Monday, April 16, 2012

Peta Konflik Blok Cepu

PADA tahun 2018, ditargetkan produksi puncak minyak Blok Cepu mencapai 165 ribu barel per hari (bph) hingga empat tahun ke depan. Jika skenario Badan Pelaksana Migas (BP Migas) terpenuhi, diharapkan pertengahan 2022 lapangan Blok Cepu menyumbang 20 persen kebutuhan minyak secara nasional.      
Sebagai persiapan menuju puncak produksi Blok Cepu, Pemkab Bojonegoro menerbitkan Perda 23/2011 tentang Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Daerah dalam Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi serta Pengolahan Minyak dan Gas Bumi (Migas). Regulasi ini juga lazim disebut Perda Konten Lokal.
Selain menerbitkan Perda Konten Lokal, Pemkab Bojonegoro juga agresif merebut kans ekonomi yang memungkinkan dilakukan. Salah satunya mengupayakan lapangan terbang (lapter). Tetapi justru inilah, disadari atau tidak, potensi konflik geografis antara Pemkab Blora, yang masih bertetangga dengan Bojonegoro, menyeruak ke permukaan.
Indikatornya, sejumlah pemangku kepentingan di Blora menuding Bojonegoro ’rakus’ dengan merebut segala peluang ekonomi yang muncul dari multiplier effect Blok Cepu. Terlebih, Blora sebelumnya memiliki landasan lapter di Ngloram yang sekarang tidak berfungsi, sekalipun bisa digunakan. (Radar Bojonegoro, 15/2/2012).       
Meski untuk mendirikan lapter butuh kajian mendalam, toh keinginan Bojonegoro tetap saja memanaskan Blora. Sejak operator Blok Cepu memfokuskan kegiatan di Bojonegoro menyusul melimpahnya cadangan minyak di lapangan Banyuurip, berbagai peranti dan aktivitas eksplorasi dipindahkan dari Cepu ke Bojonegoro. Termasuk kilang minyak PT Humpuss yang selama bertahun-tahun beroperasi di Cepu. Pun homebase Blok Cepu, difokuskan di Bojonegoro. Jika tidak segera diantisipasi oleh kedua pemkab, bila perlu kedua pemprov dan pemerintah pusat, bukan tidak mungkin ketegangan kian memanas.

Konflik Institusional
Selain konflik geografis, potensi konflik lainnya adalah terkait kelembagaan pengelolaan participating interest (PI/penyertaan saham) Blok Cepu 10 persen. Dalam pengelolaan PI Blok Cepu ini, Pemkab Bojonegoro melalui BUMD PT Asri Dharma Sejahtera menerima 4,5 persen; Pemprov Jawa Tengah, melalui BUMD PT Sarana Patra Hulu Cepu 1,1 persen; Pemprov Jawa Timur, lewat BUMD PT Petrogas Jatim Utama Cendana 2,2 persen; dan Pemkab Blora lewat BUMD PT Blora Patragas Hulu 2,2 persen.
Keempat BUMD itu empat tahun lalu membentuk Badan Kerja Sama (BKS) Pemegang PI 10 persen Blok Cepu. Dalam perkembangannya, Bojonegoro berniat meninjau ulang efektivitas dan efisiensi BKS. Wacana peninjauan ulang kelembagaan BKS ini didasari pertimbangan Bojonegoro selalu ’dikalahkan’ dalam pengambilan keputusan-keputusan BKS. Sementara, kewilayahan Blok Cepu 95 persen berada di wilayah Bojonegoro.
Di sisi lain, Bojonegoro merasa kurang pas dengan dimasukkannya anggaran operasional BKS dalam cost recovery yang secara otomatis kelak dibebankan kepada negara, dan potensial mengurangi DBH minyak yang diterima daerah. Padahal, masing-masing BUMD selama ini telah menerima dana operasional dari APBD. Kekhawatiran munculnya anggaran ganda yang berpotensi mal-anggaran dan mal-kebijakan (menyalahi aturan) mendorong Bojonegoro meninjau ulang format dan kelembagaan BKS.
Tetapi yang mungkin tidak disadari oleh Pemkab Bojonegoro, desakan adanya perubahan format institusional BKS ini justru berpotensi memicu konflik kelembagaan tiga BUMD (non-BUMD Bojonegoro) yang selama ini sudah ada kesenjangan, khususnya ketegangan konflik geografis, sebagaimana paparan di atas.
Oleh karena itu, resolusi dan manajemen atas beragam potensi konflik Blok Cepu di atas harus segera dilakukan. Tetapi harap diingat, penanganannya jangan sampai mematikan dinamika masyarakat yang berkembang. Biar bagaimanapun, semua pihak, termasuk pemerintah daerah, tidak ingin dianggap menghambat, alih-alih menghalangi investasi oleh pemerintah pusat.
Bahwa, pemerintah daerah diminta andil menjawab tantangan energi pada masa depan dengan mendukung puncak produksi Blok Cepu, itu sudah pasti akan dilakukan. Namun, Pemerintah Pusat juga harus aware dan care terhadap dinamika sosial yang berkembang. Disinilah pentingnya komunikasi antara pemkab dan antar-pemkab pengelola PI Blok Cepu, Pemerintah Pusat, operator, BP Migas, dan para pemangku kepentingan yang lain untuk terus diperkuat. (*)

Ujung Blok Lingkar, 15 April 2012

*) Tayang di Radar Bojonegoro (Jawa Pos Group), Edisi 16 April 2012 Halaman 26

No comments:

Post a Comment