Wednesday, June 6, 2012

Berebut Massa Cair Ormas

Organisasi, apakah ia Organisasi Kemasyarakatan berbasis keagamaan (Ormas), Organisasi Kepemudaan (OKP), maupun organisasi bentuk lainnya, pada dasarnya merupakan institusi masyarakat sipil yang bertujuan untuk menjalankan fungsi-fungsi yang selama ini juga dijalankan negara. Pendek kata, organisasi ibarat ‘negara kecil’ yang didalamnya berjalan sebuah sistem yang mencakup goal, visi, dan misi, hingga aturan main yang tujuan akhirnya adalah untuk keberdayaan dan kesejahteraan anggota.  
Sekalipun menjalankan fungsi-fungsi yang selama ini juga dilakukan oleh negara, value organisasi berbeda sama sekali dengan negara. Khususnya dalam ranah politik. Politik organisasi dijalankan dengan berbasis moralitas. Politik moral. Sungguh pun dalam realisasinya kerja-kerja yang dijalankan Ormas berdekatan dengan politik, politik yang dimaksud adalah politik moral. Politik yang tujuan akhirnya bukan kekuasaan, melainkan moralitas.
Meski hanya berlandaskan politik moral, kekuatan massa Ormas, dalam hal-hal tertentu justru mempunyai implikasi yang lebih dari sekadar politik moral. Dalam momen-momen politik, seperti Pemilu, atau Pemilukada, kekuatan Ormas bahkan melebihi partai politik (Parpol) yang sebenarnya justru memiliki orientasi yang lebih pragmatis dibandingkan Ormas.  
Salah satu kekuatan utama Ormas dalam mengikat massa anggotanya adalah ideologis. Kekuatan ideologis ini menciptakan loyalitas yang terkadang mampu menembus dinding-dinding pembatas frame politik. Kekuatan tersebut semakin diperhitungkan dan memiliki daya ledak tinggi manakala dipicu oleh sentimen hirarki-struktural. Semakin berbanding lurus antara loyalitas dengan kuasa hirarki-struktural, semakin diperhitungkan kekuatan organisasi tersebut.
Dalam realitas Bojonegoro kekinian, yang pada 10 November 2012 mendatang punya gawe besar Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), kekuatan Ormas-Ormas ini bukan tidak mungkin akan kembali diperebutkan oleh para calon. Bukan hanya calon yang berangkat dari Partai Politik (Parpol), namun juga oleh calon yang berangkat melalui jalur independen (perseorangan).
Para pemimpin Ormas akan banyak diburu oleh para calon berikut tim suksesnya, karena kekuatan dan pengaruhnya diyakini akan mampu menjadi votegetter dalam Pemilukada. Disinilah peran penting Ormas sebagai bandul politik Pemilukada akan berlangsung. Ia, dalam kadar loyalitas tertentu, ibarat pendulum yang akan mampu mengarahkan jarum penunjuk ke arah yang diinginkan.
Akan tetapi, pertanyaan selanjutnya adalah akankah semudah itu massa anggota Ormas akan mengikuti apa yang diinginkan oleh pemimpinnya? Jawabnya, memang tidak semudah asumsi yang diteorikan. Banyak kasus menunjukkan terkadang fatwa, perintah, dan instruksi tidak mampu membelokkan ijtihad, ikhtiar politik anggota Ormas dalam menentukan pilihan politik.
Meskipun, tidak sedikit pula anggota Ormas-Ormas tertentu yang loyal dan mengikuti apa kata pimpinannya dalam menjalankan ijtihad politik, menentukan tindakan politik Pemilukada.   
Nahdlatul Ulama (NU) adalah satu di antara sekian Ormas yang massa anggotanya sedemikian cair, tidak bisa ditebak. Sekalipun ceruk massa anggota NU sedemikian besar, bukan berarti kalau elite dan pemimpinnya dipegang secara otomatis pengikut akan menuruti apa kata pimpinannya.
Pilkada Bojonegoro 2007 dapat dijadikan contoh betapa susahnya mengendalikan massa cair NU yang sedemikian besar dan menentukan untuk mengarah pada salah satu calon. Kendati pada saat itu sejumlah petinggi NU, mulai tingkat pusat hingga level kabupaten sudah dikerahkan untuk mempengaruhi massa cair Nahdliyyin, tetap saja tidak mampu mengarahkan dengan maksimal.
Massa anggota Ormas seperti sudah memiliki ijtihad dan ikhtiar politik tersendiri dalam hal penentuan pemimpin tingkat kabupaten. Ibaratnya, loyalitas hanya boleh dikonstruksi dalam relasi keagamaan. Akan tetapi, dalam relasi politik, keyakinan akan keputusan yang diambil, dengan berdasar data-data empirik-subjektifitas pemilih, yang lebih menentukan.
Secara politik, warga Nahdliyin berarti lebih memiliki kebebasan, lebih merdeka, tidak terkungkung dalam doktrin. Akan tetapi dalam konteks organisasi, cairnya dukungan ini justru merupakan blunder dan menunjukkan ketidakutuhan bangunan organisasi itu sendiri. Terlepas apapun, pendekatan, program yang dibutuhkan, komitmen dan konsistensi dari calon akan lebih dilihat konstituen daripada doktrinal semu. [*]    
   
Ujung Blok Lingkar, 2 Juni 2012

No comments:

Post a Comment