Wednesday, June 9, 2010

Quo Vadis Pemberdayaan Perempuan

BEGITU banyak label dan simbol sebagai bentuk penghargaan, pengagungan, sekaligus penghormatan disematkan kepada kaum ibu dan perempuan. Semua tidak membantah, tanah tumpah darah republik disebut ibu pertiwi. Seluruhnya mendukung sebutan untuk pusat wilayah dan pemerintahan adalah ibu kota. Bahkan, segenap manusia juga sepakat sebutan untuk bahasa asal dan daerah yang mencerminkan khazanah budaya/kearifan lokal (local wisdom) adalah bahasa ibu.
Simak pula betapa hebat peran perempuan dan ibu dalam merancang bangun peradaban sebuah bangsa, sampai-sampai ada adagium, wanita adalah tiang negara. Atau, anda tentu sering mendengar frasa, surga berada di bawah telapak kaki ibu, yang secara telanjang dapat dimaknai, ibu adalah komponen sentral yang berpengaruh terhadap kebahagiaan sekaligus kesengsaraan anak. Rasanya begitu banyak kiasan pengagungan perempuan dan ibu yang tidak mungkin diurai satu demi satu.
Pendek kata, penggunaan kata-kata ibu dan perempuan sebagai simbol penghargaan dan pengagungan atas episentrum kehidupan jauh melintasi batas-batas ideologi, komunal, dan tak terbatas ruang dan waktu. Simbolitas ibu dan perempuan pun acapkali dipakai untuk menggambarkan konsistensi pemberdayaan terhadap anak-anaknya.
Ironisnya, fakta yang terpampang, jauh panggang dari api. Alih-alih perempuan dan ibu mampu mencapai derajat hakiki sebagaimana adagium indah di atas. Yang terjadi justru berkebalikan. Kaum ibu dan perempuan terjebak dalam keterpurukan, hingga menjadikan mereka sebagai korban di setiap lorong zaman.
Penelitian World Bank (Bank Dunia) tahun 2008 menyebutkan, angka kematian ibu saat melahirkan di Indonesia meningkat drastis dibanding tahun sebelumnya. Dari 302/100 ribu menjadi 420/100 ribu ibu melahirkan. Hal ini tentu sangat memprihatinkan karena Millenium Development Goals (Tujuan Pembangunan Milenium atau MDGs) mematok 125/100 ribu ibu melahirkan dan ditargetkan tercapai di tahun 2015. Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia ini termasuk tertinggi di kawasan Asia. Data ini diungkap bukan dimaksudkan untuk menista bangsa sendiri, melainkan lebih sebagai sarana instropeksi.
Yang tidak kalah seramnya adalah kekerasan terhadap perempuan meningkat tajam (!). Kekerasan terhadap perempuan dalam tahun 2008 meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Dalam Catatan Tahunan 2008, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat peningkatan jumlah kekerasan hingga 213 persen atau mencapai 54.425 kasus.
Angka ini sangat memprihatinkan, karena dari tahun ke tahun tren kekerasan terhadap perempuan selalu meningkat. Data Komnas Perempuan juga menyebut, pada tahun 2004, perempuan korban kekerasan tercatat 14.020 kasus. Namun, pada tahun 2005 meningkat menjadi 20.391 kasus, tahun 2006 teradat 22.517 kasus, dan tahun 2007 menjadi 25.522 kasus. Klimaksnya, rentetan catatan kelam nasib perempuan di atas menjadikan peringkat Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia, turun dari 108 (tahun 2006-2008) ke peringkat 111 (tahun 2009).

Tidak Pro Perempuan
Ada beragam faktor yang menghambat sekaligus menjadikan kaum ibu dan perempuan mengalami keterpurukan sebagaimana tersebut di atas. Pertama, distorsi pemahaman teks keagamaan. Dipahami bersama bahwa dalam dogma kitab suci agama (khususnya Islam), terdapat ayat yang menjelaskan peran kepemimpinan di tangan laki-laki. Akan tetapi oleh sebagian pengampu agama, ayat itu ditafsirkan secara monopolistik dengan interpretasi tunggal bahwa hanya kaum laki-lakilah yang berhak memimpin.
Padahal, pemahaman teks ini justru bertentangan dengan risalah yang dibawa Rasul yang menebarkan pesan demokrasi, kesetaraan gender, keadilan, toleransi, kebersamaan, dan kasih sayang. Akan tetapi, karena sudah sedemikian akutnya distorsi interpretasi teks itu, dampak lanjutannya dogma ini menjelma sebagai teror psikologis bagi perempuan, sehingga tak mampu lagi bergerak karena dibatasi sekat agama dan etika sosial. Sebagian besar perempuan hanya bisa pasrah berada di bawah bayang-bayang kaum lelaki dan terjerembab dalam kubangan keterpurukan, tanpa mau berbuat lebih.
Kedua, minimnya regulasi yang berpihak kepada perempuan. Pemerintah memang sudah membuat berbagai undang-undang dan peraturan yang berhubungan dengan perempuan. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan Nursyahbani Katjasungkana, Koordinator Federasi LBH APIK Indonesia, regulasi skala nasional dan daerah yang ada, hanya menempatkan perempuan sebagai objek seksual/sumber maksiat. Misalnya, UU Perkawinan, UU Anti Pornografi dan Pornoaksi, serta Perda Tangerang. Sejauh ini, regulasi yang menjadikan perempuan sebagai subjek pembangunan, masih minim (untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali). Sedikitnya regulasi ini akhirnya semakin menumbuhsuburkan tindak kekerasan yang dalam hal ini sebagian besar korbannya adalah perempuan.
Ketiga, pola pemberdayaan karitatif. Jamak diketahui pemberdayaan perempuan yang dicanangkan pemerintah melalui berbagai program, masih sepotong-sepotong. Ambil contoh Program Keluarga Harapan (PKH) yang sasaran utamanya adalah kaum ibu dan perempuan. Tujuan program ini sebenarnya bagus, karena membantu meringankan beban kaum ibu dan perempuan, khususnya di bidang kesehatan dan pendidikan. Namun, program ini dianggap kurang memenuhi sasaran, karena sebagian besar dananya justru digunakan orang tuanya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Kita mungkin pernah mendengar bantuan uang untuk biaya pendidikan anak kelompok sasaran, yang justru digunakan oleh orang tuanya membeli beras. Kasus serupa sering terjadi terhadap program pemberdayaan lainnya. Kurang tepatnya sasaran program pemberdayaan ini salah satunya karena dijalankan dengan sepotong-potong, dan tidak merambah terhadap aspek kebutuhan kelompok sasaran lainnya.
Di luar tiga hal di atas, ada banyak penyebab lain yang membuat perempuan semakin tak berdaya. Antara lain, belum tertanganinya problem di bidang ketenagakerjaan mulai dari minimnya upah buruh dan pembantu rumah tangga, hingga nihilnya proteksi hukum bagi tenaga kerja korban kekerasan, yang sebagian besar adalah perempuan. Juga, masih rendahnya komitmen para pengambil kebijakan untuk mendorong peningkatan kesadaran politik kaum perempuan. Semua itu mengakumulasi dan menyadarkan kepada kita bahwa selama ini problem yang melingkupi program-program pemberdayaan perempuan begitu kompleks.

Merubah Orientasi
Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk Indonesia, berikrar bahwa pada tahun 2015 akan melakukan delapan langkah Millenium Development Goals (Tujuan Pembangunan Milenium atau MDGs). Delapan langkah itu adalah, memberantas kemiskinan dan kelaparan, mewujudkan pendidikan dasar bagi semua, serta mendorong kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan. Kemudian, mengurangi tingkat kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, dan memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain. Serta, menjamin kelestarian lingkungan, serta mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Adalah sebuah keharusan, pemerintah merancang dan merealisasikan program-program pemberdayaan, khususnya dengan kelompok sasaran perempuan dan ibu, yang berbasis delapan tujuan pembangunan milenium. Mekanismenya, dilakukan dengan membangun sinergisitas dan komitmen antardepartemen serta otoritas keagamaan yang terkait untuk mendesain rigit kegiatan yang memiliki ruh delapan MDGs.
Komitmen ini perlu dijalankan secara sungguh-sungguh dengan menanggalkan seluruh ego sectoral masing-masing institusi, agar program pemberdayaan yang dijalankan tidak karitatif dan semu. Sehingga, tidak terkesan hanya sekadar menjalankan (menggugurkan) program, namun nisbi dalam mewujudkan substansi pemberdayaan. Yang banyak terjadi selama ini adalah kesan saling iri di antara instansi pemerintahan dalam menjalankan program pemberdayaan, masih kuat. Padahal, tanpa disadari efek jangka panjangnya justru dapat memudarkan substansi pemberdayaan.
Selain berbasis MDGs, program pemberdayaan yang dirancang juga harus berbasis 10 hak dasar manusia. Itupun (sekali lagi) harus dilaksanakan secara komprehensif dan tidak sepotong-sepotong. Sepuluh hak dasar itu adalah hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan dan kesempatan berusaha, hak atas perumahan dan tempat tinggal yang layak, serta hak atas air bersih dan sanitasi. Kemudian, hak atas tanah, hak atas sumberdaya alam dan lingkungan hidup, hak atas rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, serta yang terakhir adalah hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik.
Satu hal lagi yang penting, program itu harus ditunjang dengan regulasi, bisa berwujud undang-undang, peraturan pemerintah atau lainnya, yang sekaligus menyertakan sanksi bagi yang melanggar. Selama itu tak dicantumkan, jangan harap program pemberdayaan dapat berjalan dengan komprehensif dan simultan. Sekiranya langkah-langkah di atas dilakukan, penulis yakin program pemberdayaan perempuan dapat menghasilkan sesuatu yang bermakna. Sehingga adagium di kalimat pembuka di atas tidak sebatas jargon indah yang melenakan, melainkan dapat mengejawantah secara nyata dan hakiki. Semoga. (*)

Bawah Titian, 28 Oktober 2009

*) Tayang di Radar Bojonegoro edisi 1 November 2009, halaman 38.

No comments:

Post a Comment