Tuesday, April 12, 2011

Menjaga Siklus Anggaran

UNDANG-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasal 78 menyebutkan adanya hak konstitusi yang besar yang dimiliki lembaga wakil rakyat. Hak itu berupa kewenangan ikut mengatur jalannya pemerintahan. Ketiga hak konstitusi itu adalah legislating (membuat peraturan daerah), budgeting (menyusun anggaran), dan controlling (mengawasi kebijakan eksekutif).
Peran legislating yang dimiliki anggota dewan berkutat dalam ranah terlibatnya anggota DPRD dalam menyusun peraturan daerah (Perda). Keterlibatan anggota DPRD dalam menyusun Perda tidak sebatas dalam konteks membahas an sich. Melainkan dapat juga mengajukan usulan (hak inisiatif) sebuah Perda yang dipandang menjadi kebutuhan pemerintahan daerah. Sejauh ini, penggunaan hak inisiatif masih jarang digunakan oleh DPRD Bojonegoro. Namun, akhir-akhir ini DPRD Bojonegoro mulai menjalankan hak inisiatif, dengan mengajukan Raperda Penyelenggaraan Pendidikan, meskipun raperda ini merupakan rekomendasi DPRD periode sebelumnya (2004-2009). Namun toh, ini tetap sesuatu yang menggembirakan.
Sedangkan dalam posisinya sebagai lembaga controlling, DPRD bertugas melakukan pengawasan terhadap kinerja yang dilakukan eksekutif, berikut satuan kerja perangkat daerah (SKPD)-nya. Baik kinerja yang merupakan realisasi dari formalisasi perundangan dalam bentuk Perda, peraturan bupati (Perbup), maupun kebijakan-kebijakan lain yang sebelumnya telah direkomendasikan oleh dewan. Meski dalam banyak hal pengawasan yang dilakukan oleh DPRD selama ini lebih bersifat watchdog, reaksioner, bukan secara sistematis dan terstruktur, tetapi ”keberanian” untuk tetap melakukan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan, tetap harus didukung bersama oleh semua pihak.
Sementara tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang ketiga adalah budgeting (penyusunan anggaran). Anggaran yang dimaksud disini adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tulisan ini akan lebih memfokuskan diri pada tupoksi anggota dewan dalam perannya sebagai budgeting. Sebab, dalam realisasi tupoksi ini ada banyak hal yang perlu dipertajam.

Pentingnya Siklus Anggaran
APBD merupakan standar ukuran sebuah rancangan anggaran dalam membangun daerah kabupaten/kota selama setahun. APBD juga merupakan sebuah acuan daftar belanja yang akan menjadi timbangan, sehingga bisa diukur apakah kebutuhan selama setahun berjalan mengalami overload (deposit), atau justru defisit. Sebegitu penting dan urgen penyusunan APBD, sudah selayaknyalah proses pembahasannya dilakukan dengan serius, konsentrasi dan fokus, serta dengan semangat dedikasi yang tinggi oleh pihak-pihak yang terlibat. Yaitu, eksekutif (tim anggaran) dan legislatif (badan anggaran).
Demi menjaga agar pembahasan dan penyusunan RAPBD itu tepat waktu, pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan schedule yang lazim disebut dengan kalender atau siklus anggaran. Siklus atau kalender anggaran ini penting, karena bisa dijadikan satu patokan oleh setiap daerah agar tidak terlambat dalam membahas dan menetapkan APBD. Sekali terlambat, efek yang ditimbulkan tidak hanya tersendatnya proses pembangunan di suatu daerah. Akan tetapi, daerah yang terlambat menetapkan APBD juga terkena hukuman (penalty) berupa pemotongan dana alokasi umum (DAU) oleh Kementerian Keuangan.
Mengacu siklus/kalender anggaran, pembahasan RAPBD diawali dengan penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dengan menggunakan bahan dari rencana kerja (Renja) SKPD untuk jangka waktu satu tahun yang mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah Pusat. Penyusunan RKPD diselesaikan paling lambat akhir Mei sebelum anggaran berjalan.
Setelah RKPD ditetapkan, pemkab menyusun Kebijakan Umum APBD (KUA) serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang menjadi acuan bagi SKPD dalam menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD. Rancangan KUA dan PPAS ini disampaikan oleh Sekkab kepada kepala daerah, paling lambat awal Juni.
Selanjutnya, pemkab menyusun rancangan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Pembahasannya dilakukan oleh tim anggaran pemkab dan banggar DPRD. Rancangan PPAS yang telah dibahas, selanjutnya disepakati menjadi PPA paling lambat akhir Juli. Kemudian, pada bulan Agustus, dilanjutkan dengan pembahasan Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) dan penyampaian RKA SKPD kepada DPRD.
Kalender anggaran berikutnya, yakni bulan September, adalah membahas RKA-SKPD, dan bulan Oktober waktunya penyerahan Raperda APBD dari kepala daerah ke DPRD. Penetapan Raperda tentang APBD dan Raperda Kepala Daerah tentang penjabaran APBD yang telah dievaluasi dan ditetapkan, dilakukan paling lambat 31 Desember tahun anggaran sebelumnya.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah siklus/kalender anggaran tersebut sudah berjalan sebagaimana mestinya. Faktanya, bila mengacu pengalaman pembahasan RAPBD 2011, eksekutif cenderung terlambat dalam mengajukan tahapan-tahapan yang berhubungan dengan proses pembahasan RAPBD. Sepanjang yang penulis ketahui, KUA dan PPAS untuk RAPBD 2011 baru dimasukkan kepada DPRD dalam kisaran sekitar bulan September. Padahal, mengacu kalender anggaran, KUA PPAS harus sudah dibahas oleh tim anggaran dan badan anggaran DPRD paling lambat akhir Juli.
Disinilah sebenarnya letak pentingnya DPRD membahas proses dan tahapan pembahasan RAPBD, sekaligus melakukan fungsi kontrolnya dengan maksimal. Sebab, dengan molor di satu tahapan, akan menimbulkan mata rantai kemoloran terhadap tahapan selanjutnya. Hal ini dapat dilihat dengan juga molonya pembahasan APBD. Karena waktunya sudah memungkinkan (ditarget paling lambat disahkan pada 31 Desember), pembahasan yang dilakukan oleh tim anggaran eksekutif dan badan anggaran DPRD menjadi tergesa-gesa, tidak fokus dan berfikir yang komprehensif. Lagi-lagi, dampak lebih besarnya adalah rakyat yang dikorbankan. Alasannya, jika proses pembahasannya saja tidak penuh dengan konsentrasi dan fokus, bagaimana mungkin akan melahirkan sebuah prosedur anggaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat?.

Apa yang Harus Dilakukan?
Adapun langkah yang bisa dilakukan agar DPRD dapat menjalankan perannya dengan maksimal, khususnya dalam tupoksi budgeting, antara lain dengan menyusun kerangka kerja atau rencana kerja (Renja) yang kokoh yang mengikat secara kelambagaan dan personal anggota DPRD. Sebab, tata pemerintahan yang baik (good governance) hanya dapat dicapai apabila ada kerangka kerja yang berprinsip pada participation (partisipasi), rule of law (penegakan hukum), transparency (terbuka), responsiveness (responsif), consensus orientation (orietasi kesepakatan), equity (setara), effectivites and efficiency (efektif dan efisien), accountability (pertanggung jawaban), dan strategic vision (visi yang strategis). Ini sebagaimana disyaratkan oleh United Nations Development Program (UNDP, 1997).
Selama ini sering ditemukan adanya kecenderungan menyalahkan DPRD atas banyaknya kelemahan dalam tata pemerintahan daerah, seperti tertundanya pengesahan RAPBD. Jika ada kerangka kerja di internal dewan, lembaga wakil rakyat ini dapat mempunyai ”panduan” untuk sesegara mungkin melakukan kontrol terhadap keterlambatan yang dilakukan eksekutif dalam menjalankan tahapan-tahapan penyusunan APBD. Sehingga ke depan, DPRD tidak lagi ketiban awu anget, atas keterlambatan tersebut.
Selain renja dan kerangka kerja satu tahunan, DPRD juga harus menyiapkan rencana strategis (Renstra) 5 tahun. Sejauh pengamatan penulis, DPRD Bojonegoro selama beberapa periode tidak pernah membuat Renja, apalagi Renstra. Kegiatan-kegiatan anggota DPRD lebih banyak bersifat insidental, sporadis, dan reaktif, yang disusun setiap sebulan sekali oleh Badan Musyawarah (Bamus, dulu Panitia Musyawarah/Panmus).
Menurut penulis, Renja dan Renstra penting disusun dan dibuat DPRD sebagai acuan dalam menjalankan kinerjanya. Sebab, dalam Renja dan Renstra juga dimaklumatkan tentang capaian kerja, luaran, masukan, dan indikator keberhasilan (sekaligus kegagalan) dalam menjalankan tugas sebagai wakil rakyat, khususnya dalam domain budgeting. Acuan yang ada dalam Renja dan Renstra juga berfungsi sebagai media dan sarana evaluasi dan perbaikan terhadap kerja-kerja yang belum maksimal. Disinilah fungsi monitoring dan evaluasi berjalan efektif. (*)

Blok Lingkar, 28 Maret 2011

*) Tayang di Majalah Info Dewan Bojonegoro, Edisi 02/Thn I/Januari-Februari 2011

No comments:

Post a Comment