Wednesday, June 9, 2010

Nuzulul Quran dan Teologi Pena

PERTANYAAN besar yang harus dijawab oleh bangsa Indonesia, yang sebagian besar penduduknya memeluk Islam adalah dimana posisi dan peran agama dalam menjawab problem kebodohan? Kegelisahan ini mengemuka, karena pada titik-titik tertentu, agama dianggap tidak berdaya dan tak mempunyai jalan keluar saat dihadapkan dengan problem realitas. Salah satu problem sosial yang hingga kini belum tergarap tuntas adalah masih minimnya budaya literasi (baca) dan berkarya (menulis) dari masyarakat Indonesia.
Tengok betapa IPM (indeks pembangunan manusia/human development index), yang salah satu dari tiga indikasinya adalah pendidikan, menempatkan Indonesia di peringkat 107 (tahun 2007-2008) dari 177 negara di dunia. Padahal, sebagaimana dikatakan oleh Diogenes Laertius, Filosof Yunani, dasar kuat dan majunya dari setiap negara didapat dari pendidikan yang dimiliki generasi mudanya.
Atau, simak rilis dari Daniel Rosyid’s World yang menemukan fakta bahwa tradisi literer dan pena (menulis) Indonesia masih sangat rendah dibanding negara-negara serumpun. Faktanya, jumlah buku baru yang terbit di negeri ini hanya 8.000 judul per tahun. Masih kalah dengan Malaysia yang menerbitkan 15.000 judul per tahun. Atau, Vietnam, negeri yang kemerdekaannya jauh setelah Indonesia, sudah mampu menerbitkan 45.000 judul buku per tahun. Apalagi dibandingkan dengan Inggris yang mampu menerbitkan 100.000 judul per tahun! Tentu negeri kita kalah jauh.
Begitu pula dalam data Badan Pusat Statistik 2006 yang memaparkan fakta bahwa budaya membaca masyarakat Indonesia hanya 23,5 persen, idealnya 80 persen. Jauh lebih rendah dibanding menonton televisi yang mencapai 70 persen lebih. Pada ranah inilah, agama, yang merupakan landasan ideologis manusia, ”dinilai” belum berbuat banyak.

Ideologis dan Historis
Secara ideologis, agama, khususnya Islam, tidak menutup mata terhadap problem dasar perabadan: kebodohan. Turunnya wahyu pertama (QS Al Alaq 1-5) yang diterima Nabi Muhammad SAW pada 17 Ramadhan (6 Agustus 610 M) memiliki bermakna ideologis betapa Allah SWT sangat apresiatif terhadap budaya pena (baca dan tulis).
Sebab, wahyu pertama berisi lima ayat ini memerintahkan manusia mengawal peradaban dengan membaca. Spirit yang tertuang dalam wahyu pertama ini adalah betapa Tuhan ”lebih mementingkan” antrophosentris (kemanusiaan) ketimbang transedental (ritual ibadah) seperti salat atau yang lainnya. Dapat dikatakan wahyu pertama ini selain sebagai penahbisan Muhammad sebagai Rasul, juga sebagai theologi pena bagi manusia.
Setidaknya, ada dua intisari dari wahyu pertama tersebut. Pertama, perintah Tuhan pada Muhammad, termasuk kepada umat manusia, mengandung arti bahwa dari membacalah peradaban manusia dimulai. Pada titik ini, Tuhan menghendaki Islam menjadi agama beradab dan cerdas. Tuhan memberitahukan kepada kita hanya membaca dan menulislah yang membedakan manusia beradab dengan biadab, yang pada masa itu diwakili dengan bersimaharajalelanya kaum Quraisy dengan tradisi jahiliyahnya (kebodohan).
Kedua, dari membacalah manusia akan mengetahui banyak hal dalam kehidupannya. Tak hanya yang terhampar di hadapannya. Melainkan juga terhadap apa-apa yang sebelumnya tidak diketahui oleh manusia. Dengan demikian, Islam sebenarnya memberi penghargaan yang sangat tinggi terhadap membaca dan menulis.
Dalam Alquran pun banyak dijumpai ayat-ayat yang mengutarakan penghargaan tinggi Tuhan terhadap huruf, pena, dan tulisan. Sampai-sampai ada surat khusus bernama Al Qolam (QS 68) yang berarti pena. Hal ini menunjukkan betapa membaca dan menulis memiliki derajat sangat tinggi di sisi Tuhan.
Tingginya penghargaan Islam terhadap tradisi intelektual pada masa lampau direspons kaum muslim hingga mampu menggapai zaman keemasan (the golden ages). Ikhtiar penerjemahan buku-buku asing dimulai pada Dinasti Umayah dan digiatkan pada masa Dinasti Abbasiyah. Dorongan untuk bergiat mambaca dan menulis tidak hanya dilakukan oleh kaum cerdik pandai. Para pemimpin pemerintah juga mempunyai political will yang tinggi untuk mendorong umat Islam untuk membaca, mengkaji, dan berkarya. Kemauan politik inilah yang tidak dijumpai pada pemimpin kita dewasa ini.
Sejarah mencatat bagaimana Khalifah Abu Ja`far Al Mansur dari Dinasti Abbasiyah di Baghdad, Iraq, sampai mendatangkan ahli-ahli penerjemah untuk menerjemahkan kitab-kitab kedokteran, astronomi, dan ilmu pemerintahan (politik) dari bahasa-bahasa Yunani, Persia, dan India. Di masa Khalifah Al Makmun, juga dari Dinasti Abbasiyah, semangat mengkaji tradisi intelektual lebih hebat lagi.
Di masa pemerintahannya, Al Makmun mendirikan Baitul Hikmah, perpustakaan yang sangat lengkap yang mengkaji berbagai disiplin ilmu. Ketika itu Al Makmun mengirim satu rombongan ahli penerjemah ke Roma dan membawa kitab-kitab serta buku-buku keilmuan ke Baghdad untuk diteliti.
Di masa ini pula lahirlah ahli-ahli filsafat, astronomi, biologi, kimia, yang setara dengan filosof Yunani. Sebut saja Al Kindy dan Al Hasan bin Musa. Atau, Muhammad bin Musa Al Khuwarazmi, penemu Al Jabar, salah satu cabang dari ilmu matematika. Begitu juga Al Farabi (wafat 339 H), pencipta alat musik Alqanun yang oleh barat (Eropa) direplikasi dengan menciptakan alat musik yang dikenal dengan nama piano.
Nama-nama kondang lain yang muncul ketika itu adalah Ar Razy (wafat 311 H), ahli kedokteran dan kimia; Ibnu Sina/Avecena (wafat 328 H), ahli astronomi dan biologi; serta Al Biruni (wafat 430 H), ahli astronomi dan biologi. Masa keemasan berkembang sampai di masa Dinasti Fathimiyah di Spanyol yang melahirkan tokoh sekaliber Ibnu Rusydi (Averoes) dan Az Zahrawi yang dikenal sebagai pakar astronomi dan biologi. Di masa itu Eropa mengakui Islam ibarat jembatan yang menghubungkan antara kemajuan Eropa di masa lampau (aufklarung) dengan Eropa di masa sekarang. Sehingga, saat itu orang Eropa banyak yang berguru dengan orang-orang Islam.

Membudayakan Literasi
Di masa lampau Islam mampu menjadi obor yang tidak hanya menyinari pemeluknya, melainkan sudah melintasi batas-batas agama, komunal, dan zamannya. Islam pada masa itu menggapai puncak intelektualisme, menjadi guru kehidupan dan bagian dari sejarah. Para pemikir Islam kala itu mencapai kulminasi dari proses intelektualisme membaca dan mengkaji (diskusi) melalui menulis.
Akan tetapi, apalah artinya kebanggaan sejarah kalau realitas kekiniannya justru terpuruk, terjebak stigma radikalisme agama yang kontraproduktif dengan kegemilangan sejarah masa lampau. Seharusnyalah, kita memaknai warisan gemilang sejarah dengan menjadi obor, yang menerangi zaman ke zaman, sebagaimana disinyalir Cicero bahwa sejarah adalah saksi sang waktu. Sebagai saksi waktu, sejarah merupakan obor kebenaran, nyawa dari ingatan, guru kehidupan, dan pembawa waktu masa ke masa. Oleh karena itu, patut diprihatinkan kalau Indonesia, yang 95 persen penduduknya Islam, kehilangan jejak sejarah (ahistoris) tradisi pena.
Momentum Nuzulul Quran 1430 H (Senin, 7/9), kiranya harus dijadikan sebagai spirit mengembalikan tradisi pena pada tempatnya. Dibutuhkan kesadaran semua pihak, baik NGO, ormas, lembaga pendidikan, pemerintah, hingga elemen masyarakat untuk berkolaborasi aktif mengembangkan rumah-rumah baca, pusat studi, dan perpustakaan hingga lapisan terbawah (grass roots) agar membaca dan menulis menjadi bagian dari gerakan budaya.
Pondok pesantren, yang oleh Gus Dur dianggap sebagai subkultur, perlu terus didorong untuk memiliki fasilitas dan sarana baca yang tak hanya menyediakan kitab-kitab bahan ajar, tetapi juga pelbagai literatur kelimuan yang menunjang kematangan berfikir santri. Di sinilah peran kiai dan tokoh masyarakat dibutuhkan agar agama memainkan peran sebagai pencerah umat, tidak melulu mengurus ritual ibadah, sehingga pada akhirnya
dapat menghapus stigmatisasi paras keagamaan yang radikal.
Yang juga tak kalah pentingnya adalah political will dari pemegang kebijakan untuk ikut serius mengawal gerakan intelektualisme. Bahkan, bila diperlukan, negara perlu turun tangan dengan menggelontorkan anggaran yang besar untuk upaya-upaya yang mengarah pada kegiatan peningkatan membaca, meneliti, dan menulis. Tentu, langkah ini harus diimbangi dengan kontrol ketat agar tidak menjadi penyakit baru di kemudian hari, yakni korupsi. Wallahu A`lam bishshowab. (*)

Bojonegoro, 3 September 2009

*) Tayang di Radar Bojonegoro, edisi 13 September 2009.

No comments:

Post a Comment