KALAU ada pihak yang meragukan konstribusi penulis-penulis perempuan (sebutan perempuan lebih memiliki daya ”lawan” daripada wanita) dalam jagad pertulisan Indonesia, rasanya anggapan tersebut perlu ditinjau ulang. Faktanya, Indonesia semakin kaya dengan penulis yang lahir di era 1970 an atau sebelumnya.
Di ranah fiksi, mulai cerpen hingga novel, banyak nama terkenal akhir-akhir ini. Sebut saja Lan Fang, yang novel teranyarnya, Ciuman di Bawah Hujan, laris di pasaran. Atau, Ayu Utami yang kondang dengan Saman-nya, Dewi Lestari dengan Supernova, maupun Djenar Maesa Ayu melalui Mereka Bilang Saya Monyet!. Juga ada nama Rieke Dyah Pitaloka, Dinar Rahayu, dan Rachmania Arunita, yang juga ikut mewarnai peran-peran perempuan dalam khazanah kepenulisan di Indonesia.
Yang menarik, karya-karya perempuan muda tersebut dinilai kontroversial oleh sejumlah pihak karena berani mendobrak hal-hal yang selama ini tabu dan menjadi meanstream umum di Indonesia. Kebanyakan dari penulis-penulis tersebut mengusung semangat ”kiri” (perlawanan) terhadap lingkungan sosialnya. Mulai tema-tema tentang intoleransi beragama, kritik terhadap struktur kemapanan sosial dan negara yang semakin hegemonik hingga seksualitas semu, meskipun ada juga yang tetap mengusung semangat percintaan anak-anak muda kontemporer .
Novel Ciuman di Bawah Hujan karya Lan Fang, misalnya. Novel tersebut menceritakan tentang kisah cinta Fung Lin, seorang mantan wartawan yang mencoba menulis novel, dengan Rafi, seorang anggota DPR. Sebelum dengan Rafi, Fung Lin juga berteman akrab dengan Ari, yang sama-sama sebagai anggota DPR. Menariknya, meski mengambil setting cinta yang di luar meanstream umum, Lan Fang tetap memunculkan sentilan dan kritik-kritik terhadap anggota DPR dan perilaku-perilaku politik yang dianggap menyimpang dari koridor wakil rakyat yang ideal.
Nama-nama di atas adalah penulis di ranah fiksi. Di ranah fakta dan ”berat”, juga muncul penulis (yang akademis) perempuan yang sangat berpengaruh. Nama Prof. Dr. Siti Musdah Mulia adalah salah satu di antaranya. Prestasi dosen pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga sangat mengagumkan. Siti Musdah Mulia pernah meraih penghar-gaan sebagai Women of the Year 2009 dari Il Premio Internazionale La Donna Dell ‘Anno (International Prize for the Woman of the Year) 2009. Setahun sebelumnya, Siti Musdah Mulia juga meraih penghargaan bergengsi, Yap Thiam Hie Award 2008.
Anda tahu, hingga kini Siti Musdah Mulia telah menghasilkan lebih dari 20 buku! Antara lain, Perempuan dan Politik (Gramedia), Islam and Violence Against Women (LKAJ), dan Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender (Kibar), Poligami: Budaya Bisu yang Merendahkan Martabat Perempuan (Kibar). Sebagian besar karya-karya feminis muslim terkemuka di Asia (bahkan dunia) itu adalah terminologi Islam sebagai komunitas teduh, dialogis, dan inklusif, yang terbuka pada tradisi multikulturalisme, serta mengenai dialog antaragama. Prinsipnya, Siti Musdah Mulia tertarik sekali dengan gagasan-gagasan pribumisasi Islam, dan menolak dogmatisasi teks-teks agama yang menafikan realitas konteks kontemporer.
Jadi, sebenarnya perempuan itu potensial untuk menulis. Sebuah penelitian menunjukkan, otak kiri (EQ) dominan pada logika, kalkulasi, berbicara, membaca, menulis dan analisis. Otak kanan (IQ), dominan pada kepribadian, kreativitas, intuisi, implementasi, kinerja, dan seni. Menulis membutuhkan keseimbangan otak kanan dan kiri (otak tengah), karena menulis harus logis, teliti, tetapi kreatif dan penuh perasaan (emosional). Kecenderungan itu sebenarnya juga ada pada perempuan yang penuh emosional, tetapi teliti serta logis. Jadi, tunggu apa lagi? Menulislah dari sekarang! (*)
*) Didedikasikan untuk Kartini-Kartini Muda
Bawah Titian, 20 April 2010
**) Tayang di Radar Bojonegoro Halaman 32, Edisi 21 April 2010
No comments:
Post a Comment