Sunday, March 15, 2015

Sumur Tua: Dilema SDM dan SDA

Beberapa bulan yang lalu, secara tidak sengaja penulis bertemu dengan sejumlah penambang sumur minyak tua tradisional di gedung DPRD Bojonegoro. Mereka berniat mengadukan problem dalam pengelolaan sumur minyak tua di Kecamatan Kedewan ke komisi A DPRD.
Sekilas dari pembicaraan mereka, penulis menangkap harapan agar dewan ikut memberikan perhatian dalam peningkatan hajat hidup penambang dengan keberadaan sumur tua yang sudah ratusan tahun berada.
Salah satu isu yang mengemuka adalah keinginan adanya peningkatan ongkos angkat angkut minyak mentah (lantung) yang ditambang dari sumur tua untuk kemudian dijual ke Pertamina. Mereka menilai, ongkos angkat angkutnya tidak atau belum sebanding dengan biaya hidup, tingkat risiko, maupun kebutuhan lainnya.
Belakangan, kita melihat beberapa kali anggota dewan komisi A dan pemkab sidak ke sumur tua. Tapi, kita tidak tahu seberapa operasional hasil sidaknya. Justru, yang kita dengar adalah semakin mencuatnya karut marut tata kelola minyak tua di Kedewan dan Malo.
Mulai terkuaknya illegal minning, illegal logging, hingga perusakan lingkungan. Isu yang mengemuka ke publik adalah adanya beberapa pelanggaran serius dalam pengelolaan minyak tua, dan harus segera ditindak pelanggarnya.

Kehadiran Panglima TNI
Terus terang, penulis sempat kaget saat mendengar Panglima TNI Jenderal Moeldoko sidak bersama Dirut Pertamina Dwi Sutjipto, anggota DPR RI ke sumur tua, Jumat (13/3). Dalam benak sempat tergelitik sebuah pertanyaan, ada hubungan apa antara sumur tua, khususnya minyak, dengan jenderal bintang empat tersebut atau TNI.
Apakah ada kaitannya dengan mengemukanya berbagai pelanggaran pengelolaan minyak tua di Kedewan? Konkretnya, adakah keterlibatan aparat dalam pelanggaran pengelolaan sumur tua? Sampai-sampai tokoh sekaliber panglima TNI sampai turun gunung ke Kedewan. 
Mungkinkah ini ada benang merahnya dengan pernyataan Panglima TNI bahwa sebagai pemimpin tertinggi pihaknya berjanji akan menindak tegas, jika ada anggota yang terlibat dalam pelanggaran pengelolaan sumur minyak tua.
Sebab, seperti pepatah, tak ada api tanpa asap. Tidak ada kejadian yang berdiri tunggal, semua tentu akan ada kaitannya. Namun, sekali lagi ini hanyalah rabaan penulis, yang mungkin bisa jadi salah.     
Semoga saja memang benar tidak ada keterlibatan oknum aparat dalam pelanggaran pengelolaan sumur tua di Kedewan dan Malo. Kehadiran panglima TNI ke Kedewan benar-benar murni karena untuk memantau langsung pelanggaran serius dalam pengelolaan sumur minyak tua, yang menurut panglima TNI, paling parah dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia.

Perbaikan Tata Kelola
Terlepas ada benang merahnya atau tidak dengan kehadiran panglima TNI ke Kedewan, ada dilema sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) dengan keberadaan sumur tua di wilayah tersebut. Di satu sisi, adanya sumur tua merupakan modal penting untuk sarana peningkatan kesejahteraan penambang, yang sejatinya juga warga Bojonegoro sendiri.
Kalau selama ini muncul pelanggaran dan tindak pidana lain, penulis yakin itu tidak berdiri sendiri. Tidak fair kalau yang patut disalahkan adalah penambang. Di sinilah sebenarnya perlu ada kearifan pemerintah untuk menyikapinya. Apakah salah satu sebabnya karena minimnya upah, termasuk besaran ongkos angkut minyak mentah yang didapat para penambang, atau ada faktor ekonomi lain?
Saya rasa, assesement dengan model pendekatan problem solving perlu juga dilakukan, selain yang sudah dibuat dan dilakukan oleh tim pemkab, untuk mengurai permasalahan pengelolaan sumur tua. Jangan sampai SDM dan SDA menjadi dilema, justru harusnya saling menguatkan untuk menjadi modal sosial pembangunan.
Rasanya, pendekatan kemanusiaan bisa jadi akan lebih mengena daripada dengan pendekatan keamanan.  Tentu kita tidak mau sumur minyak tua, yang pengelolaannya secara tradisional menjadi kutukan sumber daya alam, bukan? (*)

Bawah Titian, 14 Maret 2015

*) Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro Edisi Minggu, 15 Desember 2015 Halaman 26.

No comments:

Post a Comment