Tuesday, April 5, 2011

Mau Dibawa Kemana RS Veteran?

Salah satu tema hangat yang menjadi bahan perbincangan di kalangan anggota DPRD Bojonegoro akhir-akhir ini adalah perihal mau dibawa kemana pengelolaan rumah sakit (RS) di Jalan Veteran? Sudah dibangun dengan biaya mahal, Rp 110 miliar, plus waktu yang panjang, karena dianggarkan dengan sistem multiyears (tahun jamak), yang terjadi justru tidak sesuai dengan harapan: mangkrak.
Kalau ukuran ”kebenaran” adalah terdapatnya mayoritas pendapat masing-masing fraksi dan komisi-komisi di DPRD Bojonegoro, sebagaimana dilansir koran ini edisi 22 Maret 2011, rasanya pemkab memang harus merelakan dua opsi lainnya, yaitu dikelola dengan menggandeng pihak ketiga dan dijual, hilang. Tetapi, apakah ukuran sebuah kebijakan itu
selalu berdasar pendapat mayoritas (fraksi dan komisi)?. Rasanya, setidaknya menurut penulis, harus diuji terlebih dahulu kesahihan ”pendapat” itu, dengan merujuk kembali landasan konstitusional mengapa sebuah rumah sakit dibangun.
Saya bukanlah orang yang ahli dalam bidang administrasi publik. Saya juga bukan ahli ilmu kesehatan, yang harus memaparkan detail dan rigid syarat-syarat mendirikan rumah sakit, berikut rumus-rumus medis dan teknisnya. Saya hanya akan memakai logika awam dan sederhana yang mungkin akan lebih mudah dipahami oleh semua orang, dengan mengacu landasan konstitusional yang digunakan untuk mendirikan sebuah rumah sakit: Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Begini, pada Bab II (Asas dan Tujuan) UU 44/2009, khususnya Pasal 2 dijelaskan, rumah sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti-diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. Yang saya ingin garis bawahi dalam pasal ini adalah diksi ”keselamatan pasien.”
Dalam Penjelasan UU 44/2009 pada Pasal 3 huruf b disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam suatu rumah sakit yang memberikan pelayanan pasien yang lebih aman. Termasuk di dalamnya adalah assasemen risiko, identifikasi, dan manajemen risiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk mengurangi serta meminimalisir timbulnya risiko.

Makna Keselamatan Pasien
Lantas, apa hubungannya dengan rumah sakit di Jalan Veteran? Sebagaimana dimaklumi bersama, di sebelah utara bangunan RS di Jalan Veteran tersebut, yang jaraknya tidak ada 1 Km, berdiri dengan kokoh sumur minyak Sukowati Pad B yang masuk Desa Ngampel, Kecamatan Kapas yang telah dikelola Joint Operating Body Pertamina-PetroChina East Java (JOB P-PEJ). Sumur ini sudah dieksploitasi, dan menghasilkan minyak.
Dalam dunia pertambangan, industri minyak adalah bisnis yang dikenal dengan high risk (risiko tinggi), baik bagi pekerja maupun lingkungan di sekitar sumur minyak. Risikonya bisa bermacam-macam. Termasuk kemungkinan keluarnya gas H2S (hidrogen sulfida) yang lazim dibakar di flare pit untuk memisahkan kandungan gas yang terbawa dalam zat minyak. Bagi warga Desa Ngampel, dan Desa Campurrejo, Kecamatan Kota Bojonegoro, pembakaran gas H2S sudah menjadi ”pemandangan” yang akrab.
Boleh dibilang, warga sudah siap melakukan tindakan-tindakan, bilamana mencium bau menyengat saat gas H2S dibakar, meski tidak sekalipun mereka menginginkannya. Pada saat itulah, mereka biasanya langsung beramai-ramai mengevakuasi diri, pindah menuju lokasi atau rumah lain yang lebih aman dari jangkauan gas H2S. Mereka akan mengungsi untuk sementara waktu, supaya terhindar paparan gas yang menurut ahli perminyakan, bisa mematikan tersebut.
Di luar kemungkinan munculnya gas H2S, risiko lain yang mungkin terjadi dalam dunia perminyakan adalah ledakan di sumur minyak, meski kita tidak menginginkannya. Anda mungkin masih ingat bagaimana dahsyatnya peristiwa blow out akibat adanya gas kick di sumur minyak Pad A di Desa Campurrejo sekitar tahun 2005 silam. Saat itu, ribuan orang terpaksa dievakuasi, karena selain menimbulkan api yang berkobar, bau menyengat yang keluar ketika itu juga begitu kuat. Banyak warga mengalami pening, mual, dan muntah. Mereka semua awalnya sehat, dan waras, tetapi langsung mual-mual, dan pening ketika mencium bau menyengat secara mendadak.
Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana jadinya kalau (setidaknya dua) risiko tersebut menjadi kenyataan, di saat RSUD dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo di Jalan Dr. Wahidin jadi dipindah ke rumah sakit di Jalan Veteran. Betapa panik dan repotnya evakuasi yang harus dilakukan oleh para awak medis dan keluarga pasien. Sekali lagi, saya tidak pernah berpretensi menginginkan atau sekurang-kurangnya mendoakan agar ancaman tersebut menjadi kenyataan. Akan tetapi, dalam pandangan saya, negara, termasuk dalam hal ini Pemkab dan DPRD Bojonegoro, mempunyai kewajiban menjamin keselamatan dan rasa aman warganya (pasien) dan meminimalisir risiko yang mungkin terjadi, sebagaimana penjelasan pasal 3 huruf b UU 44/2009. Kalaupun negara, merujuk pandangan Abraham Maslow (1943-1970), tidak mampu menyediakan lima kebutuhan warganya sekaligus, setidak-tidaknya negara wajib menyediakan kebutuhan rasa aman (safety needs): merasa aman dan terlindung dari marabahaya, dengan cara mengambil kebijakan-kebijakan yang mempertimbangkan risiko-risiko yang akan timbul, meski terkecil sekalipun..!! (*)

Blok Lingkar, 1 April 2011

*) Tayang di Harian Radar Bojonegoro Halaman 30, Edisi 3 April 2011

No comments:

Post a Comment