Beberapa waktu
yang lalu penulis sempat bercengkerama dengan seorang teman asal Tuban. Tema
pembicaraannya seputar pemililihan kepala daerah (pilkada) yang Rabu (9/12) mendatang
akan diselenggarakan secara serentak se-Indonesia.
Inti pembicaraan,
dia, bisa dibilang, mengeluhkan ‘senyap’-nya pilkada di Bumi Wali. Dia
mengeluhkan tidak gegap gempitanya pilkada. Bahkan, secara ekstrem, dia
bilang, gereget dan suhu pilkada masih
kalah dengan pocongan, istilah lama dari pemilihan kepala desa
(pilkades).
Kalau dulu,
lima tahun lalu, pilkada masih agak terasa aura dan tensinya. Karena, ruang maupun
media untuk melihat perkembangan politik dengan segala manuvernya, banyak
mencuat ke permukaan. Ada public sphere yang dapat digunakan oleh masyarakat
untuk membaca atau bahkan menilainya.
Menurut dia,
masyarakat sebagai pemilih-lah yang merasa paling dirugikan dengan pola
dan sistem pilkada yang diatur dalam undang-undang pilkada yang baru ini.
Mereka tak lagi bisa mengenal dengan cermat dan gamblang mengenai rekam jejak
calon yang maju dalam pilkada.
Kalau sudah
begini, menurut dia, kemungkinannya ada dua: masyarakat kurang antusias
terhadap pilkada karena rekam jejak calon tidak terlacak dengan detail. Atau
pilkada akan melahirkan pemenang dalam ‘karung’.
Was-Was
Dengan kondisi
yang terjadi sekarang ini, penulis juga mempunyai perkiraan, boleh jadi para
penyelenggara pilkada, baik komisi pemilihan umum kabupaten dan jajarannya
serta pengawas pemilu kabupaten, berikut jaringannya ke bawah, merasa was-was,
cemas, dan bahkan boleh jadi dag dig dug.
Mereka cemas
sembari berdoa dan berharap, semoga saja ‘kesenyapan’ ini tidak sampai
mengganggu tingkat kehadiran pemilih dalam menggunakan hak suaranya pada
tanggal 9 Desember nanti. Jika itu terjadi, bukan tak mungkin penyelenggara
pilkada akan dikritik dan dipertanyakan kinerjanya.
Ini karena
indikator dalam demokrasi formalistik yang diwujudkan melalui pemilu, salah
satunya dapat dilihat dari seberapa besar angka partisipasi pemilihnya atau
angka golput (tidak menggunakan hak pilih) dalam pemungutan suara. Itulah hal
yang bisa dilihat di permukaan.
Belum lagi
kesuksesan pilkada diukur dari seberapa baik kualitas demokrasinya berjalan.
Cara mengukurnya antara lain sejauhmana pemilih mengetahui dengan baik calon
yang akan dipilih.
Juga,
sejauhmana sistem dan tahapan pemilunya berjalan. Dan sejauhmana kontrol atau
pengawasan jalannya pemilu berlangsung. Dan Anda, saya yakin sudah punya
penilaian tersendiri, sejauhmana hal-hal di atas berjalan.
Bahan Evaluasi
Tapi,
sudahlah, kita abaikan dahulu kekhawatiran-kekhawatiran di atas. Kita hilangkan
sejenak kecemasan-kecemasan atau ketakutan-ketakutan yang mungkin terjadi dalam
pilkada, yang sudah berada di depan pintu ini.
Kita sambut
saja pilkada ini, dengan kita gegap-gempitakan sendiri, semampu kita, sebisa
kita. Sembari berdoa, semoga angka partisipasi pemilih, sesuai target, atau
bila mungkin di atas target yang dipatok penyelenggara pilkada. Dan kita berdoa
saja, semoga kualitas demokrasinya sesuai dengan standar demokrasi yang sehat
dan fair.
Terlepas dari
itu semua, mari kita sama-sama berharap, agar segala kekurangan yang ada dalam
pilkada serentak jilid pertama tersebut menjadi bahan evaluasi serius bagi para
penyelenggara pilkada.
Catatan-catatan
kekurangan ini harapannya juga tidak hanya menghiasi lemari arsip KPU atau
Panwas. Yang hanya disimpan rapi untuk kemudian menjadi berkas yang
lama-kelamaan akan habis dimakan rayap.
Namun, catatan-catatan
tersebut seharusnya diangkat dan dibahas ke tingkat yang lebih atas lagi. Ke
KPU Pusat atau Bawaslu, misalnya. Atau bila perlu sampai ke meja para yang
mulia, anggota DPR RI.
Agar, pilkada
selanjutnya dapat lebih sehat, mengedukasi masyarakat, dan fair melalui
regulasi yang lebih baik lagi. Sehingga, melahirkan demokrasi dan pemimpin yang
berkualitas. Akhirnya, selamat mencoblos warga Tuban, Lamongan, dan Blora. (*)
Bojonegoro, 4
Desember 2015
*) Tayang di
Harian Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi Minggu, 6 Desember 2015, Halaman 30
No comments:
Post a Comment