Keberpihakan
Elit NU di Pilkada
Mengharapkan NU menjaga netralitas dalam Pilkada
seperti menemukan jarum yang terjatuh di tumpukan jerami. Teramat sulit dan
nyaris mustahil, meskipun sebenarnya terbuka peluang untuk melakukan hal
tersebut. Pun pula yang terjadi pada Pilkada Bojonegoro yang diselenggarakan tanggal
10 November 2012.
Netralitas itu sulit terwujud, karena hampir semua
elite-elite PC NU Bojonegoro terlibat dalam politik dukung mendukung. Rais
Syuriah PC NU yang sebenarnya diharapkan menjadi garda akhir pengawalan
netralitas dalam Pilkada juga terjebak dalam permainan. Alih-alih menjadi
penjaga gawang moral paling akhir NU, yang terjadi Rais Syuriah justru terlibat
praktis.
Bahkan, dalam beberapa iklan pasangan M.
Choiri-Untung Basuki (Choirun), pasangan nomor urut 3, yang dipasang di media
cetak atau disiarkan media elektronik, memampang dan menjual kharisma Rais
Syuriah. Bahkan, dalam setiap kali kesempatan bertatap muka dengan publik, Rais
Syuriah juga aktif memberikan pengaruh dan ajakan.
Dalam sejumlah kesempatan berbeda, Ketua Tanfidzyah
PC NU juga cenderung memiliki pandangan politik yang berbeda. Bahkan,
setidaknya dua kali Ketua Tanfidzyah aktif terlibat dalam beberapa pertemuan
dengan kandidat lain, yaitu pasangan calon M. Thalhah-Budiyanto, khususnya
Thalhah. Meski belakangan disangkal, persepsi public NU mengatakan pertemuan
tersebut sudah merupakan arah kecenderungan politik.
Manuver pertama yang tampak kasat mata adalah saat Ketua
Tanfidzyah bertandang ke rumah Thalhah, di Jalan Gajah Mada, Bojonegoro,
pertengahan September 2012. Dalihnya adalah memenuhi undangan dari Thalhah,
karena saat itu Ketua Umum DPP Golkar Aburizal Bakrie sedang melakukan
kunjungan kerja ke Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan.
Manuver kedua dilakukan dalam pertemuan di rumah
seorang Kiai di Kecamatan Balen, pertengahan Oktober 2012. Dalihnya ketika itu
juga sama, yaitu memenuhi undangan pertemuan yang dilakukan oleh sejumlah kiai
di Balen. Ketua Tanfidzyah hadir bersama sejumlah kiai NU lainnya, yang selama
ini tidak sealiran politik dengan Rais Syuriah.
Masalah menjadi semakin runyam, ketika tim kampanye
pasangan Thalhah-Budiyanto mempublish hasil pertemuan tersebut dalam sebuah iklan
di sebuah surat kabar harian yang berpengaruh di Bojonegoro. Iklan ini memantik kemarahan sebagian besar elite
PC NU yang selama ini sudah terlanjur memberi dukungan kepada pasangan Choirun.
Dimana-mana berisi kecaman, dan menghujat
pemasangan iklan itu. Efek samping dari pemasangan iklan bukan hanya dialami Ketua
Tanfidzyah, tetapi juga media massa yang memuat iklan tersebut. Dampak yang
dialami Ketua Tanfidzyah adalah munculnya gerakan yang mengatasnamakan dari 27 MWC
yang mendesak kepada Rais Syuriah untuk melakukan pergantian Ketua Tanfidzyah.
Alasan yang dikemukakan adalah karena Ketua PC NU dianggap sebagai orang yang
memperkeruh suasana. Ketua PC NU juga dianggap sebagai pihak yang merusak “keutuhan”
NU, karena Choiri dianggap mendapatkan “rekomendasi” dari NU sehingga sudah
selayaknya mendapatkan dukungan secara utuh.
Sedangkan dampak yang diterima surat kabar harian lokal
tersebut adalah kecaman secara terbuka di saat kampanye di Desa Kabunan,
Kecamatan Balen, tanggal 27 Oktober 2012. Bahkan, beredar juga SMS (pesan
pendek) dari seseorang yang isinya meminta media massa tidak mengobok-obok ”keutuhan”
saluran politik NU.
Pilkada Bojonegoro 2012 diikuti oleh lima pasangan
calon. Tiga dari lima pasangan calon dari jalur gabungan partai politik. Yaitu,
nomor urut satu pasangan incumbent, Suyoto dan Setyo Hartono (ToTo), yang
diusung PAN, PD, dan Gerindra. Nomor urut dua, pasangan M. Thalhah-Budiyanto,
yang diusung Golkar dan PKPB. Serta, pasangan nomor urut tiga, M. Choiri-Untung
Basuki yang diusung oleh PKNU, PKB, PKS, Hanura, PPP, PNBKI, dan PDIP.
Sedangkan dua pasangan calon lainnya dari jalur
independen (perseorangan). Yaitu, pasangan nomor urut empat, Sarif
Usman-Syamsiah Rahim (SaSa), dan pasangan nomor urut lima, Andromeda
Qomariah-Sigit Budi Ismu (DaDi). Pada akhirnya, pasangan incumbent-lah yang
memenangi Pilkada.
Dari berbagai permasalahan tersebut, setidaknya ada
tiga hal yang patut diperhatikan. Pertama, tidak adanya pemahaman yang sama
dari publik, khususnya elite-elite NU Bojonegoro, untuk memahami sebuah berita
dan iklan di media massa, khususnya media cetak. Ketidakpahaman ini berujung sikap
yang kurang professional.
Kedua, sikap sebagian elite NU yang menjatuhkan
pilihan kepada calon-calon tertentu, khususnya kepada pasangan nomor 2 dan 3,
karena sama-sama dari NU. Sebab, Choiri adalah wakil bendahara PC NU periode
2007-2012, sedangkan M. Thalhah adalah mantan sekretaris PC NU periode
1999-2002. Penjatuhan politik ini dalam konteks tertentu mencederai
heterogenitas saluran politik NU yang memang majemuk. Ketiga, tidak samanya
pemahaman terhadap Khittah NU 1926 yang selama ini dipegang sebagai landasan
berpolitik warga NU. (*)
Ujung Blok
Lingkar, 31 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment