Wednesday, June 9, 2010

Catatan Menjelang Pelantikan Anggota DPRD Mengimunisasi Wakil Rakyat

Dalam waktu yang tidak lama lagi, DPRD hasil pemilu legislatif 2009 segera dilantik. KPU menjadwalkan pelantikan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota berlangsung pada Agustus dan September 2009, sementara anggota DPR diresmikan pada 1 Oktober.
Caleg terpilih untuk DPRD Bojonegoro rencananya dilantik tanggal 21 Agustus 2009.
Mengacu hasil penghitungan yang dilakukan oleh masing-masing KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, komposisi anggota DPRD yang baru menjanjikan perubahan, setidaknya orang baru banyak yang masuk. Dari 100 orang anggota DPRD Jatim periode 2009-2014, 82 persen di antaranya wajah-wajah baru. Hanya 18 anggota DPRD 2009-2014 atau 18 persen yang berupakan wajah lama (periode 2004-2009). (Kompas Jatim, 19/5/2009).
Fakta yang sama juga terjadi di banyak daerah di Jawa Timur. Di antaranya di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban. Di Bojonegoro, dari 50 orang jatah anggota DPRD baru, 34 di antaranya orang baru, sisanya orang lama. Sementara di Tuban, 42 dari 50 orang jatah anggota DPRD periode 2009-2014 adalah wajah baru, sisanya muka lama. Sedangkan di Lamongan, separo dari 50 anggota DPRD yang baru adalah wajah anyar.
Dominasi dari wajah-wajah baru dalam lembaga legislatif lima tahun ke depan memberi harapan perbaikan kinerja anggota wakil rakyat, sekaligus memunculkan kekhawatiran jangan-jangan kinerja mereka tidak akan beda jauh atau bahkan lebih buruk dibandingkan dengan pendahulunya (anggota DPRD periode 2009-2014) yang banyak tersandung kasus korupsi.

Perilaku Koruptif
Harapan terjadinya perbaikan kinerja anggota dewan dalam menyuarakan kepentingan rakyat mengemuka karena wajah-wajah baru tersebut masih steril dari postulat-postulat penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan serta perilaku koruptif. Jika disikapi dengan positif dan diambil hikmahnya, buruknya kinerja senior mereka periode lalu bisa menjadi momentum pembuktian bahwa kinerja mereka tidak sama. Spirit inilah yang diharapkan muncul, sehingga kerja-kerja legislating (pembuatan peraturan daerah), budgeting (penyusunan anggaran), controlling (pengawasan kebijakan eksekutif), dan representasi (keterwakilan) selaras dengan UU Nomor 22 Tahun 2003 (yang kemudian diamandemen tahun ini) tentang Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasal 78, menjadi kenyataan.
Sebaliknya, kita semua tidak ingin kinerja mereka sama seperti pendahulunya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses politik Pileg 2009 menampilkan tontonan politik transaksional antara si empu suara (rakyat) dengan pembeli suara (caleg). Demi meraih jabatan wakil rakyat, caleg rela keluar uang untuk membeli suara rakyat. Di saat yang sama rakyat menerima tawaran politik uang dengan tangan terbuka.
Karena merasa sudah impas memberi ”hak rakyat”, caleg terpilih berusaha semaksimal mungkin mengembalikan ongkos politik yang sudah dikeluarkan. Kecenderungan untuk korupsi dengan menyalahgunakan wewenang dan jabatan akhirnya menjadi sebuah pilihan yang niscaya pada saat mereka mengemban jabatan sebagai anggota DPRD. Dan agaknya kecenderungan berperilaku koruptif inilah yang menjadi pilihan anggota dewan periode lalu, sehingga mereka terjebak dalam ranah hukum.
Disematkannya label tersangka kepada mantan Ketua DPRD Jawa Timur Fathorrasjid dalam kasus dugaan korupsi dana Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Tahun Anggaran 2008 oleh Kejati Jawa Timur baru-baru ini, hanyalah salah satu contoh betapa perilaku koruptif masih begitu kuat mengungkung lembaga wakil rakyat. Fathorrasjid ditengarai merekomendasikan 174 lembaga penerima hibah bernilai Rp 29 miliar. Sebanyak 102 lembaga dari 174 lembaga penerima hibah tersebut terkena pemotongan saat dana P2SEM dicairkan (Kompas Jatim, 25/7/2009).
Fakta ini kian membuat bopeng muka dan citra anggota dewan periode lalu. Menjadi tak mengherankan kalau kemudian survei terbaru Barometer Korupsi Global (BKG) 2009 yang dirilis Transparency Internasional (TI) Juni 2009 seolah menemukan pembenarannya. Dalam rilisnya, TI menempatkan DPR sebagai lembaga yang paling jeblok. Lembaga legislatif mendapat nilai 4,4 dari skala 1 angka 5. Angka 1 berarti sama sekali tidak korup, sedangkan 5 berarti sangat korup. Institusi lain yang terpuruk adalah peradilan (4,1) dan partai politik (4).
Menurut Teten Masduki, Sekretaris Jenderal TI, selama 5 tahun terakhir parlemen tidak menunjukkan perubahan berarti terkait persepsi korupsi. Terbukti, berdasar survey BKG yang dilakukan dari tahun ke tahun sejak 2004 terus menempatkan lembaga wakil rakyat di skor 4 hingga 5.

Memperkuat Legislatif
Tentu tidak arif kalau kita pesimis dengan masa depan parlemen. Biar bagaimanapun, mereka adalah wakil kita, yang dipilih dan memperoleh mandat dari rakyat untuk menjalankan tugas-tugas perwakilan aspirasi masyarakat. Oleh karena itu, pemberian ”vaksin” dan ”imunisasi” mutlak dibutuhkan untuk memperkuat daya tahan mereka dari serangan berbagai virus korupsi dan tindakan-tindakan menyimpang lainnya yang membuat mereka abai terhadap rakyat yang memilihnya. Beberapa antibody yang perlu untuk disuntikkan adalah, pertama, pengembangan kapasitas sumber daya manusia (SDM) anggota DPRD. Upaya ini mutlak dibutuhkan karena dalam banyak kasus, tersandungnya anggota dewan periode lalu dalam kasus korupsi karena tak dipahaminya peraturan perundang-undangan dan mekanisme operasionalnya. Memang, selama ini peningkatan kapasitas SDM anggota sudah dilakukan. Namun, sejauh ini masih bersifat sentralistis, hanya dilakukan di Jakarta. Dibutuhkan pelatihan-pelatihan, termasuk manajemen anggaran, dengan tujuan peningkatkan kapasitas di aras lokal yang lebih berbasis kebutuhan daerah.
Kedua, penyusunan kerangka kerja yang kokoh. Kerangka kerja yang mewajibkan DPRD untuk melaksanakan fungsi utamanya dalam pembuatan peraturan daerah, termasuk perda APBD, representasi dan pengawasan, mutlak dibutuhkan. Tata pemerintahan yang baik (good governance) hanya dapat dicapai apabila ada kerangka kerja yang berprinsip pada participation (partisipasi), rule of law (penegakan hukum), transparency (terbuka), responsiveness (responsif), consensus orientation (orietasi kesepakatan), equity (setara), effectivites and efficiency (efektif dan efisien), accountability (pertanggung jawaban), dan strategic vision (visi yang strategis). Ini sebagaimana disyaratkan oleh United Nations Development Program (UNDP, 1997).
Selama ini sering ditemukan adanya kecenderungan menyalahkan DPRD atas banyaknya kelemahan dalam tata pemerintahan daerah, seperti tertundanya pengesahan APBD dan kurangnya kebijakan yang berpihak pada kaum miskin (pro poor budgeting). Walaupun dalam beberapa kasus hal ini ada benarnya, bukan berarti gambaran umumnya demikian.
Ketiga, pembentukan tim/staf ahli. Di banyak daerah di Jatim, termasuk Bojonegoro, belum memiliki tim/staf ahli. Oleh karena itu, DPRD memerlukan sebuah tim/staf ahli yang dapat membantu mengidentifikasi berbagai masalah masyarakat, mencarikan alternatif jalan keluar dan menuangkannya dalam rencana kerja (Renja) DPRD. Sehingga dengan begitu kinerja DPRD akan bisa optimal sekaligus dapat melakukan pemilahan masalah sesuai dengan spesialisasi kerja yang diembannya.
Tim/staf ahli juga mutlak dibutuhkan karena bidang kerja komisi-komisi di DPRD overload. Sebagai perbandingan, satu komisi yang beranggotakan 9-11 orang, rata-rata membidangi sepuluh SKPD milik Eksekutif. Bandingkan dengan Eksekutif yang setiap SKPD-nya masih ditunjang dengan kepala dinas/kantor/bagian/badan, subdinas/kantor/ bagian/badan, hingga Kasi-Kasi. Sedangkan komisi-komisi DPRD, cukup anggota ditambah staf teknis dari sekretariat DPRD. Jelas sebuah perbandingan yang tidak ideal.
Keempat, optimalisasi peran Badan Kehormatan (BK). Selama ini keberadaan BK hanya formalitas, karena tidak mampu menjerat dan menindak anggota DPRD yang bolos sidang atau melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan sumpah jabatan anggota DPRD, sehingga berpotensi memperburuk kinerja dan citra DPRD. Selama ini kesan yang muncul adalah ada dan tiadanya BK nyaris tidak ada bedanya. Ke depan, fungsi BK harus dioptimalkan.
Kelima, pengawasan dari multi stakeholder. Keempat langkah di atas menjadi percuma jika tidak ada kontrol rakyat. Pengawasan dibutuhkan agar jalannya lembaga wakil rakyat sesuai dengan rel peraturan perundang-undangan, tidak overlap. Sekiranya beberapa hal di atas dilakukan, penulis yakin kinerja wakil rakyat di masa mendatang akan menjadi lebih baik. Akhirnya, selamat bekerja, wahai wakil rakyat! Jangan lagi khianati mandat dan amanah rakyat!. (*)

*) Tayang di Radar Bojonegoro edisi 19 Agustus 2009.

No comments:

Post a Comment