Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada) Bojonegoro, yang oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten (KPUK)
Bojonegoro dijadwalkan diselenggarakan pada 10 November 2012 mendatang, bukan
hanya pertarungan antarfigur calon, serta partai politik (parpol) pendukung dan
pengusung. Tetapi sekaligus ujian konsistensi sejauhmana keampuhan dan
kesolidan koalisi parpol mengikat massa
konstituennya.
Ghalib dipahami, bahwa implikasi
dari hasil Pemilihan Umum Legislatif (Pilleg) 2009, tidak satupun parpol yang
memiliki kursi di DPRD Bojonegoro mempunyai delapan kursi. Padahal, jika
mengacu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda),
khususnya pasal 59 ayat 2, setiap parpol bisa mengajukan calon sendiri dalam
Pemilukada jika memiliki kursi 15 persen dari kursi yang ada di DPRD
kabupaten/kota.
Dengan kalkulasi regulasi tersebut,
parpol dapat mengajukan calonnya sendiri apabila memiliki kursi 7,5 yang
dibulatkan menjadi delapan kursi. Konsekuensi hukum ini berimplikasi pula
terhadap konsekuensi politik. Karena parpol pemilik kursi di DPRD Bojonegoro tidak
ada satupun yang mempunyai delapan kursi sebagaimana yang dipersyaratkan dalam
UU Nomor 12 Tahun 2008, maka jalinan koalisi atau gabungan parpol untuk
mengusung dan mendukung calon dalam Pemilukada Bojonegoro adalah pilihan yang
tidak bisa dielakkan.
Masalahnya adalah pondasi koalisi
yang dibangun antara partai satu dengan yang lainnya dalam banyak kasus
Pemilukada di berbagai daerah tidak sama. Ada
yang mengsyaratkan koalisi dibangun atas dasar kesepakatan sharing modal. Tak
sedikit pula koalisi dibangun atas landasan sharing dukungan.
Atau, dalam banyak kasus, koalisi
dibangun atas dasar komitmen-komitmen pragmatis dalam jangka waktu tertentu. Imbalan
posisi wakil bupati, kepala satuan kerja ‘basah’, misalnya, adalah
rasionalisasi yang biasanya diparalelkan dengan dukungan yang akan diberikan
dan kontestasi Pemilukada.
Tidak salah kalau kemudian komitmen
koalisi yang didengung-dengungkan hanyalah sebuah jargon semu nan manipulatif.
Komitmen koalisi lazim diplesetkan menjadi kuali isi, yang bermakna lebih
mementingkan kepentingan kuali, kantong, saku, atau uang semata. Disinilah
prototipe seorang manusia, sebagaimana digambarkan Thomas Hobbes, filosof
politik, bagaikan serigala bagi manusia yang lain (homo homini lupus).
Tetapi amat langka, untuk tidak
mengatakan tak ada sama sekali, koalisi yang dibangun atas dasar kesamaan
ideologi dan filosofis yang rambu-rambunya adalah logis, etis, dan estetis.
Yakni, bangunan koalisi yang dibangun atas dasar nilai-nilai substansial dari
ilmu politik, yaitu membangun kejujuran dalam bingkai benar-salah (logis),
baik-buruk (etis), dan indah-jelek (estetis) dalam menata negara, pemerintahan.
Sudah lama sebenarnya rakyat/masyarakat
rindu dengan kejujuran dalam berpolitik dari segenap aktor atau pelaku-pelaku
politik. Retorika-retorika dan kamuflase politik yang selama ini dimainkan
dalam dramaturgis kaum politikus dalam bingkai koalisi sudah ditangkap rakyat
sebagai basa-basi yang hanya bertujuan untuk mendulang dukungan, tetapi nir-ketulusan,
nir-kejujuran.
Sudah saatnya sebenarnya pondasi
untuk landasan bangunan koalisi atas dasar kesamaan ideologis, komitmen, dan
moralitas sebagai jualan utama yang harus dijalankan oleh aktor-aktor (pelaku)
politik dalam mengembalikan trust building yang sejatinya sudah lama aus
di sanubari publik. Tetapi, sekali lagi, komitmen itu haruslah bukan hanya lip
service belaka, melainkan utuh dengan kesadaran politik yang holistik.
Kesadaran politik yang holistik juga
harus dibangun dalam memandang lawan politik. Justru, menurut R. Marshall
(1970), landasan berpolitik yang baik adalah adanya saling mempercayai lawan
politik, karena hal ini akan mampu mencegah dominasi, mencegah tirani dan
totaliterianisme. Sebab, dikotomi antara kawan dan lawan politik hanyalah
merupakan perbedaan cara pandang dan jalan untuk menuju sebuah goal
akhir dari seni menata negara, yang sesungguhnya adalah satu dan sama. Bukankah
demikian adanya? [*]
Ujung Blok Lingkar, 3 Mei 2012
No comments:
Post a Comment