EMPAT puluh lima menit setelah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wafat di RSCM Jakarta, Rabu (30/12/2009) pukul 18.45, saya menerima banyak pesan pendek (SMS) dari berbagai kawan yang berisi ungkapan duka cita atas wafatnya guru bangsa itu. Namun, pesan pendek dari seorang kawan nahdliyin yang saya terima beberapa jam setelah Gus Dur dimakamkan di tempat pemakaman keluarga di kompleks Ponpes Tebu Ireng Jombang ini, benar-benar mengusik perhatian.
Bunyi pesan pendek yang masuk dalam telepon genggam saya itu adalah sebagai berikut:
Asmaul Husna ada 99, 9 adalah sebuah rahasia Allah, sebuah angka yang luar biasa rahasianya, penuh makna. Masya Allah, Gus Dur wafat pada jam 18, menit 45, tanggal 30, bulan 12, tahun 2009. Kalau diamati, semua angka tersebut jika dikalikan dengan angka itu sendiri jumlahnya adalah 9. 18x18=324=3+2+4=9. 45x45=2025=2+0+2+5 =9. 30x30=900=9+0+0=9. 12x12=144=1+4+4=9. 09x09=81=8+1=9. Kalau semua dikalikan, jumlahnya juga 9. 18x45x30x12x09=2624400=2+6+2+4+4+0+0=18=1+8= 9. Ada apa dengan jam 18.45? Masya Allah, lihat di Alquran pada surat ke 18 (QS Al Kahfi) ayat 45, diibaratkan air hujan yang turun dari langit dan memberi kesejukan (perdamaian) di bumi kemudian kembali lagi ke sisi Allah dengan kuasa-Nya.
***
Terlepas benar atau sekadar kebetulan, --meminjam istilah orang Jawa, othak athik gathuk, hampir semua orang menganggap bahwa Gus Dur adalah kontroversial dan misteri (rahasia). Bahkan Cak Nur (Nurcholish Madjid, pelopor modernisme Islam), yang juga telah berpulang ke rahmatullah pernah menilai, Gus Dus itu bukan lagi sekadar tokoh ”kontroversi”, namun ”kontroversi” itu sendiri. Ramalan Cak Nur, yang juga lahir di Jombang, benar. Gus Dur bukan lagi seorang koki, tapi hidangan itu sendiri. Siapapun bisa menghampiri dan menikmatinya.
Itu pula yang mendorong Greg Barton, seorang dosen senior pada Fakultas Seni Deakin University, Geelong, Victoria, Australia untuk meneliti, sekaligus menuangkannya dalam bentuk buku biografi yang berjudul The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (Biografi Gus Dur). Buku ini kali pertama dicetak oleh LKiS Jogjakarta pada Juni 2003.
Saya sendiri sangat menggemari dan melahap tulisan-tulisan tentang percikan pemikiran dan perenungan Gus Dur yang termaktub dalam berbagai buku-bukunya. Baik saat masih aktif di Forum Demokrasi dan LP3ES (1990), ketua umum PBNU (1984-1999), setelah dilengserkan dari kursi kepresidenan (Juli 2001), hingga sebelum wafat. Saya memang salah satu Gus Dur-ian. Saya menyukai tulisan dan buku-buku tentang Gus Dur, karena kesepakatan saya terhadap gerakan dan pemikirannya.
Sayangnya, dari buku-buku yang sudah diterbitkan, kebanyakan berupa kumpulan tulisan dan artikel Gus Dur yang bertebaran di media massa cetak nasional, termasuk di majalah Prisma. Hingga kini, saya belum menemukan buku ”utuh” tentang pemikiran Gus Dur, yang mengupasnya secara detail, berikut metodologisnya (saya berharap kelak Wahid Institute, lembaga nirlaba yang dibentuk oleh Gus Dur dan keluarganya, akan menyusun dan menerbitkan buku ”utuh” tersebut).
Mungkin ketika itu, Gus Dur sangat sibuk, karena begitu padatnya jadwal dan kegiatan yang harus dijalaninya. Ini sangat bisa dimaklumi mengingat Gus Dur bukan hanya tokoh komunal (ketua umum PBNU), tetapi juga universal (presiden dan tokoh dunia). Tetapi setidaknya, buku Beyond The Symbols, Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur terbitan Incres dan PT Remaja Rosdakarya Bandung (2000), cukuplah memberikan gambaran otak atik otak Gus Dur tersebut. Secara garis besar, ”pohon pemikiran” Gus Dur terdiri dari tujuh cabang pokok. Yakni, (1) pandangan-dunia pesantren, (2) pribumisasi Islam, (3) keharusan berdemokrasi, (4) finalitas negara-bangsa Pancasila, (5) pluralisme agama, (6) humanitarianisme universal, dan (7) antropologi kiai.
Pandangan Gus Dur yang moderat dan plural tersebut diakui oleh Franz Magnis-Suseno, teolog sekaligus sahabat tokoh kelahiran Jombang, Jawa Timur, tersebut. Menurut Franz,
Gus Dur itu menghayati agama Islam secara sangat terbuka. Dia adalah sosok pribadi yang bebas dari segala kepicikan, primordialistik, dan sektarian. Dia jelas 100 persen seorang yang beragama Islam. Tetapi, keislamannya begitu mantap sehingga dia tidak terancam oleh pluralitas.
Tujuh tema pokok tersebut selalu didengung-dengungkan Gus Dur, setiap kali menulis dan mendapati case yang tidak sesuai dengan ”pohon pemikiran”-nya. Inilah warisan dari Gus Dur yang tak hanya menjadi tanggung jawab nahdliyin untuk meneruskannya, tetapi juga kewajiban negara dan dunia. Pohon pemikiran Gus Dur itu sulit dibumikan dan akan selalu dianggap kontroversial, selama bangsa Indonesia belum menghargai perbedaan dan kemajemukan, baik dari sisi suku, agama, ras, dan antar golongan.
Selama perbedaan dan kemajemukan itu belum terealisasi, masyarakat akan menganggap Gus Dur tetap kontroversial dan misteri (penuh rahasia), sebagaimana ungkapan masyhur yang menggambarkan sikap Gus Dur saat masih sugeng. Yakni, ada empat misteri Tuhan di dunia ini, yaitu jodoh, rezeki, umur, dan... Gus Dur. Bahkan, hingga wafat pun, Gus Dur tetap diselubungi oleh rahasia-Nya, mengundang orang untuk menafsir, sebagaimana isi pesan pendek dari seorang kawan di awal esai ini. Sugeng kundur Gus, semoga kami bisa meneladani dan meneruskan semua perjuanganmu....
Bawah Titian, 1 Januari 2010
*) Tayang di Radar Bojonegoro, edisi 3 Januari 2010.
No comments:
Post a Comment