Wednesday, June 9, 2010

CSR Berbasis Hak Dasar, Mungkinkah?

KABUPATEN Bojonegoro mengukir sejarah baru. Pada tanggal 10 Desember 2008, sumber minyak Banyuurip di Kecamatan Ngasem mulai dieksplorasi. Minyak yang diangkat pada first oil ini sekitar 1.500 barel per hari (bph). Selanjutnya, pengembangan Blok Cepu akan memasuki tahap early production. Pada tahap ini, sekitar Februari 2009, produksi minyak ditargetkan bisa naik ke angka 20.000 bph. Sedangkan, pada puncak produksinya ditarget mencapai 165.000 bph.
Dari sisi ekonomi, berproduksinya Blok Cepu membawa angin segar. Harapan warga Bojonegoro, khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya, untuk menikmati berkah kesejahteraan dari kucuran minyak membumbung tinggi. Meski saat ini harga minyak dunia terus menurun, tidak bisa dibantah bahwa harga minyak dunia masih berpeluang naik di masa-masa mendatang. Dengan sendirinya pula bagi hasil minyak yang melimpah tetap akan mengalir ke negara, termasuk Bojonegoro.
Permasalahannya adalah masyarakat, terutama warga di sekitar lokasi pengeboran, tidak bisa langsung merasakan imbas positif dari berproduksinya sebuah sumber minyak dan gas bumi. Kucuran dana bagi hasil dipastikan masuk negara yang implementasinya lewat berbagai program pemberdayaan masyarakat. Namun, program itu kebanyakan bersifat umum, tidak spesifik dan langsung menyentuh kebutuhan mereka.
Padahal, merekalah yang kali pertama akan merasakan dampak negatif langsung dari risiko ”wajar” dalam sebuah produksi minyak. Kasus gas menyengat yang keluar dari sumur minyak Sukowati, yang dikelola Joint Operating Body Pertamina-PetroChina East Java (JOB P-PEJ) awal Desember 2008 lalu, hanyalah salah satu contoh ancaman yang setiap saat akan terjadi dan dialami masyarakat di sekitar lokasi pengeboran.
Lantas, apa yang diperlukan untuk mengantisipasi kemungkinan gejolak yang muncul apabila ”risiko” dalam industri perminyakan tersebut benar-benar terjadi? Bagaimana idealnya posisi operator dalam wilayah ini? Apa yang perlu dilakukan operator?

Sebatas Karitatif
Sebagian besar korporasi (perusahaan), di Indonesia belum menjalankan prinsip-prinsip coorporate social responsibility (CSR/tanggung jawab sosial perusahaan) yang sesungguhnya. Kalaupun hal itu dilakukan, masih sebatas pada “CSR Peduli”. Yakni, aktivitas karitatif dan reaktif dalam aksi-aksi sosial, baik reguler maupun bencana alam.
CSR adalah sebagai kewajiban yang ”memaksa”, sebagai bentuk refleksi dari tuntutan masyarakat terhadap dunia usaha. Jika tidak dilakukan, hal itu akan berdampak adanya anarkisme, vandalisme, maupun bentuk-bentuk kegiatan represif dari masyarakat. Ini yang perlu diwaspadai.
Perusahaan mau tidak mau harus melaksanakan kewajiban CSR. Sebab, regulasi yang mengatur kewajiban tersebut telah ada. Yakni, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam pasal 15 (b) dijelaskan, setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Penjelasan pasal 15 (b), yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
Bagi yang melanggar, sanksinya juga tegas. Pasal 34 ayat 1 menegaskan, badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa: (1) peringatan tertulis; (2) pembatasan kegiatan usaha; (3) pembekuan kegiatan usaha dan / atau fasilitas penanaman modal; atau (4) pencabutan kegiatan usaha dan / atau fasilitas penanaman modal.

Merawat Blok Cepu
Ada beberapa hal yang perlu dan mendesak dilakukan agar kejadian-kejadian negatif yang kerap menyertai dalam eksploitasi minyak tidak terulang. Pertama, pemerintah daerah, dalam hal ini Pemkab Bojonegoro maupun Pemprov Jawa Timur, perlu membuat regulasi turunan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal serta perundang-undangan lain yang terkait dengan jaminan hukum untuk terlindunginya hak-hak masyarakat sekitar perminyakan.
Regulasi ini penting agar menjadi pegangan teknis daerah untuk menjamin dan mem-proteck kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi dan yang terdampak eksploitasi minyak. Ini juga supaya operator dan pihak-pihak terkait minyak lainnya bertindak hati-hati dalam mengeksploitasi sumber daya alam berbahan fosil tersebut.
Kedua, sosialisasi tentang hal-hal teknis perminyakan harus dilakukan secara massif dan simultan kepada masyarakat. Misalnya kapan masyarakat harus waspada pada saat pembakaran gas, --untuk memisahkan kandungan minyak dan gas, dilakukan. Sebab, selama ini sosialiasi hanya dilakukan sebatas kasuistis. Idealnya, sosialisasi dilakukan secara simultan, karena problem teknis yang bisa memicu korban terjadi sewaktu-waktu.
Ketiga, operator dan pemerintah daerah perlu menyusun CSR dan community delopment (comdev/pengembangan masyarakat) yang berbasis pada 10 hak dasar masyarakat.
Sepuluh hak dasar itu adalah hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan dan kesempatan berusaha, hak atas perumahan dan tempat tinggal yang layak, hak atas air bersih dan sanitasi, hak atas tanah, hak atas sumberdaya alam dan lingkungan hidup, hak atas rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik.
Sebab, selama ini pemenuhan program-program terkait kemasyarakatan bisa dibilang hanya bersifat karitatif, belum berbasis kebutuhan riil masyarakat. Penulis yakin jika tiga step tersebut dilakukan, maka sumber minyak akan menjadi berkah, bukan musibah seperti yang dikhawatirkan sebagian kalangan selama ini. (*)

Bawah Titian, 14 Januari 2009

*) Tayang di Tabloid Suara Banyuurip, Edisi 18/II/Januari 2009.

No comments:

Post a Comment