Kerja Komisi
Pemilihan Umum Kabupaten (KPUK) Bojonegoro kian sibuk dan menyita perhatian
publik. Selain mempersiapkan semua tahapan Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pilkada) Bojonegoro yang ditetapkan berlangsung pada 10 November 2012
mendatang, penyelenggara pemilu tersebut juga membuka pendaftaran untuk partai
politik (parpol) peserta Pemilu 2014.
Salah satu
persyaratan utama untuk menjadi kontestan Pemilu 2014 adalah parpol harus
menyerahkan seperseribu atau 10 persen kartu tanda anggota (KTA) partai ke
KPUK. Selanjutnya, KPUK akan melakukan verifikasi, sekaligus menguji keabsahan
terhadap KTA parpol tersebut.
KPUK Bojonegoro sendiri
secara resmi telah menutup pendaftaran peserta Pemilu 2014 pada Jumat (7/9)
lalu. Hingga hari terakhir pendaftaran, ada 25 parpol yang mendaftarkan diri
untuk mengikuti Pemilu 2014 di Bojonegoro. Ke-25 parpol itu adalah partai yang
memiliki hirarki struktural di tingkat pusat (DPP), tingkat provinsi (DPD/DPW),
tingkat kabupaten (DPC/DPD), hingga kecamatan (PAC) dan desa (PR).
Ke-25 parpol itu
adalah Partai Nasdem, PKP Indonesia, Partai Gerindra, PKPB, PD, dan PNR.
Kemudian, PAN, PNBKI, PKNU, PKPI, PDK, PKB, dan PPP. Serta, PKS, PRN, PDP, PBB,
PKBIB, Partai Golkar, PPRN, Partai Pelopor, PDIP, Partai Hanura, PPN, dan
Partai SRI.
Banyaknya parpol yang
berniat ‘adu peruntungan’ berebut massa cair rakyat memang tak bisa dinafikan
keberadaannya, bahkan bisa menjadi sebuah keharusan. Sebagai penganut demokrasi
prosedural, keberadaan parpol masih menjadi katalisator utama bagi negeri ini
untuk melakukan kaderisasi kepemimpinan, penyalur aspirasi, maupun menjalankan
roda pemerintahan, baik pusat, provinsi, maupun daerah.
Bahwa parpol masih
menjadi mesin utama manifestasi penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah
tidak terbantahkan lagi. Namun, menjadikan pemilu sebagai satu-satunya panggung
utama untuk mendulang simpati dan suara publik adalah cara pandang yang terlalu
simplistis, terlalu menyederhanakan masalah.
Masalahnya, cara
pandang tersebut justru menjadi hal yang utama bagi praktisi politik,
meminggirkan dan menganaktirikan faktor-faktor penting pemilu lainnya. Dampaknya,
kerja-kerja politik yang dilakukan pun hanya sebatas menjelang, dan selama
pemilu itu sendiri. Pengawalan terhadap konstituen untuk memahami arti penting dari
politik dan demokrasi nyaris diabaikan.
Faktor Non-Politik
Argumentasi yang
dapat kita gunakan untuk memahami bahwa pemilu bukan merupakan satu-satunya
model konsolidasi demokrasi adalah tesis Juan J. Linz dan Alfred Stephen
(1996). Menurut Juan J. Linz dan Alfred Stephen, pemilu bukankah satu-satunya
faktor dalam konsolidasi demokrasi.
Sebab, menurut
keduanya, demokrasi juga sangat berkaitan dengan faktor-faktor non politik
seperti komunikasi dan kebebasan berkumpul (civil society), konstitusi (rule
of game), norma-norma birokrasi yang sah rasional (state apparatus),
serta tradisi pasar (economic society).
Menurut hemat
penulis, komunikasi dan kebebasan berkumpul idealnya dapat dilakukan oleh
parpol jauh sebelum genta pemilu ditabuh. Fungsi parpol sebagai pembawa mandat
sosial (baca: konstituen) sebenarnya dapat diartikulasikan dengan
mengintensifkan pola komunikasi dari berbagai problem realitas yang ada.
Faktanya, peran ini
sungguh masih jauh panggang dari api. Alih-alih menjalankannya dengan baik,
justru yang terjadi ‘kedekatan’ parpol dengan konstituen hanya berlangsung
menjelang pemilu. Akibat renggangnya disparitas komunikasi dan kebebasan
berkumpul ini kecenderungan politik transaksional seperti merupakan jawaban. Konstituen
merasa tujuan pragmatis lebih dipandang sebagai solusi karena keabaian
komunikasi politik Konsolidasi demokrasi
juga berkelindan dengan konstitusi dan norma-norma birokorasi yang sah dan
rasional. Penulis meyakini, keduanya bisa tercapai apabila parpol mampu
menjalankan pendidikan politik yang fair dan bermartabat.
Dengan memberikan
kebebasan dan ruang kepada publik untuk menyampaikan ide dan
gagasan-gagasannya, harapan terciptanya konstitusi yang fair, akuntabel, serta
kredibel bukan pepesan kosong. Semua sebenarnya berpulang pada kemauan dan
kemampuan dari parpol untuk bersungguh-sungguh menjalankan pendidikan politik Tentu, dengan catatan
hal itu dilakukan dengan fair dan serius, serta menjadikan politik sebagai
media menyejahterakan, bukan sekadar pemilik suara yang setelah diambil lantas
dicampakkan. Beranikah parpol menjawab tantangan publik? (*)
Ujung Blok Lingkar, 9
September 2012
*) Tayang di Harian Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi 10 September 2012,
Halaman 26
No comments:
Post a Comment