Wednesday, June 9, 2010

Refleksi Harlah Ke-83 Nahdlatul Ulama Mengembalikan Spirit Asasi NU

Salah satu spirit KH M. Hasyim Asy’ari dan KH A. Wahab Hasbullah saat mendirikan NU (Nahdlatul Ulama) pada 31 Januari 1926 silam adalah semangat anti kolonialisme dan pemiskinan yang membumbung tinggi. Ada kesadaran dari beliau berdua untuk terus berjuang menggugah semangat masyarakat Indonesia untuk menyadari hak-hak politik mereka untuk merdeka bebas dan penjajahan. Menurut kedua beliau, kolonialisme asing hanya bisa dilawan dengan gerakan kebangkitan nasional (M. Ishom Hadzik, 1999).
Semangat menolak segala bentuk penjajahan, baik fisik mau pun mental, menjadi ruh dan dasar dalam setiap gerakan NU. Sejarah mencatat, melalui resolusi jihad yang dikumandangkan Rais Akbar NU KH M. Hasyim Asya’ari pada 10 November 1945 untuk mempertahankan kemerdekaan RI, mampu menggelorakan arek-arek Suroboyo untuk melawan penjajahan yang dilakukan serdadu Inggris. Resolusi ini mampu menjadi spirit untuk menolak segala bentuk penjajahan yang datang dengan model baru sekalipun.
Dalam perkembangannya, spirit menolak bentuk penjajahan, termasuk kolonialisasi hak politik di kalangan masyarakat, khususnya di keluarga besar nahdliyin, mengalami suatu pergeseran, untuk tidak mengatakan berubah drastis. Pengejawantahan nilai-nilai NU sebagai kekuatan kultural yang mampu menjadi fondasi masyarakat sipil di Indonesia, lebih banyak dilakukan melalui gerakan-gerakan politik praktis.
Ironinya, modal politik ini tidak malah menjadikan NU sebagai kekuatan penyeimbang yang mampu mempengaruhi keputusan-keputusan penting negara. Melainkan, malah memposisikan NU sebagai ”bemper” politik, dan sesekali sebagai ”tumbal” politik dalam berbagai konstalasi pesta demokrasi.
Pemilihan gubernur-wakil gubernur (pilgub) Jawa Timur yang baru usai beberapa waktu lalu hanyalah salah satu contoh bukti betapa nahdliyin (baca: elit NU) selalu tak berdaya untuk menahan syahwat politiknya. Majunya dua kader NU di babak final pilgub, yakni Khofifah Indar Parawansa (pasangan Mudjiono, Kaji) dan Saifullah Yusuf (pasangan Soekarwo, Karsa), menunjukkan bukti masih kuatnya bias pemahaman terhadap tujuan politik NU. Sebab, jamak diketahui elit-elit NU terbelah. Banyak tokoh NU mendukung pasangan Karsa, tetapi tidak sedikit pula yang mem-back up pasangan Kaji.
Namun, yang menjadi ”tumbal” lagi-lagi adalah NU. Sebab, akibat gesekan politik itu konsolidasi nahdliyyin tak pernah terjadi, karena Khofifah Indar Parawansa dan Saifullah Yusuf sejatinya ”ibu-anak”. Khofifah adalah ketua umum PP Muslimat (ibu-ibunya NU), sementara Saifullah merupakan ketua umum PP GP Ansor (pemudanya NU).

Bias Tujuan Politik NU
Jika dicermati lebih jauh, terjadinya pemahaman berbeda tentang garis perjuangan NU dalam kasus pilgub di atas adalah karena adanya ketidaksamaan interpretasi tentang tujuan politik NU. Dalam banyak literatur tentang NU disebutkan bahwa organisasi yang didirikan pada 83 tahun silam ini memang menjamin upaya-upaya peningkatan kondisi sosio ekonomi pendukung tradisionalisnya.
Tujuan itu kadang-kadang tersirat dalam literatur NU, tetapi jarang dibahas secara terang-terangan. Meski demikian, pentingnya motivasi politik ini terlihat lebih jelas daripada forum-forum dalam partai maupun korespondensi internal partai.
Secara lebih jelas Greg Fealy (2003) menyatakan, tujuan politik NU terdiri dari tiga bagian utama. Pertama, menyalurkan dana pemerintah kepada masyarakat NU, terutama untuk peningkatan fasilitas pendidikan dan keagamaan seperti pesantren, madrasah, dan juga membangun atau merawat pranata sosial seperti klinik kesehatan, panti asuhan, dan balai pertemuan.
Kedua, berusaha mendapatkan peluang bisnis dari pemerintah bagi NU dan para pendukungnya. Peluang ini akan memberikan keuntungan langsung kepada mereka yang mampu mendapat kedudukan dan dianggap dapat membantu Islam dan umat pada umumnya. Ketiga, mendapatkan kedudukan bagi anggota NU dalam birokrasi. Setelah kemerdekaan, birokrasi dipandang sebagai jalan menuju mobilitas dan status sosial. Masuknya muslim tradisional dalam birokrasi dipandang akan meningkatkan kedudukan NU di masyarakat Indonesia, sekaligus memperkuat suara umat di kalangan pemerintah.
Masalahnya adalah apa yang dilakukan masing-masing elite NU dalam mendukung pasangan Kaji maupun Karsa, sudah merasa sesuai dengan tujuan politik NU, khususnya yang ketiga. Masing-masing kubu menganggap pihaknya tidak salah, memiliki otoritas dan lebih pantas untuk mewakili tujuan politik NU: meningkatkan kedudukan nahdliyyin di masyarakat Indonesia.
Tetapi faktanya, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Kalangan grassroots nahdliyyin menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh dua kubu elite NU tersebut tidak lebih merupakan untuk kepentingan politik pribadi masing-masing, bukan tujuan politik NU yang sebenarnya.
Jika kondisi ini tidak segera disadari dan dijadikan bahan evaluasi dan refleksi, dalam waktu yang tak terlalu lama NU akan semakin ketinggalan kereta. Hanya dibutuhkan suaranya saja saat ada momentum suksesi. Hanya dibutuhkan untuk mendorong mobil mogok. Setelah mobil jalan, pendorong ditinggal.

Tantangan
Dari beberapa permasalahan di atas, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh NU secara institusi untuk melakukan pembenahan. Pertama, NU harus berani merumuskan kembali tujuan politiknya. Terjadinya bias pemahaman terhadap tujuan politik NU, adalah buah dari kurang konkretnya instrumen-instrumen yang harus disiapkan untuk mencapai tujuan politik tersebut. Dan, forum serta momen yang tepat untuk merumuskan tujuan politik NU kembali adalah Muktamar NU 2009. Hal ini dengan asumsi apabila Muktamar NU 2009 tidak molor, karena Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi saat ini, terpilih dalam Muktamar 2004 di Donohudan, Solo, Jawa Tengah.
Kedua, NU harus tegas memberikan sanksi, di semua jajaran struktural, terhadap segala bentuk pelanggaran garis perjuangan NU. Misalnya, harus segera mundur dari jabatan strukturalnya apabila terlibat jauh dalam politik praktis. Selama ini, sanksi yang diberikan terhadap pelanggar garis perjuangan, yang membawa NU masuk terlalu dalam di wilayah politik praktis, tidak jelas serta masih terkesan malu-malu dan segan.
Sikap ini idealnya harus dibuang jauh-jauh, mengingat ke depan ada banyak momentum yang rawan menimbulkan godaan-godaan politik yang menggiurkan. Antara lain momen Pemilu 2009, baik pemilihan anggota legislatif (pilleg) maupun pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres).
Ketiga, melakukan penguatan kembali basis ekonomi dan sosial. Disadari atau tidak, ikut larutnya NU dalam hiruk pikuk politik yang sesekali dibumbui konflik (ingat kasus PKB dan PKNU), membuat basis massa NU yang kebanyakan dari kalangan islam tradisional terabaikan. Pilihan ini harus fokus digarap NU dan badan otonomnya. Apalagi ke depan NU mau tidak mau akan dihadapkan tantangan krisis global yang imbasnya mulai terasa.
Sekiranya tiga hal di atas mampu dilakukan secara sungguh-sungguh, penulis yakin wibawa kelembagaan NU akan terjaga. Ketegasan sikap terhadap pelanggar khittah dan tujuan politik NU, serta pengetatan rambu-rambu yang masuk ranah politik akan membuat organisasi ini kokoh dan lebih disegani sebagai organisasi masyarakat sipil, sebagai penjaga gerakan kultural di negeri ini.
Sudah saatnya pula NU kembali kepada ruh awal (asasi) pendirian organisasi ini pada 83 tahun silam: menciptakan spirit pembebasan dari berbagai belenggu. Jika 1926 spiritnya adalah bebas dari segala bentuk penjajahan fisik, sekarang ruhnya adalah bebas dari penjajahan mental, serta kemiskinan struktural dan kultural. Masalahnya, siapkah NU melakukan hal tersebut?
Bawah Titian, 30 Januari 2009

*) Tayang di Radar Bojonegoro edisi 1 Februari 2009, halaman 30.

No comments:

Post a Comment