Wednesday, June 9, 2010

Menghindari Kedzaliman Sosial

Wacana memindah ibu kota kabupaten saat ini mulai hangat dibicarakan di Bojonegoro.
Alasan utama yang mengemuka adalah karena kepentingan industri minyak. Berdasarkan
survei seismic tahun 2000 an yang dilakukan oleh (ketika itu) JOB Pertamina-Devon, di bawah pendapa Pemkab Bojonegoro, alun-alun, dan Masjid Agung Darussalam, terdapat cekungan sumber minyak yang diyakini kandungannya melimpah. Kawasan sumber minyak itu masuk dalam Blok Tuban, yang terdiri dari sumur Mudi (Tuban), dan sumur Sukowati (Bojonegoro). Operator Blok Tuban kini beralih ke tangan JOB Pertamina-Petrochina East Java (JOB P-PEJ).
Sejauh ini, rencana itu memicu kontroversi. Alasannya, mengizinkan eksplorasi minyak di tengah kawasan kota, sama halnya dengan mengundang resiko. Masih hangat dalam ingatan betapa dampak dari eksplorasi minyak di kawasan padat penduduk menjadi hantu yang setiap saat dapat datang. Pada tanggal 3 Desember 2008 silam, 22 dari 139 siswa serta 10 guru SDN 02 Campurrejo, Kecamatan/Kabupaten Bojonegoro, mengeluh mual dan pusing usai menghirup gas H2S (hydrogen sulfida). Empat di antara mereka dilarikan ke rumah sakit. Bahkan, satu siswa pingsan di sekolahnya yang hanya berjarak 500 meter arah barat dari sumur sembilan Pad A Sukowati.
Lebih dahsyat lagi, Juli 2006, sumur enam Sukowati meledak. Dampak peristiwa itu luar biasa. Ribuan warga dari Desa Ngampel, dan Sambiroto, Kecamatan Kapas, serta Desa Campurrejo, Kecamatan Bojonegoro dievakuasi. Pihak operator memang bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Warga diberikan kompensasi, meskipun peristiwa itu masih menyisakan trauma kejiwaan yang mendalam hingga kini.
Terlepas dari kontroversi yang masih mengemuka dari rencana mengeksplorasi migas di tengah kota, sejauh ini Pemkab Bojonegoro menyikapi serius rencana memindah ibu kota kabupaten karena faktor takluk dengan industri migas. Masalahnya, apakah tidak terlalu beresiko andai alasan memindahkan ibu kota kabupaten didasari pertimbangan memberi kelonggaran kepada perusahaan minyak untuk mengeksplorasi migas di kawasan kota? Benarkah pemindahan ibu kota kabupaten sudah perlu dilakukan?

Historis dan Teknis
Alasan memindahkan ibu kota kabupaten karena pertimbangan kepentingan eksplorasi minyak dan gas di tengah kota, tampaknya patut ditinjau ulang. Pemindahan ibu kota kabupaten perlu kiranya lebih didasari pertimbangan bahwa Kota Bojonegoro saat ini memang sudah tidak layak lagi untuk dijadikan sebagai pusat pemerintahan, sentral administrasi kabupaten.
Mengapa? Secara historis, pemosisian Bojonegoro sebagai ibu kota kabupaten bisa jadi lebih sebagai bentuk penghargaan pada warisan masa silam. Di masa lalu, kebanyakan ibu kota kabupaten selalu berada di dekat bengawan/sungai ataupun lautan. Sebut saja, Bojonegoro yang dekat dengan Bengawan Solo (hanya berjarak kurang dari 100 meter), Mojokerto dekat dengan Sungai Brantas, atau Tuban yang dekat dengan laut. Pemilihan ibu kota kabupaten dekat dengan sungai didasari pertimbangan ekonomi. Pada masa lalu, sungai dan laut merupakan jalur transportasi strategis untuk percepatan pertumbuhan ekonomi. Pilihan tersebut (kala itu) sangat pas.
Namun masalahnya, kondisi perairan saat ini, khususnya sungai, sudah tidak lagi ramah. Dulu penempatan ibu kota kabupaten dipilih dekat dengan sungai karena pada masa lalu bengawan masih ”bersahabat”. Ekosistem masih terjaga. Hutan masih lebat dan lestari. Dan masyarakat masih menghargai alam sebagai salah satu sumber kehidupan terpenting. Kala itu banjir tidak menjadi ancaman, bahkan sahabat.
Akan tetapi kondisinya kini berbalik 180 derajat. Sungai menjadi ancaman serius yang bisa dipastikan memicu banjir di musim penghujan. Pada musim rendeng bengawan jadi hantu teror yang siap menenggelamkan ribuan hektar sawah siap panen, merusak sarana dan prasarana infrastruktur yang menyisakan kerugian ratusan miliar rupiah.
Tidak bisa dibayangkan andaikata Bojonegoro tetap dipertahankan sebagai ibu kota kabupaten dalam kurun waktu yang cukup lama, sementara pada saat bersamaan ancaman banjir terus menghantui. Pemanasan global yang bisa membuat volume hujan meningkat, sehingga mengakibatkan banjir laten, harus menjadi alasan utama memindahkan ibu kota kabupaten.
Dari sisi teknis, sistem tata ruang kota Bojonegoro sekarang ini juga dipandang sudah tak memungkinkan lagi untuk dipertahankan sebagai ibu kota kabupaten. Tingkat hunian penduduk di kawasan kota terus meningkat dari tahun ke tahun. Data di Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bojonegoro 2005/2006 menunjukkan, tingkat kepadatan penduduk di kota Bojonegoro mencapai 2.983 orang/km2. Angka ini naik dibandingkan angka kepadatan penduduk pada 10 tahun sebelumnya (1996) yang mencapai 2.853 orang/km2. Meningkatnya angka kepadatan penduduk memang belum terlalu signifikan, tetapi yang harus dicermati adalah ada kecenderungan naik dari tahun ke tahun.
Mereka di antaranya menghuni di beberapa titik wilayah yang sebetulnya merupakan kawasan terlarang karena termasuk daerah sepadan Bengawan Solo. Lahan yang semestinya dijadikan sebagai penahan dari kikisan air Bengawan Solo malah di atasnya didirikan bangunan-bangunan untuk permukiman. Dampaknya, erosi tebing Bengawan Solo sudah tidak bisa dihindari lagi. Akibat lanjutannya, wilayah ibu kota kabupaten kian sempit karena terkikis Bengawan Solo yang terus melebar ke tengah kota.
Selain itu, sistem drainase (pembuangan) kawasan kota juga sudah tidak memungkinkan lagi untuk dipertahankan. Jangankan saat banjir, saat hujan deras dengan tingkat volume sedang saja kawasan kota, terutama jalan-jalan protokol menuju pusat pemerintahan selalu direndam air dengan ketinggian antara 30-50 cm. Akibat buruknya sistem drainase, setiap genangan air, baik akibat banjir maupun hujan deras, sulit surut dalam sekejap. Butuh waktu paling tidak enam jam untuk mengurasnya.

Memindah Ibu Kota Kabupaten
Berdasar argumentasi historis dan teknis di atas, memindahkan ibu kota kabupaten dari kota yang sekarang ini dihuni rasanya bukan hal yang mustahil. Namun, perlu ada kajian dan persiapan yang mendalam untuk merealisasikannya. Pertama, dalam menentukan ibu kota pengganti, hendaknya dipilih wilayah medium yang menunjang pengarusutamaan prinsip-prinsip kemudahan pelayanan publik (public service) yang efektif dan efisien.
Jangan sampai pemilihan wilayah pengganti ibu kota kabupaten malah menyusahkan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan pemerintahan. Di wilayah inilah diperlukan ruang publik (public sphere), dengan difasilitasi Bappeda dan pihak-pihak terkait, untuk menentukan ibu kota penggantinya. Sebab, penentuan ibu kota pengganti tidak hanya terkait persoalan administratif pemerintahan, melainkan juga berhubungan erat dengan geografis, sosiopolitik, historis, dan ekonomis.
Kedua, hendaknya Pemkab Bojonegoro perlu meninjau ulang persetujuan eksplorasi migas di kawasan kota. Trauma mendalam yang dirasakan warga di sekitar pengeboran migas sebaiknya harus menjadi pelajaran berharga untuk memberikan proteksi terhadap masyarakat. Mengizinkan eksplorasi migas di tengah kawasan kota sama halnya dengan menciptakan kedzaliman sosial.
Ketiga, pemerintah, baik Pemkab Bojonegoro maupun Pemprov Jawa Timur perlu duduk bersama dengan operator migas untuk mencari solusi pengeboran migas. Yakinlah masih ada cara teknis yang dapat ditempuh (meski mahal?) demi menghindarkan ongkos sosial yang jauh lebih besar. Apalah artinya sebuah kebanggaan mampu menyumbang minyak untuk kebutuhan nasional, akan tetapi dikutuk oleh anak turunan karena dengan sengaja membiarkan pendzaliman sosial berlangsung. (*)

Bawah Titian, 15 April 2009

*) Tayang di Tabloid Suara Banyuurip Edisi 22/II/Mei 2009

No comments:

Post a Comment