Pemilihan
Umum Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah (Pilkada) Bojonegoro masih lima bulan
lagi, tepatnya 10 November 2012. Masa kampanye untuk berebut ceruk suara
konstituen juga masih lama, baru satu-dua bulan menjelang hari H coblosan. Akan
tetapi, jika Anda perhatikan dengan seksama, hampir tidak ada jengkal yang
tersisa di jalan-jalan Kota Bojonegoro yang tak diwarnai dengan seutas senyum
berbagai nama yang disebut-sebut bakal maju dalam Pilkada Bojonegoro 2012.
Bukan
hanya seutas senyum. Masing-masing nama juga memunculkan pencitraan nan
pembeda, disertai
pesan pengingat. Belum menunjukkan ajakan untuk memilih, memang. Tetapi, hampir
semua orang paham dan tahu bahwa munculnya gambar-gambar yang ditampilan dalam
berbagai baliho, spanduk, dan banner tersebut menyiratkan pesan, mereka siap
bersaing dalam running Pilkada
Bojonegoro 2012.
Hingga
sekarang belum ada data pasti sudah seberapa banyak (ribuan, atau bahkan ratusan
ribu?) banner yang terpasang di berbagai sudut kawasan Kota Bojonegoro. Bahkan,
di sudut-sudut desa dan kecamatan, rasanya kita juga banyak mendapati pesan dan
gambar nama-nama tersebut.
Akan
tetapi, yang mungkin luput dari perhatian kita, hampir seluruh gambar nama-nama
bakal calon (karena belum daftar dan ditetapkan sebagai calon oleh KPUK) yang dibingkai
dalam baliho, spanduk, dan banner berbahan dasar plastik yang secara ekologis
merupakan zat yang sulit diurai. Membutuhkan waktu 20-30 tahun lagi agar sampah
plastik terurai dalam tanah. Rasa-rasanya, hiruk pikuk Pilkada akan semakin menambah
volume sampah di Bojonegoro yang saat ini sebenarnya sudah overload (melebihi kapasitas).
Sampah Jalanan
Beberapa
waktu lalu Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Bojonegoro Nurul Azizah
mengungkapkan, volume sampah di Bojonegoro semakin overload. Volume sampah di
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Desa Banjarsari, Kecamatan Trucuk overload. Artinya, dengan tren terus
meningkatnya jumlah sampah di perkotaan, dalam waktu dua hingga tiga tahun lagi
TPA Banjarsari sudah tidak lagi mampu menampung sampah.
Sehingga,
dibutuhkan lahan baru yang lebih luas lagi untuk TPA, di luar penerapan perilaku,
tata kelola, dan gaya hidup yang benar, sebagaimana dalam diatur UU Nomor 18
Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bahkan, sempat muncul gagasan TPA
diperluas hingga kecamatan.
Beberapa
waktu lalu penulis sempat berdikusi dengan Mahmudin, Kasi Sarana dan Prasarana DKP
dalam acara Diskusi Reboan IDFoS. Mahmudin mengungkap studi perencanaan teknis
persampahan Bojonegoro 2011. Dalam studi tersebut terungkap, dalam sehari, sampah
yang masuk ke TPA rata-rata mencapai 120 m3, sedangkan dalam sebulan mencapai
rata-rata 3.500 m3. Jumlah ini hingga kini tidak berkurang, bahkan cenderung
naik.
Studi
tersebut juga mengungkapkan, sampah jalanan menyumbang 33 persen, disusul
sampah pasar 22 persen, rumah sakit 16 persen, serta sampah dari toko, hotel,
industri, terbuka, dan permukiman yang rata-rata berkisar 5 persen lebih. Dari
jumlah itu, 75 persen di antaranya sampah organik, dan 25 persen sampah
an-organik .
Dalam
studi terungkap, menumpuknya sampah jalanan di Kota Bojonegoro tersebut akibat dari
buruknya perilaku, misalnya membuang sampah sembarangan. Studi itu juga
menjelaskan, dari tahun ke tahun terjadi tren peningkatan sampah, seiring
semakin luasnya permukiman dan pertambahan penduduk.
Pilkada Ramah Lingkungan
Tak
dapat disangkal lagi, maraknya gambar dan baliho pilkada yang bertebaran di
sepanjang wilayah Kota Bojonegoro dan kecamatan-kecamatan di seluruh kabupaten
semakin menambah volume sampah. Khususnya sampah jalanan dan permukiman. Jadi,
sebenarnya disayangkan bila upaya menggalang simpati dan dukungan kepada publik
tersebut malah menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkungan.
Memang,
hingga kini para penyelenggara Pilkada (KPUK dan Panwaskab) belum mempunyai
regulasi yang jelas untuk menertibkan baliho-baliho tersebut. Rasanya, menurut
hemat penulis, sudah saatnya penyelenggara pilkada bersama aktivis lingkungan, satuan
kerja pemerintah daerah (SKPD), DPRD, dan organisasi berbasis lingkungan duduk
bersama untuk memformat model penyelenggaraan Pilkada, yang setidak-tidaknya memiliki
ruh dan semangat ramah lingkungan. Bila perlu komitmen tersebut dituangkan
dalam bentuk regulasi Peraturan Bupati (Perbup), tak sekadar MoU. Misalnya, dengan
menyarankan (bila perlu menerapkan aturan) bahwa media kampanye calon sebaiknya
berbahan ramah lingkungan, atau aksi lainnya.
Penulis,
mengutip Rakhmat K. Dwi Susilo (2008), memang bukan aktivis lingkungan, tetapi saya
memiliki sedikit kesadaran ekologis (ecological
awareness), kalau lingkungan terus menerus rusak, maka berakhir pula
kehidupan sosial kita... ”Saya juga bukan ahli agama, tetapi saya sangat yakin
kalau pikiran, tindakan, dan perasaanku cemas atas masa depan lingkungan, maka
Tuhan pun bukan Dzat yang menyia-nyiakan...”. (*)
Bawah Titian, 24 Juni 2012
*)
Tayang di Jawa Pos Radar Bojonegoro, Edisi Senin, 25 Juni 2012, Halaman 30
No comments:
Post a Comment