Tuesday, August 7, 2012

Rivalitas Parpol dan Perorangan


Tahapan Pemilihan Umum Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Bojonegoro mulai memasuki fase krusial. Hingga awal Agustus 2012 ini, konfigurasi Bakal Calon Bupati (Bacabup) dan Bakal Calon Wakil Bupati (Bacawabup) mulai berpendar. Setidaknya, ada lima pasangan Bakal Calon (Balon), baik dari jalur partai politik maupun independen (perseorangan), yang muncul.
Dari jalur partai politik ada tiga pasangan. Mereka adalah pasangan petahana (incumbent), Suyoto-Setyo Hartono (Toto). Dua nama ini diusung oleh Partai Amanat Nasional (PAN) yang berkoalisi dengan Partai Gerindra, dan Partai Demokrat (PD). Kemudian, pasangan M. Thalhah, yang bergandengan dengan Agus Hariyanto (AH). Thalhah-AH mendapat rekom dari Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan.
Dan ketiga pasangan Moh. Choiri yang bergandengan dengan Untung Basuki (Choirun). Dua Balon ini mendapat rekomendasi dari Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), serta Partai Nasional Benteng Kemerdekaan Indonesia (PNBKI).
Selain jalur Parpol, ada tiga pasangan Bacabup dan Bacawabup yang maju dari jalur independen. Mereka adalah pasangan Andromeda Qomariyah-Sigit Budi H, Syarif Usman-Syamsiyah Rachim, dan Harmono-Sukemi. Untuk nama terakhir, sangat mungkin tercoret, karena hingga awal Agustus berkas dukungan mereka tidak diverifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten (KPUK) Bojonegoro.
Bagi masyarakat Bojonegoro, Pemilukada kali ini menghadirkan nuansa yang berbeda jika dibandingkan dengan Pilkada 2007. Selain secara perundangan dan mekanisme yang memang tidak sama, perbedaan mencolok lainnya adalah hadirnya dua pasangan dari jalur independen pada Pemilukada Bojonegoro, yang dijadwalkan KPUK berlangsung pada 10 November 2012. Pada Pilkada 2007 kontestannya didominasi oleh calon dari partai politik.   
Dapat dikatakan, Pemilukada 2012 ini seperti menjanjikan ‘pertarungan’ yang terbuka antara rekrutan partai politik, yang diwakili oleh majunya tiga pasangan calon, serta rivalitas serius dari perseorangan yang diwakili oleh dua pasangan. Soal apakah publik tetap cenderung terhadap pilihan partai politik atau sebaliknya, 10 November lah waktu penentuannya.  
Tetapi, justru sekaranglah saatnya publik bisa menilai apakah pasangan dari jalur perseorangan sudah cukup menjanjikan untuk menggantikan dominasi sekaligus hegemoni partai politik yang selama ini sudah bercengkeram lama, berkelindan dengan struktur sosial yang mengurat mengakar. Atau justru sebaliknya, sejarah akan tercipta dengan lahirnya pemimpin dari jalur independen. Menarik untuk ditunggu.  
Tetapi, marilah sejenak kita tinggalkan ‘pertarungan’ terbuka yang sebentar lagi akan tergelar. Yang menjadi penting untuk dicermati publik adalah sejauhmana kemampuan aktor-aktor politik, yang diwakili oleh para kontestan, berikut instrumen yang akan digunakan, mampu mempengaruhi publik untuk memberikan dukungan.
Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno, pernah berpesan, tolok ukur kedaulatan suatu republik dapat dilihat dari kemampuan aktor-aktor di dalamnya untuk menciptakan kemandirian sosial ekonomi, kemerdekaan politik, dan memiliki kepribadian dalam berbudaya.
Apa maknanya? Bahwa kemampuan aktor-aktor politik Pemilukada berikut anasir di dalamnya, dalam mendesain sebuah visi dan misi besar style politiknya akan sangat mempengaruhi kepercayaan publik untuk memberikan mandat sosial. Mandat sosial dalam bentuk kepercayaan publik ini penting untuk ditekankan agar instrumen yang dihasilkan mampu menunjang dan menciptakan kemandirian sosial, ekonomi, dan politik sebagaimana disinyalir oleh Bung Karno.
Tidak pandang aktor-aktor politik tersebut dari partai politik ataupun perseorangan, selama mampu merealisasikan visi besar tersebut, yakinlah bahwa publik akan dengan sendirinya memberikan dengan sukarela mandat sosial tersebut. Kesadaran dan keseriusan untuk menanamkan kepercayaan ini menjadi penting agar Pemilukada, yang merupakan salah satu bentuk dari ikhtiar konsolidasi demokrasi, tidak hanya menjadi semacam ritual politik yang gegap gempita di permukaannya, tetapi senyap nilai-nilai demokrasi dalam substansinya. Semua belum terlambat, tetapi justru baru dimulai.
Pemilukada juga merupakan sebentuk model kaderisasi dan rekrutmen kepemimpinan daerah. Baik buruk jalannya rekrutmen kepemimpinan daerah, tergantung sejauhmana kemampuan institusi-institusi sosial didalamnya untuk membentuk dan mengarahkan mau dibawa kemana kemudi pemerintah daerah.
Dibutuhkan sebuah cara pandang yang arif, bijak, dan holistik agar suksesi pemerintah daerah ini tidak semata-mata dipandang sebagai gelanggang perebutan kekuasaan. Melainkan sebagai ikhtiar untuk ruang aktualisasi konsolidasi demokrasi, dengan tidak menafikan kepekaan atas realitas sosial yang berkembang.
Aristoteles, filosof peletak sendi-sendi politik, menekankan, etika seorang pemimpin terhadap rakyatnya adalah mampu membangun kepekaan diri terhadap apa yang mereka butuhkan. Bukan apa yang seorang pemimpin butuhkan untuk kepentingan dirinya sendiri. Seorang pemimpin yang beretika tidak akan menuntut apapun kepada rakyat demi kepetingan sendiri saat rakyatnya sedang hidup menderita. [*]

     

No comments:

Post a Comment