Wednesday, June 9, 2010

Mengatur Dana Peduli Bencana

Tingginya semangat filantropi dan solidaritas bangsa ini terhadap korban-korban bencana alam, misalnya gempa di Sumatera Barat, sangat membanggakan. Pada satu sisi, aksi solidaritas sosial ini menjadi modal penting bagi korban untuk bangkit dari keterpurukan mental, sosial, dan ekonomi yang hancur akibat bencana. Dengan semangat merasa tidak sendirian menghadapi bencana, mereka seperti mempunyai kekuatan berlebih untuk bangun dari keterpurukan.
Namun di sisi lain, jika tidak dilakukan pengawasan secara ketat, aksi-aksi penggalangan dana berikut penyalurannya untuk korban bencana justru berpotensi menyemai masalah baru, rawan diselewengkan, dan dikorupsi. Sikap pemerintah yang terkesan membiarkan dan membebaskan seluruh elemen masyarakat bergerak sendiri-sendiri untuk menggalang dana/dompet peduli, sekaligus menyalurkan bantuan kepada korban disadari atau tidak berpotensi menimbulkan tindakan penggelapan.
Kita mungkin belum bisa melupakan kejadian 2005 silam saat polisi menangkap seorang pegiat sebuah organisasi non pemerintah (ornop) yang diduga menyelewengkan dana bantuan untuk korban tsunami di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Jika dicermati lebih jernih, penyelewengan terjadi salah satunya karena lemahnya pengawasan dan koordinasi antar pihak-pihak terkait dalam mendistribusikan dan menggalang dana bantuan. Siapa yang dapat menjamin bantuan yang dihasilkan benar-benar disalurkan kepada yang membutuhkan? Sebab, ada kalanya penggalangan dana dilakukan sampai ke pelosok desa yang nyaris tanpa kontrol dan pertanggungjawaban publik yang jelas.
Hanya mengandalkan integritas moral bahwa penggalang dana pasti akan menyalurkan bantuan kepada yang membutuhkan, tidak cukup dan terlalu beresiko. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya-upaya tertentu yang dapat menjaga semangat para korban agar tetap merasa tidak sendirian dan tidak dimanfaatkan kesengsaraannya demi meraih keuntungan oleh kelompok-kelompok tertentu.
Apalagi, Indonesia, termasuk Jawa Timur, ”ditakdirkan” mengalami bencana alam yang beragam. Bukan bermaksud mendoakan, selain gempa, tsunami, dan tanah longsor, bencana alam lain yang kerap mengancam adalah banjir, angin puyuh dan lainnya. Bukan tidak mungkin, saat bencana datang, aksi-aksi penggalangan bantuan bermunculan. Bagi media massa, bentuk pertanggungjawaban dari penggalangan dana bantuan tidak menjadi masalah serius, karena akuntabilitasnya bisa diumumkan terbuka melalui medianya yang bisa bebes diakses masyarakat. Baik menyangkut besar bantuan yang diterima maupun yang akan dan sudah disalurkan.
Akan tetapi, penggalangan dana dan penyalurkan bantuan yang melibatkan masyarakat umum, tampaknya perlu pengaturan yang lebih komprehensif dan mengikat. Agar dana bantuan bisa terselamatkan dan sampai (amanah) kepada yang membutuhkan, pemerintah bersama Palang Merah Indonesia (PMI) selaku pemegang otoritas dan regulasi, perlu ikut campur tangan.
Bila perlu ada regulasi khusus yang mengatur hal-hal teknis penanganan terhadap korban bencana, termasuk perihal penggalangan dana secara swadaya oleh elemen masyarakat. Regulasi ini berlaku hingga tingkat desa. Teknisnya, pemerintah daerah berfungsi sebagai pemberi persetujuan (legalisasi) terhadap upaya-upaya penggalangan dana oleh elemen masyarakat.
Organisasi kemasyarakatan, LSM, sekolah-sekolah dan elemen masyarakat lainnya dapat menggalang dana bantuan sepanjang memperoleh registrasi dari pemerintahan daerah.
Campur tangan pemerintah ini bukan dimaksudkan untuk mempersulit keinginan dari masyarakat yang berniat membantu meringankan beban penderitaan korban bencana alam. Namun, lebih untuk mengatur agar bantuan tepat sasaran dan disalurkan kepada yang membutuhkan.
Dalam regulasi juga perlu ditegaskan bentuk-bentuk pertanggungjawaban publiknya. Semisal, jika yang menggelar penggalangan bantuan adalah pihak sekolah atau kelompok masyarakat di wilayah kecamatan, harus diumumkan terbuka di ruang publik seperti balai kecamatan. Jika penggalang bantuan di desa atau kelurahan, perolehannya diumumkan terbuka di balai kelurahan atau balai desa. Tujuannya, masyarakat penyumbang dapat mengakses secara transparan.
Sementara penggalang dana di wilayah kota, kabupaten, dan provinsi, pengumumannya bisa di kantor pemerintahan kota, kabupaten, dan provinsi. Atau juga, diumumkan secara terbuka melalui mass media. Sekilas, model ini terkesan menyumbat keinginan warga yang akan menyumbang. Namun, apabila dipikir secara jernih, langkah ini relatif lebih bisa menjaga amanah dari penyumbang sekaligus menutup peluang untuk mengurangi hak dari korban bencana. Agar tidak lagi kita jumpai anak-anak yang keleleran meminta sumbangan di jalan-jalan. (*)
Bojonegoro, 25 November 2009

*) Tayang di Harian Surya, edisi 4 Desember 2009.

No comments:

Post a Comment