Wednesday, June 9, 2010

Aktivis Maju sebagai Caleg Pemilu 2009 Mutualisme atau Parasitisme?

Jika tidak ada aral melintang, pertengahan September mendatang KPU, termasuk KPUK Bojonegoro, bakal menetapkan daftar calon anggota legislatif (caleg) sementara (DCS). Sejauh ini, partai menempuh beragam cara agar parpolnya tenar dan populer sehingga meraih suara signifikan dalam Pemilu 2009. Kebanyakan partai bersikap inklusif (terbuka) dalam merekrut calegnya. Komposisi atau persentase yang diberlakukan pun beragam.
Partai A misalnya, mengambil persentase hampir sama (60:40) antara sistem rekrutmen yang diterapkan untuk kadernya (internal) dengan kalangan independen (eksternal). Kalangan independen ini beragam. Bisa berasal dari kalangan ormas, OKP, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuda hingga aktivis dan artis.
Pilihan parpol mengangkat kalangan artis sebagai caleg, terutama di wilayah pusat dan provinsi akhir-akhir ini memunculkan banyak tanggapan. Beberapa analis dan pengamat politik menganggap maraknya artis menjadi caleg, --bahkan banyak pula yang menjadi calon kepala dan calon wakil kepala daerah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi, menunjukkan betapa stagnan/mandeknya sistem kaderisasi di internal partai.
Namun, bisa jadi munculnya calon dari artis merupakan bagian dari skenario dan strategi baru yang diterapkan oleh partai. Mereka, setidaknya, menganggap bahwa artis punya satu modal awal penting yang sama-sama dibutuhkan oleh parpol untuk mengail dukungan suara signifikan dari masyarakat: popularitas.
Dengan bekal populer sudah berada di tangan, maka parpol tinggal mencari modal lain yang memungkinkan bagi bertambahnya perolehan suara parpol tersebut. Setidaknya, pengurus parpol menganggap bila partainya sudah popular, --karena “nebeng” popularitas artis, parpol tak perlu lagi “mengeluarkan” anggaran cadangan untuk pengenalan partai ke masyarakat. Dana yang sebelumnya telah disiapkan untuk sosialiasi partai mungkin akan lebih efektif dan strategis bila dipakai untuk stressing program lain yang lebih mengena dan mendulang simpati publik. Misalnya dengan bakti social atau program langsung ke sasaran lainnya.

Aktivis Pilih Jadi Caleg
Selain artis, kecenderungan yang saat ini juga marak adalah banyaknya parpol merekrut calegnya dari kalangan aktivis. Memang, pada 2004 dan 1999 sudah banyak kalangan aktivis yang terjun ke politik, khususnya mencalonkan diri sebagai anggota dewan, baik pusat maupun daerah. Beberapa nama tenar seperti Muhaimin Iskandar, Ali Masykur Moesa adalah nama-nama mantan aktivis 1998 yang masuk pusaran politik nasional pada Pemilu 2004. Hal yang sama juga terjadi di daerah.
Namun, booming itu bisa jadi tidak sedahsyat saat menjelang Pemilu 2009. Di DPR RI, misalnya. Selain dari kalangan artis, parpol ramai-ramai mencalonkan aktivis dan mantan aktivis, baik dari kalangan organisasi non pemerintah (ornop), maupun mahasiswa.
Bahkan, nama-nama aktivis mahasiswa 1998 yang ikut menumbangkan rezim Orde Baru (alm) Soeharto pun ikut menjadi caleg. Selain Budiman Sudjatmiko, mantan ketua umum PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang merapat ke PDIP, terdapat sejumlah nama beken lainnya. Di antaranya, Yusuf Lakaseng (PBR), Hanif Dakhiri (PKB), Denda Alamsyah (Golkar), Sarin Hamid (PAN), Ahmad Gozali Harahap (PPP), Dita Indah Sari (PBR), dan Rama Pratama (PKS).
Berdasar data dari Lima (Lingkar Madani Indonesia), ada sekitar 200 mantan aktivis 1998 yang berinisiatif maju sebagai caleg Pemilu 2009. Beragam argumentasi pun diungkapkan oleh kawan-kawan eksponen 1998 tersebut. Rama Pratama, misalnya. Mantan ketua umum Senat mahasiswa Universitas Indonesia itu mengaku dirinya nyaleg karena ingin bertekad terus memperjuangkan visi reformasi yang mereka usung kala menumbangkan rezim Orde Baru 10 tahun silam. (Jawa pos, 28 Agustus 2008). Begitu juga lainnya, mereka berniat akan mengaplikasikan teori-teori ideal yang mereka dapatkan selama berproses di ranah politik praktis.
Di Bojonegoro sendiri, aktivis dan mantan-mantan aktivis yang mencalonkan diri sebagai caleg juga banyak. Bahkan lebih banyak daripada saat aktivis masuk sebagai caleg pada Pemilu 2004. Pada Pemilu 2009, nama-nama aktivis yang nyaleg tidak hanya mereka yang selama ini telah tenar sebagai pemimpin atau pentolan organisasi mahasiswa ekstra kampus semisal PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), dan lainnya. Nama-nama yang selama proses menjadi kader dan anggota pun banyak bertebaran menjadi caleg, baik di parpol lama maupun parpol baru.

Tiga Modal Politik
Ketertarikan parpol untuk menarik caleg dari kalangan aktivis dan mantan aktivis, tentu tidak sekadar cek kosong. Parpol tentu sudah paham dengan kualitas caleg yang bakal direkrutnya. Dalam banyak literatur disebutkan, untuk terjun ke dunia politik, setidaknya ada tiga modal penting yang harus dimiliki oleh seseorang. Yakni, capital (uang), jaringan (networking), dan kapasitas intelektual.
Bila capital pilihannya, mungkin belum banyak ditemukan di diri aktivis yang saat ini hendak nyaleg. Meski tidak mewakili jumlah keseluruhan, kebanyakan aktivis yang saat ini maju caleg belum terlalu kuat dari sisi ekonomi. Kebanyakan dari mereka baru mentas dari proses, sehingga belum banyak waktu untuk meraih capital.
Parpol melirik aktivis untuk masuk ke dalam gerbongnya, mungkin salah satu pertimbangannya karena mereka sudah mengantongi dua modal: jaringan dan kapasitas intelektual. Berbicara soal jaringan, aktivis tak perlu dirugikan lagi. Selama menjalani proses sebagai aktivis mereka sudah teruji, terutama dalam hal-hal yang terkait dengan mobilisasi massa. Para aktivis sudah terbiasa (untuk tidak mengatakan sangat mudah) melakukan mobilisasi massa saat hendak merancang sebuah aksi dengan isu-isu strategis. Dan, tumbangnya rezim (alm) Soeharto pada Mei 1998 adalah salah satu bukti massifnya kekuatan aktivis dalam menggalang massa.
Modal inilah yang mungkin tidak dimiliki oleh calon dari kalangan artis. Dan, modal ini pula yang diharapkan oleh parpol bisa dilakukan oleh aktivis untuk kepentingan parpol pengusung dalam mendulang dukungan suara publik pada Pemilu 2009.
Berbicara soal kapasitas intelektual, bekal mereka di wilayah ini juga tidak perlu diragukan lagi. Diskusi-diskusi soal teori politik, kajian, dan kritisisme ilmiah lainnya seolah sudah menjadi makanan sehari-hari bagi aktivis kala menjalani proses sebagai kader organisasi/institusi yang diikutinya ketika itu. Bahkan, bisa jadi lembaga-lembaga negara/kabupaten yang bakal mereka rasakan dan masuki tersebut dulunya merupakan sasaran tembak saat meneriakkan lantang sikap kritisnya.
Mereka juga terbiasa berakrab dengan tugas dan fungsi anggota dewan: budgeting, controlling, dan legislating. Mereka dulu tak pernah lelah melontarkan kritik jika melihat DPRD lemah dalam menjalankan fungsi kontrol atau payah dalam menyuarakan aspirasi masyarakat. Pun pula para aktivis langsung berteriak lantang manakala dewan tidak menjalankan fungsi budgeting (penyusun anggaran) bilamana lembaga wakil rakyat ini tidak mengalokasikan pro poor budgeting.
Kelebihan-kelebihan inilah yang diharapkan oleh parpol dapat ditularkan dan ditransformasikan di partai. Sebab, dengan di-support sumber daya manusia yang mempunyai kemampuan dalam mendesain gerakan, baik di partai maupun di parlemen kelak bila para aktivis ini menjadi anggota dewan, tentu akan sangat menguntungkan bagi partai pengusungnya. Dan, secara otomatis bargaining position partai di mata penyelenggara negara dan masyarakat, akan terangkat.
Masalahnya adalah apakah hubungan antara aktivis menjadi caleg dan parpol tersebut sama-sama menguntungkan (mutualisme) atau hanya satu sisi yang diuntungkan, sementara sisi yang lain dirugikan (parasitisme)? Memang, aktivis tentu akan merasa diuntungkan andai benar-benar terpilih menjadi anggota dewan. Sehingga, modal dan pengalaman selama menjadi aktivis bisa ditularkan di lingkungan barunya. Tetapi sebaliknya, jika tidak terpilih menjadi anggota dewan, sementara pada saat yang sama kapasitasnya sudah telanjur tersedot dan dicurahkan di kalangan partai, tentu partai yang lebih diuntungkan. Kalau sudah begini, simbiosis mana yang nanti akan terjadi? Waktu yang akan menjawabnya.

Tak Lagi Ekstra Parlementer
Ada alam yang akan sangat berbeda dirasakan oleh para aktivis saat mereka masuk di gedung dewan. Sebab, selama berkiprah di dunia aktivis mereka lebih banyak melakukan gerakan-gerakan ekstra parlementer. Bisa dengan cara melakukan aksi-aksi jalanan, mengirim petisi ke dewan, hingga advokasi basis massa.
Masalahnya, pola gerakan ini sangat mungkin tidak akan berlaku lagi bila mereka sudah duduk di kursi empuk ber-AC, dan berseragam safari dengan lencana kuning keemasan di dadanya. Sebab, lazimnya di gedung dewan, pengambilan keputusan tidak akan lagi berlaku sistem kekeluargaan. Pengambilan keputusan hampir pasti akan melibatkan vote, fraksi, dan suara terbanyak.
Memang, pada saat mereka masih aktif di dunia aktivis pengambilan keputusan dengan cara seperti itu acapkali mereka alami. Terutama aktivis yang terjun dalam dunia gerakan. Tetapi, maenstrem yang mereka akan alami berbeda. Sebab, sebelumnya mindset-nya masih dalam kerangka gerakan moral. Tetapi yang akan mereka hadapi nanti sudah mindset politik yang cenderung ke arah kekuasaan.
Terlepas dari itu semua, kita patut memberikan dukungan masuknya aktivis menjadi politisi. Kita berharap modal yang selama ini mereka dapatkan di kawah candradimuka aktivis dapat diaplikasikan demi kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan pragmatis mereka atau parpol pendukungnya. Semoga. Wallahu A’lam.

*) Artikel ini dimuat di Harian Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group) edisi 10 September 2008, halaman 30.

No comments:

Post a Comment