Apa isu
yang selalu aktual dan hangat diperbincangkan setiap akhir tahun? Di Bojonegoro
dan kabupaten lain yang berada di daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo,
mungkin banjirlah yang menjadi trending topics.
Namun,
ada isu lain yang tidak kalah menariknya, yang bahkan mungkin bisa menjadi
salah satu parameter atau indikator kinerja. Yaitu, sejauh mana anggaran yang
tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terserap dengan
baik sesuai dengan rencana awal.
Di
Bojonegoro, sudah beberapa tahun terakhir angka sisa lebih penggunaan anggaran
(Silpa)-nya relatif masih tinggi. Hingga 24 Desember 2014 saja sudah ada
sedikitnya Rp 14 miliar anggaran yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK)
pendidikan yang dipastikan hangus karena gagal transfer/bayar (default).
Padahal,
mengacu statemen kepala Dinas Pendapatan Daerah dan kepala Badan Pengelolaan
Kekayaan dan Aset Daerah, masih ada sejumlah pos anggaran yang penyerapannya
masih di bawah standar. Artinya, sangat mungkin dana yang tidak/belum terserap
hingga akhir tahun anggaran nanti (tutup buku) bernilai puluhan miliar (atau
bahkan mungkin ratusan miliar?).
Mengingat,
tutup buku anggaran tinggal tiga hari lagi. Logikanya, mustahil dengan sisa
tiga hari menyerap anggaran hingga puluhan miliar.
Kecenderungan
terjadinya Silpa tinggi ini seperti kebiasaan buruk yang selalu berulang dari
tahun ke tahun. Tahun lalu Silpa Bojonegoro juga cenderung tinggi, masih
mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah.
Masih
tingginya angka Silpa, sebenarnya sangat disesalkan. Karena, dengan gagal
bayarnya sejumlah pos anggaran, lebih-lebih kalau itu belanja publik yang
bersentuhan langsung dengan infrastruktur ekonomi, tentu akan sangat merugikan
rakyat. Sebab, dana yang seharusnya termanfaatkan untuk pembangunan menjadi
macet karena gagal bayar.
Tingginya
angka Silpa juga bukan merupakan bentuk efisiensi. Melainkan justru bentuk dari
mal-manajemen publik dan mal-anggaran yang telah gagal mengejawantahkan sistem
perencanaan pembangunan daerah yang baik. Dalam terminologi perencanaan
pembangunan, dengan membelanjakan anggaran sesuai dengan perencanaan justru
menunjukkan adanya orientasi pengelolaan negara yang baik, karena antara
perencanaan dan realisasi bisa berbanding lurus.
Belum
lagi kepercayaan publik terhadap aparatur pemerintahan daerah akan kian
membesar. Janji-janji pembangunan yang sebelumnya sudah digembar-gemborkan oleh
aparatur pemerintahan daerah, faktanya seperti angin lalu, tidak pernah
terwujud.
Bagaimana
itu bisa terjadi? Setidaknya ada empat tesis. Pertama, gagal bayar terjadi
karena memang sistem perencanaannya yang buruk. Satker tidak/belum mempunyai
perencanaan pembangunan yang baik dan terukur, berdasarkan basis kebutuhan dan
goal yang akan dicapai.
Perencanaan
yang dilakukan hanya sebatas dianggap sebagai rutinitas anggaran, sehingga
tidak heran kadang program ataupun kegiatannya hampir sama dengan tahun-tahun
sebelumnya. Tidak/belum ada terobosan program dan anggaran yang mencerminkan
penjabaran dari RPJMD atau visi/misi pemerintah.
Kedua,
keterbatasan sumber daya manusia dalam merencanakan pembangunan. Hal ini
sebenarnya bisa diantisipasi dengan melakukan upaya-upaya capacity building dan
bekerja sama dengan pihak ketiga dan perguruan tinggi. Ketiga, akibat dari
kehati-hatian (paranoid) dari pejabat pembuat komitmen.
Terkait
hal ini, penulis pernah diskusi dengan seorang pejabat pemkab. Dia bilang, saat
ini kepala satker sangat hati-hati dalam membelanjakan anggaran, karena takut
tersangkut korupsi. Saking hati-hatinya, malah tidak melakukan penyerapan dana
publik, selain hanya untuk biaya operasional saja.
Jika
ini yang terjadi, tentu sangat merugikan rakyat. Bukankah sudah ada aturannya?
Kalau semua dikembalikan ke regulasi, toh tetap akan berjalan sesuai koridor.
Keempat, keterlambatan regulasi yang mengatur penyerapan anggaran. Ini bisa
dilihat dari penyerapan DAK yang juknis dan juklaknya selalu telat. Juknisnya
hampir selalu turun saat menjelang akhir tahun anggaran. Ini pula yang selama
ini dikeluhkan oleh dinas yang kecipratan DAK setiap tahun.
Bagaimana
mengatasinya? Rasanya ini pula yang harus dijadikan bahan evaluasi bagi
petinggi pemerintahan daerah, agar Silpa dan kegagalan pembangunan tidak
terulang setiap tahun. Dan tidak selalu menjadi isu yang hangat dibincang
setiap akhir tahun anggaran. (*)
Bawah Titian, 27 Desember 2014
*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi
Minggu, 28 Desember 2014, Halaman 22.
No comments:
Post a Comment