Friday, April 6, 2012

Rekomendasi Politik dalam Pemilukada

Rekomendasi adalah sebuah mandat, otoritas, sekaligus kepercayaan yang diberikan untuk menjalankan kewenangan-kewenangan yang telah diatur dan disepakati dalam konsensus bersama. Rekomendasi berimplikasi terhadap menguatnya daya patuh dan ketertundukan dalam sebuah entitas perorangan dan massa dalam dimensi ruang dan waktu tertentu. Karena sedemikian sakral dan urgennya rekomendasi, ia ibarat sebuah surat sakti yang akan mampu membuat orang menjadi tunduk dan takluk.
Dalam khazanah politik, rekomendasi (surat sakti), tidak hanya bermakna vital atas pengakuan seseorang dalam menjalankan mandat sebuah kepercayaan. Ia bagai tongkat komando yang akan membuat personal dan massa tunduk, takluk, dalam bingkai perintah yang walaupun dalam konteks tertentu tidak bisa dinalar dengan logika. Dalam term keagamaan, rekomendasi ibarat `fatwa` suci, ibarat sabdo pandito ratu, yang memiliki daya magis sekaligus petuah yang menafikan debat, apalagi perlawanan.
Sebulan terakhir ini, ruang-ruang private dan public kita diwarnai, dipenuhi gegap gempita, riuh rendah, sejumlah bakal calon bupati yang berebut surat sakti, rekomendasi, untuk running dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Bojonegoro yang dijadwalkan berlangsung November 2012 mendatang. Khususnya, partai politik yang mulai membuka pintu penjaringan bakal calon bupati. Salah satunya adalah PDI Perjuangan.
Penjaringan bakal calon atau konvensi dilakukan sebagai bentuk seleksi dari berbagai nama yang ada yang berkepentingan maju dalam Pemilukada. Konvensi penting dan perlu, karena dengan jalan ini partai politik memiliki banyak waktu, banyak nama, banyak pilihan, sekaligus banyak kans capital, untuk ditentukan yang benar-benar sesuai kepentingan partai politik pengusung bakal calon.
Konvensi juga diperlukan untuk mengukur sejauhmana kapasitas dan bobot bakal calon yang dipersiapkan maju dalam Pemilukada. Dengan mengetahui kapasitas personal, sekaligus latar belakang massa, networking, dan capital yang berada di belakangnya, parpol akan mempunyai reasoning yang logis dan rasional untuk menjatuhkan surat rekomendasi. Semua itu dilakukan agar kandidat yang akan menerima rekomendasi adalah nama yang mempunyai nilai jual layak sekaligus mampu menjual dalam liberalisasi suara, free market vote`s.
Tetapi justru disinilah celah lemah pragmatisme konvensi yang selama ini dijalankan oleh partai politik. Konvensi ataupun penjaringan bakal calon yang dilakukan parpol tidak lebih merupakan upaya jualan, politik dagang sapi, untuk mencari `pembeli` konvensi. Dikatakan demikian, karena partai politik yang membuka mekanisme konvensi faktanya tak menyertakan prasyarat exclusive, yang disesuaikan dengan dogma, ideologi, dan platform partai politik.
Semua bakal calon mempunyai kesempatan yang sama. Sepanjang lengkap administrasinya, dan mampu membayar ”zakat politik” yang ditentukan oleh partai, semua bisa dan berpeluang sama mendapat rekomendasi. Tidak peduli apakah dia berplatform hijau, merah, biru, kuning, atau abu-abu sekalipun. Kelihatan sekali bahwa platform dan ideologi partai menjadi tidak penting.
Padahal, suka atau tidak suka, disadari atau tidak, disinilah sebenarnya awal persinggungan, atau konflik tersebut terjadi. Sebab, bukan tidak mungkin pendukung partai politik tersebut mengikuti partai politik itu sebagai sarana menyalurkan hak politiknya, karena adanya kesamaan/kecocokan terhadap faktor dogma, ideologi, dan platform partai.
Akibat pilihan rekomendasi yang dijatuhkan partai politik tidak sama dengan keyakinan ideologi dan platform partai yang selama ini dijadikan sebagai kitab suci, lambat laun hal itu akan menciptakan ketidakpercayaan (distrust) massa konstituen terhadap sikap dan kebijakan partai termasuk terhadap nama bakal calon yang direkomendasikan oleh partai. Massa konstituen juga akan mempunyai anggapan bahwa induk partai tak bermoral, karena telah mengabaikan platform dan ideologi partai, dan lebih berpikir pragmatis bagaimana bisa meraih kemenangan, kekuasaan. Tak dapat dipungkiri bahwa kesalahan dalam menjatuhkan surat sakti akan berbuah blunder dan bumerang bagi partai politik itu sendiri.
Padahal, jauh-jauh hari John B. Rawls dalam buku Theory of Justice (1971) telah mengingatkan, manusia yang bermoral ditandai, antara lain dengan kemampuan untuk mengerti dan bertindak berdasar keadilan. Bertindak berdasar keadilan yang dimaksud termasuk adalah mengambil keputusan berdasarkan aspirasi konstituen (mayoritas) yang berkembang. Bukan saja karena peluang menang (bukan benar)-nya yang lebih besar menurut asumsi elitnya.
Akan tetapi, tidak banyak partai politik yang berpandangan seperti demikian. Mungkin bagi mereka kemenangan lebih penting daripada kebenaran ideologis, platform. Mungkin mereka berpandangan kemenangan lebih material dan nyata, sedangkan platform hanyalah mengawang-awang dan imajinatif. Bila sudah demikian halnya, tak salah kalau kemudian konstituen semakin tak percaya (distrust) terhadap partai politik, karena mereka juga diajari untuk lebih percaya pada sesuatu yang tampak: uang. [*]    

Bawah Titian, 30 Maret 2012


No comments:

Post a Comment