Tuesday, December 11, 2012

Belenggu Politik Transaksional


USAI sudah persaingan panjang antar kandidat yang bertarung dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Bojonegoro, 10 November 2012 lalu. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten (KPUK) Bojonegoro telah menetapkan secara resmi pasangan Suyoto-Setyo Hartono (ToTo) sebagai pasangan bupati-wakil bupati terpilih. Pasangan nomor urut satu tersebut memeroleh dukungan terbanyak dengan 320.536 suara atau 44,38 persen.
Pasangan ToTo unggul cukup jauh dari pasangan M. Choiri-Untung Basuki (Choirun). Pasangan nomor urut tiga tersebut meraih 227.522 suara atau 31,5 persen, yang menempati posisi kedua. Sedangkan  pasangan M. Thalhah-Budiyanto meraih 104.803 suara atau 14,51 persen di peringkat ketiga. Sementara pasangan independent (perseorangan), Andomeda-Sigit Budi (DaDi) meraih 49.117 suara atau 6,8 persen, dan Sarif Usman-Syamsiah meraih 20.311 suara atau 2,81 persen, masing-masing peringkat keempat dan kelima.
Dari sisi tahapan dan prosedur formal pelaksanaan Pemilukada, suksesi untuk menentukan Bojonegoro 1 tersebut sudah berakhir. Akan tetapi, dari sisi substansial yang ukurannya adalah kualitas demokrasi, diakui atau tidak ada beberapa catatan yang secara tidak langsung dapat kita jadikan sebagai bahan evaluasi untuk pelaksanaan Pemilukada ke depan, sekaligus menyongsong pelaksanaan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur, maupun Pemilu 2014.
Salah satu slilit yang cukup mengganggu pelaksanaan Pemilukada Bojonegoro lalu adalah masih maraknya dugaan penggunaan politik uang (money politics) yang bertujuan mempengaruhi para pemilih. Tanpa bermaksud men-judge, dugaan adanya praktik politik uang dalam Pemilukada lalu tak bisa dinafikan keberadaannya.
Indikator adanya dugaan praktik politik uang tersebut sudah tampak dalam laporan-laporan dari masyarakat yang masuk ke meja Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten (Panwaskab) Bojonegoro. Meski pada akhirnya laporan tersebut mentah (atau dimentahkan?), dugaan bahwa politik uang masih menjadi belenggu dalam momentum suksesi politik adalah sebuah keniscayaan.       
Kenapa ini masih terjadi? Hemat penulis, di luar komponen utama penyelenggara Pemilukada, yakni KPUK dan jajarannya (PPK, PPS, dan KPPS) serta Panwaskab dan jajaran (Panwascam maupun PPL), ada hal-hal lain yang terkadang luput dari perhatian, meskipun kontribusinya signifikan dalam proses terciptanya Pemilukada yang kondusif dan bermartabat.
Tak berbasis penyelenggara Pemilukada memang, tetapi fungsional. Setidaknya menurut hemat penulis, terdapat tiga hal pokok. Yaitu, pelibatan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam proses pengawasan Pemilukada, law enforcement (penegakan hukum), dan komitmen menjaga demokrasi substansial.

Masyarakat Sipil
Pemilu dan Pemilukada tak hanya menjadi domain mutlak penyelenggara Pemilu. KPUK dan Panwaskab hanya merupakan lembaga yang diberi mandat untuk menyelenggarakan Pemilukada, sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Sebab, hakikinya Pemilukada hanyalah merupakan awal dari proses terbentuknya demokrasi prosedural. Salah satu andilnya dari penyelenggara pemilu.
Di sisi lain, realitas melihat ada banyak elemen dan unsur masyarakat yang memiliki andil dan peran dalam menciptakan Pemilukada yang kondusif dan bermartabat. Idealnya mereka didorong untuk terlibat dalam proses Pemilukada, baik sebagai penyelenggara melalui KPUK, PPK, PPS, hingga KPPS, maupun sebagai pengawas mulai Panwaskab, Panwascam, hingga PPL.
Representasi keberadaan OMS, yang terdiri dari Ormas keagamaan, OKP, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kemahasiswaan, hingga media massa, ini penting. Bukan hanya sekadar formalitas (menggugurkan kewajiban formal), tetapi juga karena masing-masing elemen memiliki basis dukungan, pengaruh, hingga nilai-nilai yang dapat memberikan kontribusi, sekecil apapun, dalam penciptaan Pemilukada yang kondusif dan bermartabat. Kita tidak boleh abai terhadap hal ini. Pelibatan OMS dalam pengawasan pilkada berbasis partisipatif, menjadi sangat penting dilakukan.
Sebab, demikian Juan J. Linz dan Alfred Stephen (1996), pemilu bukankah satu-satunya factor dalam konsolidasi demokrasi. Demokrasi juga amat berkaitan dengan factor-faktor non politik, seperti komunikasi dan kebebasan berkumpul (civil society), konstitusi (rule of game), norma-norma birokrasi yang sah rasional (state apparatus), serta tradisi pasar (economic society).
Pelibatan OMS dalam pelaksanaan Pemilukada, baik sebagai penyelenggara maupun pengawas secara non-formal, merupakan bagian dari faktor-faktor non-politik sebagaimana disinyalir oleh Juan J. Linz dan Alfred Stephen tersebut. Khususnya yang berkaitan dengan komunikasi dan kebebasan berkumpul. Makna pentingnya, keberadaan mereka mutlak, tidak bisa dinafikan.

Penegakan Hukum   
Dalam upaya menciptakan ketertiban sosial, kepastian dan ketertiban hukum, pemerintah bersama DPR membentuk berbagai regulasi. Khusus untuk Pemilukada melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). 
Selain diatur secara spesifik dalam UU itu, KPU dan Bawaslu, selaku penyelenggara pemilu, termasuk dalam hal ini Pemilukada, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, juga diberikan kewenangan untuk menerbitkan Keputusan atau Peraturan yang mendukung pelaksanaan Pemilukada.    
Secara kuantitas, undang-undang atau aturan yang dibuat, boleh jadi tidak kurang. Masalahnya adalah ada di titik implementasi. Sebab, tidak jarang akibat penafsiran undang-undang yang berdasarkan subjektifitas penafsir acapkali memicu ketegangan di grassroots. Celakanya, para pelaku politik suksesi seolah menafikan kebenaran fakta hukum yang seharusnya menjadi kesepakatan bersama untuk diikuti, agar tertib sosial dan hukum terjadi tanpa pandang bulu.  
Disinilah peran penting aparat penegak  hukum untuk mengawalnya dengan serius. Sebab, bukan tidak mungkin, akibat ketidaktegasan penerapan hukum, sehingga melakukan politik pembiaran atas berbagai pelanggaran, akan berimplikasi terhadap legitimasi pemerintahan dari pasangan yang terpilih kelak.
Padahal, mengutip Jurgen Habermas, dalam buku Legitimation Crisis (1975), kekerasan sangat mungkin dipicu terjadinya crisis of governability (krisis pemerintahan). Krisis pemerintahan yang berkaitan dengan krisis legitimasi ditandai proses ideological breakdown (kehancuran ideologi) dan state malfunction (kegagalan fungsi negara/pemerintah).

Demokrasi Substansial
Tidak dapat disangkal bahwa money politics (politik uang) adalah tindakan yang dapat mencederai demokrasi, khususnya Pemilukada. Politik uang bukan hanya akan menjadikan cita-cita luhur Pemilukada yang menginginkan terciptanya pemerintahan yang ideal, menjadi kabur, karena tertutupi oleh transaksional politik, belenggu politik uang.   
Tetapi, fakta pula mengatakan bahwa politik uang adalah tindakan buruk yang sulit dihilangkan dalam setiap momen suksesi politik. Bahkan, hingga desa (pilkades) sekalipun. Oleh karena itu, hemat penulis masing-masing pasangan calon, berikut tim kampanye dan tim suksesnya, harus didorong untuk serius mempraktikkan demokrasi substansial. Demokrasi yang lebih menekankan pada values, nilai-nilai itu sendiri. Nilai-nilainya adalah transparansi, akuntabilitas publik, partisipatif, jujur, dan lainnya.
Apakah sulit? Rasanya memang sulit, tetapi juga bukan tidak mungkin. Semua berpulang pada komitmen semua pihak. Mulai dari calon, penyelenggara, pengawas, aparatur pemerintahan dan negara, OMS, hingga pada masyarakat secara lebih luas. Tetapi, realisasinya tetap harus diawasi secara bersama-sama pula. Disinilah sebenarnya fungsi OMS dan media massa bisa menjalankan perannya sebagai pengawas yang terintegrasi untuk menjadikan demokrasi prosedural menjadi demokrasi substansial, bukan demokrasi semu. 
Selama tidak ada komitmen untuk menjaga demi terciptanya demokrasi substansial, selama itu pula kita tidak akan pernah bisa memutus mata rantai politik transaksional. Ingatlah dengan apa yang dikatakan Aristoteles, semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan (uang), maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap kesusilaan, keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran.
Selama kecenderungan politik transaksional masih pula kita biarkan, selama itu pula kita asusila secara politik, dan merelakan semakin mengguritanya dehumanisasi. Kalau sudah demikian halnya, Pemilu kondusif dan bermartabat hanyalah angan-angan, mengawang. Semoga tidak terulang pada Pilgub 2013 dan Pemilu 2014, cukup di Pemilukada saja. [*]

Ujung Blok Lingkar, 6 Desember 2012
*) Tayang di Tabloid Blok Bojonegoro, Edisi Desember 2012

No comments:

Post a Comment