Wednesday, June 9, 2010

Beberapa Keuntungan Pilkades Masal

WACANA pelaksanaan pemilihan kepala desa (Pilkades) masal di Bojonegoro kembali muncul ke permukaan. Pelaksanaan pilkades masal di Lamongan seolah menjadi salah satu pembuktian bahwa menggelar pesta demokrasi di tingkat desa secara serentak bisa berlangsung kondusif asal dipersiapkan secara matang.
Setidaknya sampai hari ini, Pemkab Lamongan berhasil membuktikan telah mampu menghelat pilkades tanpa ada kendala, baik berupa konflik politik maupun hukum. Saat ini Lamongan telah menggelar pilkades hingga tahap II yang berlangsung di 120 desa (Radar Bojonegoro, 4 Juni 2007). Dengan demikian, hingga tahap II, pilkades telah dilaksanakan di 250 desa.
Pemkab Lamongan sendiri mendesain pilkades ini akan dihelat hingga tahap III, yang rencananya diselenggarakan pada 17 Juni mendatang di 148 desa. Lamongan tidak memerlukan waktu lama untuk melaksanakan pilkades masal. Total waktu pelaksanaan pilkades di 462 desa se-Kabupaten Lamongan tersebut kurang dari sebulan.
Meski rentang waktu antara tahap I (20 Mei) dan tahap lainnya berdekatan, toh faktanya tidak ada gejolak berarti di masyarakat. Sejauh ini, kita belum mendengar terjadinya konflik politik dan hukum antarcalon kepala desa (Kades) maupun antar-bobotoh (pendukung) calon, pasca-pemungutan suara dalam pilkades.
Kita juga belum mendengar (semoga tidak ada) berita tentang aparat keamanan sibuk mengamankan sejumlah massa yang merusak balai desa, rumah calon Kades, atau fasilitas umum. Kesimpulannya, pilkades masal yang diprediksi rawan terjadi konflik horizontal (untuk sementara waktu) terbukti telah berlangsung dengan aman, lancar, dan kondusif. Kunci kesuksesannya, kesiapan aparatur daerah dalam menyiapkan regulasi dan dukungan semua pihak. Bagaimana dengan Bojonegoro?

Kenapa Mesti Ditunda?
Dalam hal-hal tertentu, rencana pelaksanaan pilkades di Bojonegoro, memang tidak bisa digeneralisasi dengan di Lamongan. Persamaannya, di Kota Ledre ini jumlah Kades yang masa jabatannya habis sama banyak, meski tidak sama persis, dengan di Kota Soto itu. Data dari Bagian Pemerintahan Pemkab Bojonegoro menunjukkan, hingga November 2007 mendatang ada 316 desa (Kades) yang masa jabatannya sudah habis. Itu belum termasuk 59 Kades yang berakhir masa jabatannya pada 2006 lalu. Fakta yang sama juga terjadi di Lamongan, lebih dari 400 desa.
Perbedaannya, di Lamongan pilkades masal dihelat jauh, kurang lebih dua tahun, setelah pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Sementara di Bojonegoro, mepet dengan pilkada. Sebab, sesuai rencana, KPUK Bojonegoro menjadwalkan pelaksanaan pilkada pada Desember 2007 mendatang. Jadi, waktu yang tersisa cuma enam bulan. Itupun bisa lebih pendek lagi karena tahapan pilkada sudah akan dimulai KPUK setempat pada September nanti.
Mepetnya waktu itulah yang menimbulkan kekhawatiran terjadinya konflik horizontal. Pihak pemkab setempat berargumen jika pilkades dilaksanakan sebelum pilkada, dikhawatirkan emosi masyarakat yang belum stabil pasca-pilkades masih terbawa dalam pilkada. Dampaknya, konflik politik di tingkat mikro (desa) akan melebar ke skala yang lebih luas (kabupaten).
Bagi penulis, kekhawatiran terjadinya konflik horizontal tersebut di atas hanya sebatas asumsi yang belum tentu kebenarannya. Kekhawatiran itu muncul karena didasari asumsi bahwa seolah masyarakat belum siap untuk berbeda secara politik. Padahal, fakta empirisnya tidak demikian. Masyarakat justru siap andaikan pilkades masal digelar, meski secara bertahap.
Justru kalau pilkades digelar setelah pilkada, potensi terjadinya konflik horizontal lebih besar. Fakta kekinian, banyak calon Kades, baik incumbent maupun baru, resah dengan ketidakpastian waktu pelaksanaan pilkades. Padahal, mereka sudah mengeluarkan banyak biaya untuk pelbagai operasional politiknya. Mulai membayar bobotoh-nya hingga menjamu masyarakat yang bertandang ke rumahnya.
Kita tidak bisa membayangkan berapa puluh juta lagi biaya yang harus dikeluarkan calon Kades andai pilkades digelar pasca-pilkada. Bahkan, tidak menutup kemungkinan potensi kekecewaan dari calon berikut pendukungnya tersebut akan semakin membesar hingga momentum pilkada. Dampaknya, potensi konflik politik bisa saja tersulut (meski kita berharap ini tidak terjadi).
Potensi lain yang tak kalah seramnya adalah kekacauan administrasi pemerintahan desa (pemdes). Memang, untuk mengantisipasi vacuum of power (kekosongan kekuasaan), pemkab telah mengangkat Penjabat (Pj) Kades yang bertugas hingga terpilihnya Kades definitif. Namun, wewenang Pj Kades tetap terbatas dibanding Kades definitif. Pj Kades tidak dapat membuat kebijakan yang bersifat strategis maupun yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Jadi, seandainya di tengah “jeda” pemdes ada sebuah keputusan yang harus diambil secara cepat, terpaksa harus ditunda hingga beberapa bulan, menunggu setelah pilkades digelar. Ini tentu akan berimplikasi serius terhadap kepercayaan masyarakat dan pemdes itu sendiri.
Tentu implikasi ini harus digarisbawahi oleh para pengambil kebijakan, baik eksekutif maupun legislatif. Sebab, ini akan mencederai visi-misi diberlakukannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah atau Otonomi Daerah tersebut.
Sudah menjadi dimafhumi bahwa salah satu misi otonomi daerah adalah memperkuat posisi rakyat di daerah dengan menjadikan pemerintah hanya sebagai fasilitator dan pelindung masyarakat. Ini berarti bahwa dalam proses pengambilan kebijakan publik harus melibatkan masyarakat, sehingga kebijakan yang diambil tersebut bersadarkan aspirasi masyarakat lokal. (Laode Ida : Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal, dan Clean Government: 2000).
Selain berpotensi memunculkan dampak negatif di atas, jika pilkades masal digelar sebelum pilkada juga memunculkan dampak positif. Argumentasinya, jika pemilihan Kades di 419 selesai digelar sebelum pilkada, KPUK mempunyai data valid daftar pemilih tetap (DPT) pilkada. Memang, mengenai calon pemilih pilkada ini, KPUK tetap akan melakukan pendataan dengan berkoordinasi dengan Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Bojonegoro.
Namun, setidaknya data pemilih pilkades tersebut bisa menjadi data pembanding yang validitasnya tidak perlu diragukan lagi. Asumsinya, data pemilih pilkades tentu sudah melalui proses check and recheck yang mendalam. Sebab, petugas yang melakukan pendataan pemilih pilkades rata-rata dari perangkat atau RT yang tentu tahu betul warga yang memenuhi syarat untuk menggunakan hak pilihnya.
Bukankah ini cukup membantu kerja KPUK yang dengan sendirinya menunjang kelancaran dan kesuksesan pilkada? Dengan asumsi itu, maka sebetulnya pilkades masal sebelum pilkada adalah sebuah pilihan rasional yang strategis untuk terciptanya sebuah stabilitas pemerintahan, baik di tingkat desa maupun kabupaten. Entah lagi kalau pertimbangan menggelar pilkades masal setelah pilkada tersebut lebih didasari logika-logika dan hitung-hitungan politik. Wallahu A`lam.

*) Opini ini dimuat pada Radar Bojonegoro halaman 30 Edisi 6 Juni 2007

No comments:

Post a Comment