasan perlu ditingkatkan di level yang lebih bawah. Pilkades adalah momen yang tepat untuk membersihkan politik uang dari lapisan dasar. Pengawas pemilu lapangan (PPL), yang selama pileg lalu melakukan pengawasan pemilu di tingkat desa, adalah lembaga yang tepat untuk melakukannya. Agar mereka tak hanya bertugas saat pemilu, tetapi juga diberi kelonggaran wewenang untuk melakukan pengawasan pilkades. Terobosan ini penting untuk dimulai. Untuk menciptakan sistem keteraturan dan ketertiban sosial, diperlukan ketegasan dalam menegakkan aturan.
Keempat, untuk membersihkan anasir-anasir korupsi yang menyebabkan rakyat tidak percaya terhadap politik, harus dilakukan ketegasan sanksi dan hukuman terhadap setiap penyelenggara negara dan pemerintah daerah. Domain ini ada di tangan KPK, kepolisian, kejaksaan, lembaga peradilan, dan Badan Kehormatan (BK) DPR/DPRD. Hilangnya trust (kepercayaan) rakyat terhadap politik, karena hukum sudah tidak mampu menjangkau elit parpol dan pejabat yang melakukan korupsi. Hukum masih berlangsung tebang pilih. Ini harus segera diakhiri.
Begitu juga dengan BK. Selama ini keberadaan BK hanya formalitas, tidak mampu menjerat dan menindak anggota dewan yang bolos sidang atau pelanggaran etik lainnya. Ada dan tiadanya BK nyaris tak ada bedanya. Kalau kendalanya adalah aturan, bukankah aturan itu mereka juga yang membuatnya? Disinilah diperlukannya kesadaran moral untuk merubah pola pikir politik tersebut dimulai dari diri (lembaga) sendiri. Selama itu tidak dilakukan, nantikan saja republik ini perlahan demi perlahan akan berubah menjadi negeri kanibal (saling makan sesama teman). Kini, kita hanya mempunyai dua pilihan: membiarkan negeri ini menjadi kanibal atau mengembalikan khittah demokrasi? (*)

Bawah Titian, 19 April 2009

*) Tayang di Radar Bojonegoro halaman 34, edisi 26 April 2009.

No comments:

Post a Comment