Dalam
khazanah politik, rekomendasi (surat sakti), tidak hanya bermakna vital atas
pengakuan seseorang dalam menjalankan mandat sebuah kepercayaan. Ia bagai
tongkat komando yang akan membuat personal dan massa tunduk, takluk, dalam
bingkai perintah yang walaupun dalam konteks tertentu tidak bisa dinalar dengan
logika. Dalam term keagamaan, rekomendasi ibarat `fatwa` suci, ibarat sabdo pandito ratu, yang memiliki daya
magis sekaligus petuah yang menafikan debat, apalagi perlawanan.
Sebulan
terakhir ini, ruang-ruang private dan public kita diwarnai, dipenuhi gegap
gempita, riuh rendah, sejumlah bakal calon bupati yang berebut surat sakti,
rekomendasi, untuk running dalam
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Bojonegoro yang dijadwalkan
berlangsung November 2012 mendatang. Khususnya, partai politik yang mulai membuka
pintu penjaringan bakal calon bupati. Salah satunya adalah PDI Perjuangan.
Penjaringan
bakal calon atau konvensi dilakukan sebagai bentuk seleksi dari berbagai nama
yang ada yang berkepentingan maju dalam Pemilukada. Konvensi penting dan perlu,
karena dengan jalan ini partai politik memiliki banyak waktu, banyak nama,
banyak pilihan, sekaligus banyak kans capital, untuk ditentukan yang
benar-benar sesuai kepentingan partai politik pengusung bakal calon.
Konvensi
juga diperlukan untuk mengukur sejauhmana kapasitas dan bobot bakal calon yang
dipersiapkan maju dalam Pemilukada. Dengan mengetahui kapasitas personal,
sekaligus latar belakang massa, networking,
dan capital yang berada di
belakangnya, parpol akan mempunyai reasoning
yang logis dan rasional untuk menjatuhkan surat rekomendasi. Semua itu
dilakukan agar kandidat yang akan menerima rekomendasi adalah nama yang
mempunyai nilai jual layak sekaligus mampu menjual dalam liberalisasi suara, free market vote`s.
Tetapi
justru disinilah celah lemah pragmatisme konvensi yang selama ini dijalankan
oleh partai politik. Konvensi ataupun penjaringan bakal calon yang dilakukan
parpol tidak lebih merupakan upaya jualan, politik dagang sapi, untuk mencari
`pembeli` konvensi. Dikatakan demikian, karena partai politik yang membuka
mekanisme konvensi faktanya tak menyertakan prasyarat exclusive, yang
disesuaikan dengan dogma, ideologi, dan platform partai politik.
Semua
bakal calon mempunyai kesempatan yang sama. Sepanjang lengkap administrasinya,
dan mampu membayar ”zakat politik” yang ditentukan oleh partai, semua bisa dan
berpeluang sama mendapat rekomendasi. Tidak peduli apakah dia berplatform
hijau, merah, biru, kuning, atau abu-abu sekalipun. Kelihatan sekali bahwa
platform dan ideologi partai menjadi tidak penting.
Padahal,
suka atau tidak suka, disadari atau tidak, disinilah sebenarnya awal
persinggungan, atau konflik tersebut terjadi. Sebab, bukan tidak mungkin
pendukung partai politik tersebut mengikuti partai politik itu sebagai sarana
menyalurkan hak politiknya, karena adanya kesamaan/kecocokan terhadap faktor
dogma, ideologi, dan platform partai.
Akibat
pilihan rekomendasi yang dijatuhkan partai politik tidak sama dengan keyakinan
ideologi dan platform partai yang selama ini dijadikan sebagai kitab suci,
lambat laun hal itu akan menciptakan ketidakpercayaan (distrust) massa konstituen terhadap sikap dan kebijakan partai
termasuk terhadap nama bakal calon yang direkomendasikan oleh partai. Massa
konstituen juga akan mempunyai anggapan bahwa induk partai tak bermoral, karena
telah mengabaikan platform dan ideologi partai, dan lebih berpikir pragmatis
bagaimana bisa meraih kemenangan, kekuasaan. Tak dapat dipungkiri bahwa
kesalahan dalam menjatuhkan surat sakti akan berbuah blunder dan bumerang bagi
partai politik itu sendiri.
Padahal,
jauh-jauh hari John B. Rawls dalam buku Theory
of Justice (1971) telah mengingatkan, manusia yang bermoral ditandai, antara
lain dengan kemampuan untuk mengerti dan bertindak berdasar keadilan. Bertindak
berdasar keadilan yang dimaksud termasuk adalah mengambil keputusan berdasarkan
aspirasi konstituen (mayoritas) yang berkembang. Bukan saja karena peluang
menang (bukan benar)-nya yang lebih besar menurut asumsi elitnya.
Akan
tetapi, tidak banyak partai politik yang berpandangan seperti demikian. Mungkin
bagi mereka kemenangan lebih penting daripada kebenaran ideologis, platform.
Mungkin mereka berpandangan kemenangan lebih material dan nyata, sedangkan
platform hanyalah mengawang-awang dan imajinatif. Bila sudah demikian halnya,
tak salah kalau kemudian konstituen semakin tak percaya (distrust) terhadap partai politik, karena mereka juga diajari untuk
lebih percaya pada sesuatu yang tampak: uang. [*]
Bawah Titian, 30 Maret 2012
No comments:
Post a Comment