Salah satu terobosan penting Pemerintah dalam meningkatkan
kesejahteraan rakyat melalui pembangunan adalah mendistribusikan anggaran desa
yang nilainya cukup fantastis.
Prinsip dekonsentrasi pembangunan dari daerah tingkat II ke
level desa ibaratnya sebuah lompatan yang signifikan dalam strategi pembangunan
nasional di masa-masa yang akan datang.
Ibaratnya, meminjam teori Mao Ze Dong, Pemerintah menekankan
konsep pembangunan "desa mengepung kota" yang begitu membumi dalam
konsep ideologi gerakan perubahan sosial di Tiongkok pada masa lampau.
Konsep desa mengepung kota memberi pemahaman bahwa
pembangunan sebuah negara secara menyeluruh tidak akan bisa terlaksana apabila
tidak dimulai dengan membangun pondasinya. Pondasi yang dimaksud tentu saja
adalah daerah di lini terbawah: desa.
Seperti bangunan mercusuar, pondasi dasarnya harus dibangun
sedemikian kokoh terlebih dahulu, sebelum kemudian memerluas dan mempercantik
konstruksi di atasnya, meskipun dengan desain mencakar langit sekalipun.
Tentu saja konsep pembangunan desa, yang diperkuat dengan
lahirnya regulasi UU Desa ini, tidak sempurna. Karena, pada dasarnya memang
tidak pernah ada kebijakan yang bisa diterima siapapun.
Faktanya, secara sosiologis, lahirnya UU Desa sedikit banyak
menggeneralisasi konsep desa yang berlaku menyeluruh di Indonesia. Padahal,
Indonesia yang memiliki begitu banyak bahasa, suku, adat, dan budayanya
sejatinya memiliki konsep beragam tentang desa. Tetapi, pada akhirnya semua
disatukan dengan lahirnya UU Desa. Seluruh aset dihandle pemerintah dan
dibakukan dalam APBDes.
Resistensi itu sebenarnya sudah muncul belakangan ini dengan
adanya penolakan dari Suku Anak Dalam, Riau, yang sebelumnya mereka sudah
begitu harmoni dengan alam melalui Desa Adat. Perbedaan cara pandang juga
terjadi di Suku Badui, Jawa Barat.
Tetapi apapun UU telah disahkan, dan tahun ini sudah mulai
diberlakukan, dengan ditransfernya dana desa, alokasi dana desa (ADD), dana
bagi hasil dan pajak, yang merupakan komponen dari anggaran desa.
Pertanggungjawaban Publik
Dalam sebuah diskusi tentang Sekolah Desa yang diikuti
penulis belum lama ini, sempat mengemuka problem realisasi pembangunan berbasis
anggaran desa.
Memang, beberapa kabupaten sudah mencairkan anggaran
desanya. Tapi, ada pula yang urung mencairkan dananya karena terbentur regulasi
turunan dari UU Desa dan Peraturan Pemerintahnya yang kurang aplikatif.
Bojonegoro termasuk kabupaten yang cukup responsif dalam
menerjemahkan regulasi turunan tersebut. Lahirnya tiga peraturan bupati
(Perbup) yang mengatur soal mekanisme pencairan dan pelaksanaan dana desa,
detail bidang yang menjadi fokus dana desa, dan laporan pertanggungjawaban dana
desa setidaknya bisa menjadi petunjuk bagi desa untuk merealisasikan agenda
besar nasional ini.
Namun, hemat penulis, masih ada celah atau ruang yang belum
tergarap dalam regulasi yang akan dijadikan rule map bagi pemerintahan desa
tersebut. Yakni, soal pertanggungjawaban (akuntabilitas) publiknya.
Artinya, bukan sekadar LPj keuangan yang lebih bersifat
normatif, belum substansial. Padahal, akuntabilitas publik merupakan salah satu
parameter dalam demokrasi modern untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik
dan benar.
Fukuyama dalam political
order and political decay (2014) mengatakan, bahwa tata kelola pemerintahan
yang baik menjadi menjadi salah satu pilar dalam membangun tertib politik
sekaligus memperkuat eksistensi negara.
Penjelasannya, dengan disediakannya ruang dan cantolan
akuntabilitas publik dalam regulasi, sebenarnya pemerintah daerah sudah
berikhtiar menjalankan atau setidaknya membangun kultur tertib politik dan
hirarkie struktural pemerintahan yang baik.
Format dan mekanisme akuntabilitas publik tidak saja berupa
forum-forum yang memungkinkan partisipasi publik secara luas dan kompleks.
Namun, juga dapat berupa ketersediaan kesempatan bagi publik untuk mengaksesnya
secara lebih luas dan terbuka.
Sebab, seluruh anggaran yang digunakan untuk pembangunan
desa melibatkan partisipasi publik melalui beragam pungutan dan pajak. Tentu
adil juga bukan publik mengetahui untuk apa saja uang yang telah mereka bayarkan
dengan susah payah tersebut? (*)
Ujung Blok Lingkar, 26 Juni 2015
*) Tayang di Jawa Pos
Radar Bojonegoro, Edisi Minggu, 28 Juni 2015 Halaman 26
No comments:
Post a Comment