Wednesday, June 9, 2010

Memuliakan Bahasa Jawa

BAGI kita orang Jawa, khususnya Jawa Timur, tentu akan miris dengan fakta mengenai semakin menyusutnya urgensitas bahasa Ibu (bahasa daerah). Unesco (badan PBB untuk pendidikan, sains, dan kebudayaan) merilis laju kepunahan bahasa Jawa dilaporkan sudah mencapai 4,1 persen. Angka kematian tersebut nyaris dua kali lipat bahasa Bali yang tercatat 2,1 persen. Bahkan, pada akhir abad XXI, bahasa-bahasa daerah di seluruh dunia diprediksi hanya bakal tersisa 10 persen. (Kompas, 21 Februari 2009).
Sinyalemen Unesco tersebut harus menjadi pelajaran sekaligus warning berharga bagi kita semua. Sebab, bahasa daerah adalah jembatan komunikasi peradaban dan budaya masa lalu dengan sekarang. Bahasa daerah akan menjadi referensi yang akan menuntun kita untuk menemukan entitas-entitas peradaban masa lalu, untuk dikembangkan menjadi strategi sosial di masa kini.
Tidak bisa dibayangkan bagaimana bakal ikut punahnya peradaban menyusul semakin tersingkirnya bahasa Ibu, karena lembaga sekolah saat ini merasa lebih bergengsi dengan menempatkan bahasa asing, sebagai bahasa yang wajib untuk dipelajari. Narasi ini bukan berarti penulis tidak menginginkan masa depan bangsa ini terus tertinggal dengan bangsa lain, sehingga mengapa mempelajari sains dan bahasa asing tetap penting juga dilakukan sebagai pengantar dan jembatan untuk meraih kepentingan global.
Akan tetapi, bangsa yang bijak adalah bangsa yang menggapai masa depan dengan tetap menapakkan kakinya di bumi. Maksudnya, boleh saja berpendidikan modern dan tinggi, tetapi warisan leluhur yang sedemikian hebatnya tidak boleh dicampakkan begitu saja. Jangan kita membiarkan masa depan generasi menjadi bangsa yang tercerabut dari akar budaya dan identitasnya.
Bukankah sudah tampak tanda-tanda bahwa bangsa kita mulai kehilangan jati diri bahasa ibu dengan tiadanya kesopansantunan anak didik? Kiranya sangat diperlukan instropeksi atas penanda. Dulu, saat kita masih kecil, tentu diajari bahasa Jawa yang penuh dengan nilai-nilai adiluhung. Ada stratifikasi bahasa (krama inggil dan madya) yang digunakan antara kepada orang yang lebih tua, sebaya, dan lebih muda.
Diakui memang, dalam hal-hal tertentu, stratifikasi bahasa menimbulkan jarak. Namun, disadari atau tidak, pembiasaan untuk menggunakan stratifikasi bahasa itu membuat kita terlatih untuk memperlakukan orang-orang di sekitar kita dengan sebagaimana baiknya. Sehingga pada akhirnya pembiasaan ini membuat kita memiliki perilaku yang santun dengan siapapun, tidak peduli kepada yang lebih muda, sebaya, maupun lebih tua.
Akan tetapi, ruh itu kini telah hilang. Tidak adanya semangat bersama dari para pejabat pemegang pemerintahan di negeri ini mengakibatkan bahasa daerah yang sarat makna itu nyaris punah. Dan kita masih punya waktu untuk menyelamatkan aset leluhur sekaligus benteng untuk generasi muda tersebut.
Jepang adalah contoh yang baik untuk diteladani bagaimana mengadopsi keseimbangan antara teknologi dengan penghargaan atas khazanah budaya lokal. Sejarah membuktikan, ketika Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh sekutu (Amerika Serikat) pada 1945, Jepang hancur berkeping-keping. Saat itu pemerintah Jepang tidak mencari jumlah tentara yang masih hidup, tapi yang dicari adalah ada berapa guru yang masih hidup.
Artinya, untuk membangun Jepang kembali (ketika itu) belum terlalu diperlukan melalui tentara yang tangguh, namun lewat pendidikan bermutu yang tetap mengadopsi mental-mental tangguh dan merdeka, bukan mental pengecut dengan tetap menghargai khazanah budaya lokal. Mereka tak mengganti kekaisaran yang merupakan simbol Dewa Matahari (Ameterasu Omikomi) yang sangat dihormati dalam tradisi klasik Jepang, dengan negara demokrasi modern, sebagai bentuk ketertundukan kepada sekutu.
Simbol Dewa Matahari dan simbol lain seperti huruf Kanji, tetap dipertahankan. Justru simbol-simbol tersebut digunakan sebagai medium pemersatu, untuk membangun lagi kekuatan Jepang. Simbol-simbol budaya dan kearifan lokal itu tetap dibutuhkan Jepang sebagai fondasi dan benteng moral peradaban dalam membangun. Upaya tersebut pada akhirnya berhasil membawa kembali negara Jepang bangkit dari keterjerembaban sejarah dan melesat bagai meteor. Bahkan, mereka mampu menjadi negara yang disegani dalam segala bidang, terutama iptek dan industri, di dunia modern.

Memelihara Aset
Seyogyanya, aset adiluhung itu bisa mulai pelihara kembali dengan mendorong pejabat kekuasaan, baik di level provinsi maupun kabupaten/kota di Jawa Timur untuk mem-proteck kelestarian bahasa ibu itu melalui regulasi-regulasi dalam bentuk peraturan bupati/wali kota, atau bila perlu via peraturan daerah (perda). Adanya UU Otonomi Daerah seharusnya menjadi spirit untuk melahirkan kebijakan perlindungan terhadap aset leluhur tersebut.
Selain itu, pejabat pemerintahan daerah, baik pemprov, pemkab, maupun pemkot, harus mulai membumikan kembali pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah, sejak dini (playgroup) hingga memasuki usia remaja. Fakta yang terjadi kini, bahasa daerah untuk SD di tingkat awal sudah dikurangi intensitasnya. Euforia globalisasi boleh saja. Namun, mengesampingkan bahasa daerah secara dini hanya gara-gara terlalu memberi porsi yang lebih besar kepada bahasa asing, adalah sebuah perjudian besar peradaban masa lalu dan benteng masa mendatang.
Sekilas, terkesan klise. Namun, apabila menggunakan mata hati, kita akan mengetahui bahwa kecerdasan berfikir tanpa dibarengi dengan kesehatan mental dan emosional serta penghormatan (pelestarian) terhadap khazanah budaya lokal (local wisdom) dari para leluhur yang telah memberikan sumbangsih peradaban, hanya akan melahirkan pejabat yang bermental korup dan generasi-generasi despotik yang justru bakal menyengsarakan rakyat di kemudian hari. Di luar dua hal tersebut di atas, upaya-upaya workshop, festival, dan lomba-lomba sastra Jawa tetaplah diperlukan supaya ritme khazanah budaya tetap terjaga dan membumi.
Sudah saatnya kita memperbaiki pendidikan bangsa kita, tidak hanya pada otaknya, melainkankan juga mental dan tindakannya. Tidakkah ini yang seharusnya kita lakukan agar bangsa ini maju, tetapi tetap bermartabat? (*)

Bawah Titian, 18 Desember 2009

*) Tayang di Tabloid Suara Banyuurip Edisi 30/II/Januari 2010

No comments:

Post a Comment