Wednesday, June 9, 2010

Mengikat Kontrak Politik

Perang perebutan pengaruh publik menjelang Pemilu 2009 semakin sengit. Beragam cara untuk menyampaikan pesan dilakukan oleh parpol untuk mendulang simpati masyarakat. Mulai iklan di media massa, cetak maupun elektronik, hingga kemasan-kemasan dalam bentuk yang lain.
Salah satu bentuk kemasan itu adalah klausul kontrak politik. PDI Perjuangan adalah satu di antara sedikit parpol peserta Pemilu 2009 yang membuat kontrak politik. Akad politik partai oposisi tersebut mengusung tiga isu sentral: perjuangkan sembako, ciptakan jutaan lapangan kerja, dan tingkatkan kesejahteraan rakyat.
PDI Perjuangan berupaya serius merealisasikan kontrak politik itu karena ada penegasan bahwa jika gagal mengawal tiga agenda di atas di 2009-2014, anggota DPR RI dari PDI Perjuangan diminta tak lagi mencalonkan diri pada pemilu berikutnya di tahun 2014.
Dengan dibubuhi tanda tangan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, kontrak politik itu dilengkapi dengan ketentuan, syarat ini berlaku jika PDI Perjuangan mengontrol pemerintahan: Presiden 2009 dan 30 % kursi DPR RI dikuasai PDI Perjuangan.
Terlepas dari adanya kesan bahwa kontrak politik merupakan bagian kampanye untuk menarik dukungan publik, terobosan PDI Perjuangan tersebut patut diapresiasi karena
hal ini tergolong baru dan berbeda dibandingkan dengan kontrak politik yang pernah dibuat oleh parpol-parpol sebelumnya.
Dikatakan berbeda karena PDI Perjuangan menggunakan media massa, terutama media cetak, yang dianggap paling mengena sasaran, karena diumumkan secara terbuka melalui iklan komersial. Ditinjau dari ilmu komunikasi, kontrak politik yang dimunculkan oleh PDI Perjuangan sudah memenuhi pra syarat dari tujuan komunikasi itu sendiri. Yakni, upaya-upaya untuk mengubah sikap (to change the attitude), mengubah opini/pendapat/ pandangan (to change the opinion), mengubah perilaku (to change the behavior), dan mengubah masyarakat (to change the society). (Onong Uchjana, 2003:55).
Klausul kontrak politik PDI Perjuangan juga dianggap keluar dari mainstream yang selama ini menjadi domain ranah politik. Yang terjadi kebanyakan kontrak politik sebatas dipublish pada internal parpol atau komunitas tertentu yang melakukan akad politik.
Yang menjadi permasalahan sekarang adalah apakah kontrak politik tersebut efektif untuk menarik dukungan publik? Pertanyaan ini layak dimunculkan karena selama ini ukuran dan standar pengawasan kontrak politik masih sumir.

Sebatas Kontrol Etika
Apabila dicermati, sebenarnya kecenderungan parpol melakukan akad politik sudah berlangsung sejak lama. Menurut catatan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), kontrak politik sebenarnya sudah muncul pada saat Pemilu 2004. Hanya mungkin letak perbedaannya adalah pada Pemilu 2004 kontrak politik masih dianggap sebagai wacana. Kalaupun akhirnya diadopsi, ketika itu kontrak politik lebih banyak diambil oleh parpol gurem yang secara modal politik masih dalam taraf ”berjuang”.
Namun, letak kesamaan dalam memahami kontrak politik antara Pemilu 2004 dengan Pemilu 2009 adalah sebatas kontrol etika atau moral. Dalam contoh kontrak politik yang digagas PDI Perjuangan, publik memang diberi ruang untuk mengontrol perilaku dan tindakan-tindakan politisi PDI Perjuangan dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Baik dari sisi legislating, budgeting, maupun controlling.
Masalahnya adalah sejauh ini tidak ada jaminan yang jelas, apalagi sampai mengarah pada pemberian punishment (sanksi/hukuman), andaikata legislator dan elite partai yang bersangkutan melakukan pelanggaran dan kegagalan terhadap upaya-upaya untuk memperjuangkan isu-isu yang dijadikan sebagai akad politik dengan publik. Pada titik ini kesimpulan akhirnya tetap sama bahwa relasi publik dengan parpol pembuat kontrak politik tetap tersubordinasi. Rakyat tetap dikorbankan, tetap menjadi objek, dan hanya dibutuhkan pendulum suaranya saat menjelang pemilu.
Pemilihan gubernur-wakil gubernur (Pilgub) Jawa Timur yang baru usai beberapa waktu lalu menjadi contoh betapa kontrak politik yang tak mempunyai kontrol yang jelas hanya akan melahirkan pelanggaran-pelanggaran etika politik dan mengajarkan politik semu. Saat awal pencalonan, parpol ramai-ramai mengajukan akad politik pada cagub-cawagub kalau ingin mendapatkan dukungan parpol dimaksud. Calon memang setuju dengan kontrak politik yang diajukan. Namun, ternyata isi kontrak politik tersebut nihil sanksi andaikata isu-isu yang dianggap merupakan representasi publik dilanggar ataupun gagal diwujudkan oleh calon yang menang.

Legal Formal
Minimnya kontrol yang jelas dan tegas terhadap segala pelanggaran serta kegagalan pengejawantahan kontrak politik bisa jadi disebabkan ketiadaan legal formal yang mengaturnya. Perlu kiranya digagas sekaligus dikembangkan suatu kontrak politik yang mempunyai implikasi hukum yang cukup mengikat antara calon, baik capres, cawapres, maupun caleg dengan basis massa yang diwakilinya.
Ikatan hukum dibutuhkan agar seseorang yang melakukan kontrak politik benar-benar serius memperjuangkan isu-isu yang menjadi daya tarik bagi publik untuk memberikan dukungan kepada calon dimaksud. Tekanan secara hukum juga diperlukan sebagai shock therapy (terapi kejut) agar calon serius memperjuangkan isu atau program yang populis, berbasis kebutuhan masyarakat, bukan berdasarkan keinginan calon maupun parpol yang memiliki kepentingan tersembunyi (invisible hand) di balik isu-isu maupun program yang hendak dipaksakan menjadi program yang dijejalkan kepada publik.
UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bab XIX yang mengatur partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu menjelaskan dengan gamblang bahwa publik dapat ikut andil dalam pesta demokrasi.
Dalam pasal 244 ayat (1) dijelaskan, pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat. Lebih tegas lagi, ayat (2) menerangkan, partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak pendapat tentang pemilu, dan penghitungan cepat hasil pemilu, dengan ketentuan, --sebagaimana tertuang dalam poin c, bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas.
Jika kita interpretasikan, pasal di atas secara substansial membolehkan adanya kontrak politik secara legal formal, karena undang-undang tidak melarang sepanjang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas. Bukankah terobosan hukum diperbolehkan, sebagaimana dilakukan Mahkamah Konstitusi terhadap putusan penting soal ”putaran III” pilgub Jawa Timur, sepanjang secara substansial bertujuan untuk terciptanya keadilan sosial (pembukaan UUD 1945)?
Kini, bola ada di tangan parpol, hamba hukum (kepolisian, kejaksaan, dan peradilan), dan praktisi hukum untuk membuat terobosan pe-legalformal-an kontrak politik demi meningkatkan angka partisipasi publik dalam pemilu. (*)
Bojonegoro, 28 Februari 2009

*) Tayang di Radar Bojonegoro edisi 15 Maret 2009.

No comments:

Post a Comment