Wednesday, June 9, 2010

Catatan Ujung 2009 Orang Miskin Dilarang Sakit*

SELASA (29/12) malam saya menyaksikan sebuah berita dramatis di sebuah stasiun televisi. Seorang ibu usai melahirkan tertahan di RSUD Ciamis, Jawa Barat, tidak boleh pulang. Gara-gara, sang ibu malang itu tidak mampu membayar biaya melahirkan, karena tak mempunyai cukup uang. Dia berasal dari keluarga miskin.
Pihak rumah sakit sudah menyarankan agar keluarganya mengurus surat keterangan tidak mampu (SKTM) di desa ibu malang ini berasal. Upaya sudah dilakukan. Namun, SKTM tidak kunjung didapat, karena terbentur permasalahan administratif. Pihak RSUD tidak bergeming, tak berani memulangkan ibu dan bayinya karena faktanya keluarganya belum membayar. Ibu dan bayinya tetap tersandera, setidaknya sampai ada dermawan yang mau datang membantu membebaskannya.
Beberapa hari yang lalu, RSUD dr Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro mengumumkan kenaikan tarif perawatan di rumah sakit milik pemkab tersebut. Meski masih menunggu peraturan bupati (perbup), RSUD berani memastikan kenaikan tarif resmi diberlakukan per 1 Januari 2010. Usulan kenaikan tarif boleh dibilang fantastis.
Biaya rawat jalan yang semula Rp 5.000, diusulkan menjadi Rp 7.500 (naik 50 persen). Rawat jalan IRD, dari Rp 6.000 menjadi Rp 10.000 (66 persen); rawat inap kelas III dari Rp 6.500 menjadi Rp 16.500 (153 persen); rawat inap kelas II dari Rp 15.300 menjadi Rp 55.000 (259 persen); rawat inap kelas I dari Rp 51.600 menjadi Rp 98.500 (90 persen); rawat inap kelas utama dari Rp 102.000 menjadi Rp 165.000 (61 persen lebih); dan rawat inap kelas VIP dari 150.000 menjadi Rp 235.000 (57 persen). (Radar Bojonegoro, 21/12).
Saya merasa, dua fakta di atas secara terang benderang menunjukkan betapa negara amat tidak berpihak kepada orang miskin (!). Sang ibu malang yang tertahan di RSUD Ciamis, jelas-jelas orang miskin, sehingga kenapa keluarganya sampai diminta mengurus SKTM, untuk membuktikan bahwa dia benar-benar orang tidak berpunya!. Di fakta kedua, coba perhatikan dengan seksama perbandingan besaran antara kelas satu dengan kelas lainnya.
Bahwa, usulan kenaikan tarif terbesar justru terjadi di kelas II dan kelas III. Kelas III jelas identik dengan kelompok ekonomi termarjinalkan, karena kebanyakan pasien pada kelas ini adalah penerima jamkesmas dan jamkesda. Namun, besar kenaikan tarif di kelas ini fantastis, 153 persen!. Kenaikan tarif lebih mencengangkan terjadi di Kelas II, 259 persen!. Padahal, pasien di Kelas II rata-rata secara ekonomi juga tidak beda jauh dengan pasien kelas III. Pasien Kelas II rata-rata juga dari keluarga miskin, atau setidaknya dari kalangan rentan miskin. Bandingkan dengan kenaikan tarif di kelas utama, apalagi kelas VIP yang mayoritas dihuni kaum berada, yang kenaikannya ”hanya” 57 persen! Ironis!
Memang, Pemkab Bojonegoro, berjanji akan memberikan subsidi untuk pasien Kelas III. Namun, yang namanya subsidi tetap saja terbatas. Sedangkan di sisi lain, pasien miskin beserta keluarganya tetap butuh biaya ekstra di luar pengobatan dan perawatan, semisal transportasi, akomodasi, dan makan. Bagaimana dengan pasien dari Kelas II yang besar kenaikan tarifnya jauh lebih tinggi, malah tidak tersentuh sama sekali.
Padahal, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, khususnya pasal 6 dan 7, jelas-jelas mengatur bahwa salah satu urusan wajib pemkab adalah memperhatikan/menjaga kesehatan masyarakatnya. Yang namanya urusan wajib, tanpa ditekanpun sudah menjadi keharusan yang mengikat bagi aparatur pemerintah untuk merealisasikannya.
Saya berpandangan, filosofi hukum wajib adalah adanya keterikatan subjek hukum untuk menjalankan perintah tanpa disertai imbalan atas objek hukumnya. Contoh sederhananya begini, Anda sebagai orang tua wajib mengobatkan anak saat sakit. Apakah Anda lantas akan memungut biaya berobat kepada anak-anak Anda? Tidak bukan? Karena, itu sudah menjadi kewajiban dari orang tua. Hal yang sama idealnya dilakukan ketika pemerintah mempunyai urusan wajib. Dan, retribusi atau kenaikan tarif tidak saja merupakan bagian dari sebuah imbalan, tetapi lebih dari itu: sebagai sebuah upaya pemaksaan dengan tanpa mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan. Wabakdu, benarlah kiranya kata sebagian orang: jangan sampai Anda, apalagi orang miskin, berurusan dengan dua hal, yaitu urusan hukum (polisi, jaksa, dan pengadilan) dan/atau sakit (rumah sakit). (*)

Bawah Titian, 10.21: 30 Desember 2009

*) Satire ini sering menjadi bunga-bunga bahasa dalam diskusi-diskusi di kalangan pegiat OMS.
**) Tayang di Radar Bojonegoro, edisi 31 Desember 2009

No comments:

Post a Comment