Wednesday, June 9, 2010

Celah Pragmatisme Sertifikasi

Dinas Pendidikan Lamongan (Diknas) gerah dengan menjamurnya kegiatan seminar tentang sertifikasi guru. Sebab, sebagian seminar yang diadakan di Kota Soto ini diduga bertujuan komersialisasi. Kepala Diknas Lamongan Mustofa Nur berpendapat, setelah adanya program sertifikasi guru kegiatan pelatihan atau seminar tentang sertifikasi langsung menjamur.
Masing-masing panitia penyelenggara, baik yang dilakukan oleh LSM, ormas, hingga lembaga-lembaga pendidikan lainnya, menjanjikan sertifikat kepada pesertanya. Karena guru diwajibkan mempunyai sertifikat tentang sertifikasi guru, mereka pun berlomba-lomba mendaftarkan diri. (Radar Bojonegoro, Sabtu 7 Juni 2008)
Kegiatan pelatihan dan seminar tentang sertifikasi guru, sebenarnya positif untuk membantu para guru bisa lolos sertifikasi. Namun, dalam pelaksanaannya ada indikasi terjadi praktik komersialiasi oleh penyelenggara. Para guru peserta pelatihan atau seminar itu ditarik biaya cukup besar. Padahal sertifikat yang dikeluarkan penyelenggara tersebut belum tentu bisa diterima. Sehingga, kasus seperti ini hanya menguntungkan pihak penyelenggara.
Kasus yang terjadi di Lamongan hanyalah satu di antara sekian banyak celah pragmatisme yang muncul sejak program sertifikasi guru ini diluncurkan oleh pemerintah pusat. Jika kita mencermati berita dan informasi di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, penyalahgunaan cara mendapatkan sertifikasi juga terjadi di banyak daerah di Jawa Timur, bahkan mungkin Indonesia.
Di Malang, kasus penyalahgunaan sertifikasi ini malah lebih ekstrem; pemalsuan data portofolio. Bahkan, kasus ini tak hanya terjadi pada program sertifikasi kuota 2007. Dalam kuota 2008, kasus kecurangan juga muncul. Fakta menunjukkan, ada enam guru yang dicoret dalam seleksi tingkat kota. Lima di antaranya memanipulasi data dan satu guru sedang berkasus dengan kepolisian.
Masalah ini disikapi serius oleh Sesditjen PMPTK (Peningkatan Mutu Pendidik Tenaga Kependidikan) Depdiknas Giri Surya Atma PhD. Giri mengimbau agar guru tidak perlu ngoyo memenuhi poin sertifikasi. Sebab, jalur portofolio bukan satu-satunya jalan lolos sertifikasi. Sebab, masih ada pelatihan dan latihan profesi guru (PLPG).
Di Bojonegoro, case-nya beda lagi. Para guru berlomba-lomba membuat karya tulis ilmiah. Karya ini merupakan salah satu syarat yang wajib dipenuhi oleh seorang guru untuk mendapatkan poin. Karya tulis ilmiah yang pernah dimuat media massa akan memperoleh kredit pon tinggi dalam portofolio sertifikasi.
Tetapi ironisnya, karya tulis ilmiah itu tidak dibuat berdasarkan kemampuan dan kemauan guru sendiri dalam menuangkan gagasan, ide, dan solusi dalam menyikapi pelbagai problem pendidikan. Melainkan menggunakan cara-cara instant dengan ‘memesan’ karya tulis ilmiah. Tentu ‘memesan’ karya tulis ilmiah itu tidak secara gratis, melainkan ada kompensasi dalam jumlah tertentu yang dibayar oleh pemesan.

Kompetensi Guru
Niat pemerintah mewajibkan guru menyiapkan poin, baik berupa keikutsertaan dalam seminar dan pelatihan, maupun menggubah karya tulis ilmiah, dalam portofolio sebenarnya bagus. Sebab, portofolio sebenarnya merupakan bentuk penghargaan sekaligus motivasi kepada guru agar tidak mematikan kreativitas menulis karya ilmiah dan menambah wawasan dan pengetahuan. Ending-nya adalah agar guru semakin kompeten dan profesional, sehingga layak diberi tunjangan profesi.
Namun, yang terjadi di lapangan justru kontraproduktif dengan tujuan mulia tersebut. Faktanya, guru terjebak dalam hal-hal negatif. Imbas lainnya, telah memicu munculnya praktik-praktik jasa pembuatan ijazah palsu. Juga, telah melahirkan jasa-jasa penjualan sertifikat dan pembuatan karya ilmiah.
Untuk menjadikan guru profesional dan kompeten, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Menurut Cooper, ada empat kompetensi guru. Yakni, mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia; mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya; mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah, teman sejawat dan bidang studi yang dibinanya; dan, mempunyai keterampilan teknik mengajar.
Berdasar dari pendapat di atas, maka kompetensi guru dapat dibagi menjadi tiga bidang. Pertama, kompetensi bidang kognitif. Artinya, kemampuan intelektual seperti penguasaan mata pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan mengenai belajar dan tingkah laku individu, pengetahuan tentang bimbingan penyuluhan, pengetahuan tentang administrasi kelas, pengetahuan tentang cara menilai hasil belajar siswa, pengetahuan tentang kemasyarakatan serta pengetahuan umum lainnya.
Kedua, kompetensi bidang sikap. Artinya, kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan tugas dan problemnya. Misalnya, sikap menghargai keperjaannya, mencintai dan memiliki perasaan senang terhadap mata pelajaran yang dibinanya. Memiliki sikap toleransi terhadap sesame teman seprofesinya, memiliki kemauan yang keras untuk meningkatkan hasil pekerjaannya.
Ketiga, kompetensi perilaku/performance. Artinya, kemampuan guru dalam berbagai keterampilan/berperilaku, seperti keterampilan mengajar, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu pengajaran, bergaul atau berkomunikasi dengan siswa, dan keterampilan menumbuhkan semangat belajar para siswa. Selain itu, juga keterampilan menyusun persiapan/perencanaan mengajar, dan melakukan sekaligus menafsirkan penelitian guna keperluan mengajar.

Ruang Publik Sekolah
Mengacu pada tataran ideal di atas, sebenarnya selama ini para guru sudah berupaya melakukannya. Yang masih menjadi kelemahan selama ini adalah budaya komunikasi dan penciptaan ruang diskusi publik sekolah yang masih lemah. Rata-rata seorang guru melakukan aktivitas pengajaran lebih sekadar sebagai menjalani rutinitas yang mekanik; datang, mengajar, pulang, datang, mengajar, pulang, begitu seterusnya.
Tak ada budaya yang mengikat dan dijalankan secara kontinyu oleh masyarakat sekolah. Kenapa guru pada saat mau melengkapi portofolionya di bidang karya tulis ilmiah lebih memilih cara-cara instan dengan ‘memesan’, karena selama ini budaya penelitian terhadap sistem pembelajaran yang ideal agar mudah diterima dan disenangi anak didik jarang (untuk tak mengatakan tidak pernah) sekali, dilakukan pihak sekolah. Tak adanya budaya aksi, refleksi dan evaluasi, inilah yang pada akhirnya menciptakan siklus ketergantungan pada sistem pembelajaran yang pakem.
Memang, menerapkan sistem pembelajaran yang resmi seperti yang tercantum dalam KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) atau kurikulum paten lainnya bisa membuat pola pengajaran lebih seragam dan teratur. Tetapi, jika hal ini disikapi secara kaku, tidak fleksibel, dan menabukan kreasi-kreasi baru yang sesuai kultur masyarakat lokal dan sekolah yang berkembang, justru akan menciptakan keterasingan. Padahal output pendidikan adalah tak hanya menciptakan siswa yang cerdas secara pikiran, tetapi juga cerdas moral dan sosial. Di sinilah letak pentingnya menciptakan iklim atau ruang publik sekolah.
Selama ini fungsi ruang publik hanya terpaku pada hal-hal yang berkaitan dengan materi. Misalnya, membahas tentang kesepakatan biaya uang gedung, serta pungutan-pungutan lain yang dibebankan kepada orang tua siswa. Yang dimaksud ruang publik sekolah di sini adalah tempat bertemunya semua unsur sekolah, mulai guru, kepala sekolah, perwakilan siswa, dan wali murid, untuk mendiskusikan berbagai hal yang menyangkut upaya kesuksesan nalar berpikir siswa terhadap pembelajaran dan hal-hal lain terkait pendidikan.
Sekiranya hal itu bisa dilakukan secara kontinyu, serius, dan dianggap sebagai kebutuhan sekolah, yakinlah bahwa pola ketergantungan guru untuk melakukan cara-cara instan dan pragmatis bisa dihindari. Sebab, pola yang sudah dijadikan budaya tersebut akan menjadi sarana pembelajaran yang paling efektif dan tidak akan pernah kering untuk dieksplorasi secara terus menerus. Dan, guru tetap akan terus menggubah karya tulis ilmiah serta mengikuti berbagai seminar dan pelatihan untuk memperkaya wawasannya. Bukan lagi karena mereka mengejar sertifikat dan poin, --meski nantinya akan dihargai pemerintah dengan diberi tunjangan profesi, melainkan sudah karena kebutuhan dan keharusan bagi seorang pendidik. Wallahua`lam.

*) Artikel ini dimuat di Radar Bojonegoro, edisi 15 Juni 2008.

No comments:

Post a Comment