USAI
sudah persaingan panjang antar kandidat yang bertarung dalam Pemilihan Umum
Kepala Daerah (Pemilukada) Bojonegoro, 10 November 2012 lalu. Komisi Pemilihan
Umum Kabupaten (KPUK) Bojonegoro telah menetapkan secara resmi pasangan Suyoto-Setyo
Hartono (ToTo) sebagai pasangan bupati-wakil bupati terpilih. Pasangan nomor
urut satu tersebut memeroleh dukungan terbanyak dengan 320.536 suara atau 44,38
persen.
Pasangan
ToTo unggul cukup jauh dari pasangan M. Choiri-Untung Basuki (Choirun).
Pasangan nomor urut tiga tersebut meraih 227.522 suara atau 31,5 persen, yang
menempati posisi kedua. Sedangkan
pasangan M. Thalhah-Budiyanto meraih 104.803 suara atau 14,51 persen di
peringkat ketiga. Sementara pasangan independent (perseorangan),
Andomeda-Sigit Budi (DaDi) meraih 49.117 suara atau 6,8 persen, dan Sarif
Usman-Syamsiah meraih 20.311 suara atau 2,81 persen, masing-masing peringkat
keempat dan kelima.
Dari
sisi tahapan dan prosedur formal pelaksanaan Pemilukada, suksesi untuk
menentukan Bojonegoro 1 tersebut sudah berakhir. Akan tetapi, dari sisi
substansial yang ukurannya adalah kualitas demokrasi, diakui atau tidak ada
beberapa catatan yang secara tidak langsung dapat kita jadikan sebagai bahan
evaluasi untuk pelaksanaan Pemilukada ke depan, sekaligus menyongsong
pelaksanaan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur, maupun Pemilu 2014.
Salah
satu slilit yang cukup mengganggu pelaksanaan Pemilukada Bojonegoro lalu
adalah masih maraknya dugaan penggunaan politik uang (money politics)
yang bertujuan mempengaruhi para pemilih. Tanpa bermaksud men-judge,
dugaan adanya praktik politik uang dalam Pemilukada lalu tak bisa dinafikan
keberadaannya.
Indikator
adanya dugaan praktik politik uang tersebut sudah tampak dalam laporan-laporan
dari masyarakat yang masuk ke meja Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten
(Panwaskab) Bojonegoro. Meski pada akhirnya laporan tersebut mentah (atau
dimentahkan?), dugaan bahwa politik uang masih menjadi belenggu dalam momentum
suksesi politik adalah sebuah keniscayaan.
Kenapa
ini masih terjadi? Hemat penulis, di luar komponen utama penyelenggara
Pemilukada, yakni KPUK dan jajarannya (PPK, PPS, dan KPPS) serta Panwaskab dan
jajaran (Panwascam maupun PPL), ada hal-hal lain yang terkadang luput dari
perhatian, meskipun kontribusinya signifikan dalam proses terciptanya Pemilukada
yang kondusif dan bermartabat.
Tak
berbasis penyelenggara Pemilukada memang, tetapi fungsional. Setidaknya menurut
hemat penulis, terdapat tiga hal pokok. Yaitu, pelibatan Organisasi Masyarakat
Sipil (OMS) dalam proses pengawasan Pemilukada, law enforcement
(penegakan hukum), dan komitmen menjaga demokrasi substansial.
Masyarakat Sipil
Pemilu
dan Pemilukada tak hanya menjadi domain mutlak penyelenggara Pemilu. KPUK dan
Panwaskab hanya merupakan lembaga yang diberi mandat untuk menyelenggarakan Pemilukada,
sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Sebab, hakikinya Pemilukada hanyalah
merupakan awal dari proses terbentuknya demokrasi prosedural. Salah satu
andilnya dari penyelenggara pemilu.
Di
sisi lain, realitas melihat ada banyak elemen dan unsur masyarakat yang
memiliki andil dan peran dalam menciptakan Pemilukada yang kondusif dan
bermartabat. Idealnya mereka didorong untuk terlibat dalam proses Pemilukada,
baik sebagai penyelenggara melalui KPUK, PPK, PPS, hingga KPPS, maupun sebagai
pengawas mulai Panwaskab, Panwascam, hingga PPL.
Representasi
keberadaan OMS, yang terdiri dari Ormas keagamaan, OKP, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), organisasi kemahasiswaan, hingga media massa, ini penting.
Bukan hanya sekadar formalitas (menggugurkan kewajiban formal), tetapi juga
karena masing-masing elemen memiliki basis dukungan, pengaruh, hingga
nilai-nilai yang dapat memberikan kontribusi, sekecil apapun, dalam penciptaan Pemilukada
yang kondusif dan bermartabat. Kita tidak boleh abai terhadap hal ini.
Pelibatan OMS dalam pengawasan pilkada berbasis partisipatif, menjadi sangat penting
dilakukan.
Sebab,
demikian Juan J. Linz dan Alfred Stephen (1996), pemilu bukankah satu-satunya
factor dalam konsolidasi demokrasi. Demokrasi juga amat berkaitan dengan
factor-faktor non politik, seperti komunikasi dan kebebasan berkumpul (civil
society), konstitusi (rule of game), norma-norma birokrasi yang sah
rasional (state apparatus), serta tradisi pasar (economic society).
Pelibatan
OMS dalam pelaksanaan Pemilukada, baik sebagai penyelenggara maupun pengawas
secara non-formal, merupakan bagian dari faktor-faktor non-politik sebagaimana
disinyalir oleh Juan J. Linz dan Alfred Stephen tersebut. Khususnya yang
berkaitan dengan komunikasi dan kebebasan berkumpul. Makna pentingnya,
keberadaan mereka mutlak, tidak bisa dinafikan.
Penegakan Hukum
Dalam
upaya menciptakan ketertiban sosial, kepastian dan ketertiban hukum, pemerintah
bersama DPR membentuk berbagai regulasi. Khusus untuk Pemilukada melalui
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Selain
diatur secara spesifik dalam UU itu, KPU dan Bawaslu, selaku penyelenggara
pemilu, termasuk dalam hal ini Pemilukada, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 15
Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, juga diberikan kewenangan untuk
menerbitkan Keputusan atau Peraturan yang mendukung pelaksanaan Pemilukada.
Secara
kuantitas, undang-undang atau aturan yang dibuat, boleh jadi tidak kurang.
Masalahnya adalah ada di titik implementasi. Sebab, tidak jarang akibat penafsiran
undang-undang yang berdasarkan subjektifitas penafsir acapkali memicu
ketegangan di grassroots. Celakanya, para pelaku politik suksesi seolah
menafikan kebenaran fakta hukum yang seharusnya menjadi kesepakatan bersama
untuk diikuti, agar tertib sosial dan hukum terjadi tanpa pandang bulu.
Disinilah
peran penting aparat penegak hukum untuk
mengawalnya dengan serius. Sebab, bukan tidak mungkin, akibat ketidaktegasan
penerapan hukum, sehingga melakukan politik pembiaran atas berbagai
pelanggaran, akan berimplikasi terhadap legitimasi pemerintahan dari pasangan
yang terpilih kelak.
Padahal,
mengutip Jurgen Habermas, dalam buku Legitimation Crisis (1975),
kekerasan sangat mungkin dipicu terjadinya crisis of governability
(krisis pemerintahan). Krisis pemerintahan yang berkaitan dengan krisis
legitimasi ditandai proses ideological breakdown (kehancuran ideologi)
dan state malfunction (kegagalan fungsi negara/pemerintah).
Demokrasi Substansial
Tidak
dapat disangkal bahwa money politics (politik uang) adalah tindakan yang
dapat mencederai demokrasi, khususnya Pemilukada. Politik uang bukan hanya akan
menjadikan cita-cita luhur Pemilukada yang menginginkan terciptanya
pemerintahan yang ideal, menjadi kabur, karena tertutupi oleh transaksional
politik, belenggu politik uang.
Tetapi,
fakta pula mengatakan bahwa politik uang adalah tindakan buruk yang sulit
dihilangkan dalam setiap momen suksesi politik. Bahkan, hingga desa (pilkades)
sekalipun. Oleh karena itu, hemat penulis masing-masing pasangan calon, berikut
tim kampanye dan tim suksesnya, harus didorong untuk serius mempraktikkan
demokrasi substansial. Demokrasi yang lebih menekankan pada values,
nilai-nilai itu sendiri. Nilai-nilainya adalah transparansi, akuntabilitas
publik, partisipatif, jujur, dan lainnya.
Apakah
sulit? Rasanya memang sulit, tetapi juga bukan tidak mungkin. Semua berpulang
pada komitmen semua pihak. Mulai dari calon, penyelenggara, pengawas, aparatur
pemerintahan dan negara, OMS, hingga pada masyarakat secara lebih luas. Tetapi,
realisasinya tetap harus diawasi secara bersama-sama pula. Disinilah sebenarnya
fungsi OMS dan media massa bisa menjalankan perannya sebagai pengawas yang
terintegrasi untuk menjadikan demokrasi prosedural menjadi demokrasi
substansial, bukan demokrasi semu.
Selama
tidak ada komitmen untuk menjaga demi terciptanya demokrasi substansial, selama
itu pula kita tidak akan pernah bisa memutus mata rantai politik transaksional.
Ingatlah dengan apa yang dikatakan Aristoteles, semakin tinggi penghargaan
manusia terhadap kekayaan (uang), maka semakin rendahlah penghargaan manusia
terhadap kesusilaan, keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran.
Selama
kecenderungan politik transaksional masih pula kita biarkan, selama itu pula
kita asusila secara politik, dan merelakan semakin mengguritanya dehumanisasi.
Kalau sudah demikian halnya, Pemilu kondusif dan bermartabat hanyalah
angan-angan, mengawang. Semoga tidak terulang pada Pilgub 2013 dan Pemilu 2014,
cukup di Pemilukada saja. [*]
Ujung Blok Lingkar, 6 Desember 2012
*) Tayang di Tabloid Blok Bojonegoro, Edisi Desember 2012
No comments:
Post a Comment