Organisasi,
apakah ia Organisasi Kemasyarakatan berbasis keagamaan (Ormas), Organisasi
Kepemudaan (OKP), maupun organisasi bentuk lainnya, pada dasarnya merupakan
institusi masyarakat sipil yang bertujuan untuk menjalankan fungsi-fungsi yang
selama ini juga dijalankan negara. Pendek kata, organisasi ibarat ‘negara
kecil’ yang didalamnya berjalan sebuah sistem yang mencakup goal, visi, dan
misi, hingga aturan main yang tujuan akhirnya adalah untuk keberdayaan dan
kesejahteraan anggota.
Sekalipun
menjalankan fungsi-fungsi yang selama ini juga dilakukan oleh negara, value organisasi berbeda sama sekali
dengan negara. Khususnya dalam ranah politik. Politik organisasi dijalankan
dengan berbasis moralitas. Politik moral. Sungguh pun dalam realisasinya
kerja-kerja yang dijalankan Ormas berdekatan dengan politik, politik yang
dimaksud adalah politik moral. Politik yang tujuan akhirnya bukan kekuasaan,
melainkan moralitas.
Meski
hanya berlandaskan politik moral, kekuatan massa Ormas, dalam hal-hal tertentu justru
mempunyai implikasi yang lebih dari sekadar politik moral. Dalam momen-momen
politik, seperti Pemilu, atau Pemilukada, kekuatan Ormas bahkan melebihi partai
politik (Parpol) yang sebenarnya justru memiliki orientasi yang lebih pragmatis
dibandingkan Ormas.
Salah
satu kekuatan utama Ormas dalam mengikat massa anggotanya adalah ideologis.
Kekuatan ideologis ini menciptakan loyalitas yang terkadang mampu menembus
dinding-dinding pembatas frame politik. Kekuatan tersebut semakin
diperhitungkan dan memiliki daya ledak tinggi manakala dipicu oleh sentimen
hirarki-struktural. Semakin berbanding lurus antara loyalitas dengan kuasa
hirarki-struktural, semakin diperhitungkan kekuatan organisasi tersebut.
Dalam
realitas Bojonegoro kekinian, yang pada 10 November 2012 mendatang punya gawe
besar Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), kekuatan Ormas-Ormas ini bukan
tidak mungkin akan kembali diperebutkan oleh para calon. Bukan hanya calon yang
berangkat dari Partai Politik (Parpol), namun juga oleh calon yang berangkat
melalui jalur independen (perseorangan).
Para
pemimpin Ormas akan banyak diburu oleh para calon berikut tim suksesnya, karena
kekuatan dan pengaruhnya diyakini akan mampu menjadi votegetter dalam Pemilukada. Disinilah peran penting Ormas sebagai
bandul politik Pemilukada akan berlangsung. Ia, dalam kadar loyalitas tertentu,
ibarat pendulum yang akan mampu mengarahkan jarum penunjuk ke arah yang
diinginkan.
Akan
tetapi, pertanyaan selanjutnya adalah akankah semudah itu massa anggota Ormas
akan mengikuti apa yang diinginkan oleh pemimpinnya? Jawabnya, memang tidak
semudah asumsi yang diteorikan. Banyak kasus menunjukkan terkadang fatwa,
perintah, dan instruksi tidak mampu membelokkan ijtihad, ikhtiar politik anggota
Ormas dalam menentukan pilihan politik.
Meskipun,
tidak sedikit pula anggota Ormas-Ormas tertentu yang loyal dan mengikuti apa
kata pimpinannya dalam menjalankan ijtihad politik, menentukan tindakan politik
Pemilukada.
Nahdlatul
Ulama (NU) adalah satu di antara sekian Ormas yang massa anggotanya sedemikian
cair, tidak bisa ditebak. Sekalipun ceruk massa anggota NU sedemikian besar,
bukan berarti kalau elite dan pemimpinnya dipegang secara otomatis pengikut
akan menuruti apa kata pimpinannya.
Pilkada
Bojonegoro 2007 dapat dijadikan contoh betapa susahnya mengendalikan massa cair
NU yang sedemikian besar dan menentukan untuk mengarah pada salah satu calon.
Kendati pada saat itu sejumlah petinggi NU, mulai tingkat pusat hingga level
kabupaten sudah dikerahkan untuk mempengaruhi massa cair Nahdliyyin, tetap saja
tidak mampu mengarahkan dengan maksimal.
Massa
anggota Ormas seperti sudah memiliki ijtihad dan ikhtiar politik tersendiri
dalam hal penentuan pemimpin tingkat kabupaten. Ibaratnya, loyalitas hanya
boleh dikonstruksi dalam relasi keagamaan. Akan tetapi, dalam relasi politik,
keyakinan akan keputusan yang diambil, dengan berdasar data-data
empirik-subjektifitas pemilih, yang lebih menentukan.
Secara
politik, warga Nahdliyin berarti lebih memiliki kebebasan, lebih merdeka, tidak
terkungkung dalam doktrin. Akan tetapi dalam konteks organisasi, cairnya
dukungan ini justru merupakan blunder dan menunjukkan ketidakutuhan bangunan
organisasi itu sendiri. Terlepas apapun, pendekatan, program yang dibutuhkan,
komitmen dan konsistensi dari calon akan lebih dilihat konstituen daripada
doktrinal semu. [*]
Ujung
Blok Lingkar, 2 Juni 2012
No comments:
Post a Comment