Friday, January 2, 2015

Silpa dan Indikator Kinerja

Apa isu yang selalu aktual dan hangat diperbincangkan setiap akhir tahun? Di Bojonegoro dan kabupaten lain yang berada di daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo, mungkin banjirlah yang menjadi trending topics.
Namun, ada isu lain yang tidak kalah menariknya, yang bahkan mungkin bisa menjadi salah satu parameter atau indikator kinerja. Yaitu, sejauh mana anggaran yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terserap dengan baik sesuai dengan rencana awal.
Di Bojonegoro, sudah beberapa tahun terakhir angka sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa)-nya relatif masih tinggi.  Hingga 24 Desember 2014 saja sudah ada sedikitnya Rp 14 miliar anggaran yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan yang dipastikan hangus karena gagal transfer/bayar (default).
Padahal, mengacu statemen kepala Dinas Pendapatan Daerah dan kepala Badan Pengelolaan Kekayaan dan Aset Daerah, masih ada sejumlah pos anggaran yang penyerapannya masih di bawah standar. Artinya, sangat mungkin dana yang tidak/belum terserap hingga akhir tahun anggaran nanti (tutup buku) bernilai puluhan miliar (atau bahkan mungkin ratusan miliar?).
Mengingat, tutup buku anggaran tinggal tiga hari lagi. Logikanya, mustahil dengan sisa tiga hari menyerap anggaran hingga puluhan miliar.
Kecenderungan terjadinya Silpa tinggi ini seperti kebiasaan buruk yang selalu berulang dari tahun ke tahun. Tahun lalu Silpa Bojonegoro juga cenderung tinggi, masih mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah.
Masih tingginya angka Silpa, sebenarnya sangat disesalkan. Karena, dengan gagal bayarnya sejumlah pos anggaran, lebih-lebih kalau itu belanja publik yang bersentuhan langsung dengan infrastruktur ekonomi, tentu akan sangat merugikan rakyat. Sebab, dana yang seharusnya termanfaatkan untuk pembangunan menjadi macet karena gagal bayar.
Tingginya angka Silpa juga bukan merupakan bentuk efisiensi. Melainkan justru bentuk dari mal-manajemen publik dan mal-anggaran yang telah gagal mengejawantahkan sistem perencanaan pembangunan daerah yang baik. Dalam terminologi perencanaan pembangunan, dengan membelanjakan anggaran sesuai dengan perencanaan justru menunjukkan adanya orientasi pengelolaan negara yang baik, karena antara perencanaan dan realisasi bisa berbanding lurus. 
Belum lagi kepercayaan publik terhadap aparatur pemerintahan daerah akan kian membesar. Janji-janji pembangunan yang sebelumnya sudah digembar-gemborkan oleh aparatur pemerintahan daerah, faktanya seperti angin lalu, tidak pernah terwujud.
Bagaimana itu bisa terjadi? Setidaknya ada empat tesis. Pertama, gagal bayar terjadi karena memang sistem perencanaannya yang buruk. Satker tidak/belum mempunyai perencanaan pembangunan yang baik dan terukur, berdasarkan basis kebutuhan dan goal yang akan dicapai.
Perencanaan yang dilakukan hanya sebatas dianggap sebagai rutinitas anggaran, sehingga tidak heran kadang program ataupun kegiatannya hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Tidak/belum ada terobosan program dan anggaran yang mencerminkan penjabaran dari RPJMD atau visi/misi pemerintah.
Kedua, keterbatasan sumber daya manusia dalam merencanakan pembangunan. Hal ini sebenarnya bisa diantisipasi dengan melakukan upaya-upaya capacity building dan bekerja sama dengan pihak ketiga dan perguruan tinggi. Ketiga, akibat dari kehati-hatian (paranoid) dari pejabat pembuat komitmen.
Terkait hal ini, penulis pernah diskusi dengan seorang pejabat pemkab. Dia bilang, saat ini kepala satker sangat hati-hati dalam membelanjakan anggaran, karena takut tersangkut korupsi. Saking hati-hatinya, malah tidak melakukan penyerapan dana publik, selain hanya untuk biaya operasional saja.
Jika ini yang terjadi, tentu sangat merugikan rakyat. Bukankah sudah ada aturannya? Kalau semua dikembalikan ke regulasi, toh tetap akan berjalan sesuai koridor. Keempat, keterlambatan regulasi yang mengatur penyerapan anggaran. Ini bisa dilihat dari penyerapan DAK yang juknis dan juklaknya selalu telat. Juknisnya hampir selalu turun saat menjelang akhir tahun anggaran. Ini pula yang selama ini dikeluhkan oleh dinas yang kecipratan DAK setiap tahun.
Bagaimana mengatasinya? Rasanya ini pula yang harus dijadikan bahan evaluasi bagi petinggi pemerintahan daerah, agar Silpa dan kegagalan pembangunan tidak terulang setiap tahun. Dan tidak selalu menjadi isu yang hangat dibincang setiap akhir tahun anggaran. (*)

Bawah Titian, 27 Desember 2014     

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi Minggu, 28 Desember 2014, Halaman 22.  

No comments:

Post a Comment