Tuesday, September 11, 2012

Menjawab Tantangan Publik


Kerja Komisi Pemilihan Umum Kabupaten (KPUK) Bojonegoro kian sibuk dan menyita perhatian publik. Selain mempersiapkan semua tahapan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Bojonegoro yang ditetapkan berlangsung pada 10 November 2012 mendatang, penyelenggara pemilu tersebut juga membuka pendaftaran untuk partai politik (parpol) peserta Pemilu 2014.
Salah satu persyaratan utama untuk menjadi kontestan Pemilu 2014 adalah parpol harus menyerahkan seperseribu atau 10 persen kartu tanda anggota (KTA) partai ke KPUK. Selanjutnya, KPUK akan melakukan verifikasi, sekaligus menguji keabsahan terhadap KTA parpol tersebut.
KPUK Bojonegoro sendiri secara resmi telah menutup pendaftaran peserta Pemilu 2014 pada Jumat (7/9) lalu. Hingga hari terakhir pendaftaran, ada 25 parpol yang mendaftarkan diri untuk mengikuti Pemilu 2014 di Bojonegoro. Ke-25 parpol itu adalah partai yang memiliki hirarki struktural di tingkat pusat (DPP), tingkat provinsi (DPD/DPW), tingkat kabupaten (DPC/DPD), hingga kecamatan (PAC) dan desa (PR).
Ke-25 parpol itu adalah Partai Nasdem, PKP Indonesia, Partai Gerindra, PKPB, PD, dan PNR. Kemudian, PAN, PNBKI, PKNU, PKPI, PDK, PKB, dan PPP. Serta, PKS, PRN, PDP, PBB, PKBIB, Partai Golkar, PPRN, Partai Pelopor, PDIP, Partai Hanura, PPN, dan Partai SRI.
Banyaknya parpol yang berniat ‘adu peruntungan’ berebut massa cair rakyat memang tak bisa dinafikan keberadaannya, bahkan bisa menjadi sebuah keharusan. Sebagai penganut demokrasi prosedural, keberadaan parpol masih menjadi katalisator utama bagi negeri ini untuk melakukan kaderisasi kepemimpinan, penyalur aspirasi, maupun menjalankan roda pemerintahan, baik pusat, provinsi, maupun daerah.
Bahwa parpol masih menjadi mesin utama manifestasi penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah tidak terbantahkan lagi. Namun, menjadikan pemilu sebagai satu-satunya panggung utama untuk mendulang simpati dan suara publik adalah cara pandang yang terlalu simplistis, terlalu menyederhanakan masalah.
Masalahnya, cara pandang tersebut justru menjadi hal yang utama bagi praktisi politik, meminggirkan dan menganaktirikan faktor-faktor penting pemilu lainnya. Dampaknya, kerja-kerja politik yang dilakukan pun hanya sebatas menjelang, dan selama pemilu itu sendiri. Pengawalan terhadap konstituen untuk memahami arti penting dari politik dan demokrasi nyaris diabaikan.

Faktor Non-Politik
Argumentasi yang dapat kita gunakan untuk memahami bahwa pemilu bukan merupakan satu-satunya model konsolidasi demokrasi adalah tesis Juan J. Linz dan Alfred Stephen (1996). Menurut Juan J. Linz dan Alfred Stephen, pemilu bukankah satu-satunya faktor dalam konsolidasi demokrasi.
Sebab, menurut keduanya, demokrasi juga sangat berkaitan dengan faktor-faktor non politik seperti komunikasi dan kebebasan berkumpul (civil society), konstitusi (rule of game), norma-norma birokrasi yang sah rasional (state apparatus), serta tradisi pasar (economic society).
Menurut hemat penulis, komunikasi dan kebebasan berkumpul idealnya dapat dilakukan oleh parpol jauh sebelum genta pemilu ditabuh. Fungsi parpol sebagai pembawa mandat sosial (baca: konstituen) sebenarnya dapat diartikulasikan dengan mengintensifkan pola komunikasi dari berbagai problem realitas yang ada.
Faktanya, peran ini sungguh masih jauh panggang dari api. Alih-alih menjalankannya dengan baik, justru yang terjadi ‘kedekatan’ parpol dengan konstituen hanya berlangsung menjelang pemilu. Akibat renggangnya disparitas komunikasi dan kebebasan berkumpul ini kecenderungan politik transaksional seperti merupakan jawaban. Konstituen merasa tujuan pragmatis lebih dipandang sebagai solusi karena keabaian komunikasi politik Konsolidasi demokrasi juga berkelindan dengan konstitusi dan norma-norma birokorasi yang sah dan rasional. Penulis meyakini, keduanya bisa tercapai apabila parpol mampu menjalankan pendidikan politik yang fair dan bermartabat.
Dengan memberikan kebebasan dan ruang kepada publik untuk menyampaikan ide dan gagasan-gagasannya, harapan terciptanya konstitusi yang fair, akuntabel, serta kredibel bukan pepesan kosong. Semua sebenarnya berpulang pada kemauan dan kemampuan dari parpol untuk bersungguh-sungguh menjalankan pendidikan politik Tentu, dengan catatan hal itu dilakukan dengan fair dan serius, serta menjadikan politik sebagai media menyejahterakan, bukan sekadar pemilik suara yang setelah diambil lantas dicampakkan. Beranikah parpol menjawab tantangan publik? (*)

Ujung Blok Lingkar, 9 September 2012

*) Tayang di Harian Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 10 September 2012, Halaman 26


No comments:

Post a Comment