Jengkel, marah, kesal
sekaligus gemas. Begitulah yang penulis rasakan saat membaca berita dan koran
yang menyebutkan DPR RI mengesahkan RUU Pilkada lewat DPRD, bukan secara
langsung melalui mandat rakyat, Jumat dinihari (26/9).
Jengkel dan kesal,
karena melalui UU Pilkada tersebut, kelak kita tidak lagi memiliki hak suara
untuk memilih pemimpin kita (bupati, walikota, dan gubernur) sesuai dengan
kriteria yang kita harapkan.
Marah, karena dengan semena-mena,
mereka, dengan mengatasnamakan rakyat, Pancasila, dan UUD 1945 dengan seenaknya
mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung ke ruang sempit
anggota dewan.
Penulis yakin, Anda
pun merasakan hal yang sama. Karena faktanya memang mayoritas publik tetap
menghendaki pilkada langsung oleh rakyat. Kalau DPR mengatasnamakan sebagai
wakil rakyat dengan mengubah sistem pilkada oleh DPRD, sungguh tidak menemukan
relevansinya.
Saya tidak akan
mengulas soal alasan-alasan kenapa harus tetap pilkada langsung daripada lewat
DPRD. Karena saya yakin Anda sudah banyak tahu argumentasi akademis maupun sisi
positif pilkada langsung. Saya juga tidak akan menyinggung soal dampak pilkada
langsung dihapus, karena pembaca juga dapat menganalisanya sendiri.
Penulis lebih
tertarik untuk menyinggung sisi represantatif dan logika asal dari keterwakilan
dewan. Karena dari situlah mandat dan daulat rakyat muncul. Dari situ kita akan
tahu apakah relevan kalau mereka menghapus pilkada langsung.
Jajak pendapat yang
dilakukan Kompas pada 10-12 September 2014 menyimpulkan bahwa mayoritas
responden (publik) tidak setuju pilkada langsung dihapus. Penolakan rakyat
mutlak dari semua jenjang pendidikan. Sebanyak 70 persen responden dengan
pendidikan tamat SD tidak setuju pilkada langsung dihapus.
Begitu juga responden
lulusan SMP, 70,6 persen menolak pilkada langsung dihapus. Jenjang SMA, 80
persen setuju pilkada tetap langsung, lulusan D3/Sarjana 84 persen setuju
pilkada langsung. Serta, pascasarjana 65 persen tetap pilkada langsung.
Kehendak mayoritas
publik yang sama didapat oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dalam survei
yang dilakukan pada pertengahan September lalu. Angkanya juga mutlak, di atas
80 persen yang menghendaki pilkada tetap langsung melalui rakyat.
Dengan mayoritas
penolakan publik tersebut, rasanya sangat tidak masuk akal kebijakan yang
diambil penguasa Senayan dengan menghapus pilkada langsung. Ada sesat alur dan
sesat mandat yang melandasi keputusan itu. Karena faktanya tidak ada pembenaran
representatif atas keputusan mengesahkan RUU Pilkada lewat DPRD. Keputusan yang
diambil bukan atas dasar daulat mandat rakyat, melainkan lebih karena kesumat.
Kalaupun pilkada
langsung banyak celah keburukannya bukan berarti diubah sistemnya, melainkan
diperbaiki dengan format yang lebih baik.
Faktanya sekarang
rakyat sangat marah. Lihatlah trending topic (topik populer) di salah
satu laman pencari informasi. Tema RUU Pilkada menjadi topik paling dicari
alias nomor satu, mengalahkan topik lain seperti rencana launching Iphone 6
Plus. Hingga pukul 21.00 Jumat malam (26/9), jumlah pencarinya sudah mencapai
341 ribu. Jumlah itu terus bertambah setiap menit dan jamnya hingga kini.
Yang menarik, banyak
publik yang mengkait-kaitkan hari, tanggal dan bulan keputusan DPR RI menghapus
pilkada langsung tersebut sebagai bentuk pengkhianatan yang sama dilakukan oleh
sebuah organisasi terlarang dulu.
Sehingga muncul
istilah G26S/... (nama partai), sebagai upaya penyamaan dari G30S/PKI. Seolah
publik melihat bobot pengkhianatan organisasi terlarang itu sama dengan
pengkhianatan atas hilangnya hak daulat publik!
Tetapi apa lacur, keputusan sudah diambil. Senayan menghapus pilkada langsung. Bangsa ini, seperti judul buku karya Emha Ainun Najib, yang penulis jadikan judul kolom, berada dalam Titik Nadir Demokrasi. Bangsa ini sedang berada di titik paling dasar, paling bawah, paling rendah. Karena hak-hak dasar rakyat dicerabut! Ironinya, yang mencabut adalah wakil rakyat.
Kini, kendali di tangan kita. Cukupkah kita puas berdiam diri dan pasrah atas keputusan tersebut, ataukah ada ikhtiar untuk mengubahnya? Sejarah yang akan mencatatnya. (*)
Tetapi apa lacur, keputusan sudah diambil. Senayan menghapus pilkada langsung. Bangsa ini, seperti judul buku karya Emha Ainun Najib, yang penulis jadikan judul kolom, berada dalam Titik Nadir Demokrasi. Bangsa ini sedang berada di titik paling dasar, paling bawah, paling rendah. Karena hak-hak dasar rakyat dicerabut! Ironinya, yang mencabut adalah wakil rakyat.
Kini, kendali di tangan kita. Cukupkah kita puas berdiam diri dan pasrah atas keputusan tersebut, ataukah ada ikhtiar untuk mengubahnya? Sejarah yang akan mencatatnya. (*)
Ujung Blok Lingkar, 27 September 2014
*) Tayang di Jawa Pos
Radar Bojonegoro, Edisi 28 September 2014, Halaman 26
No comments:
Post a Comment