Tahapan Pemilihan
Umum Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Bojonegoro mulai
memasuki fase krusial. Hingga awal Agustus 2012 ini, konfigurasi Bakal Calon
Bupati (Bacabup) dan Bakal Calon Wakil Bupati (Bacawabup) mulai berpendar.
Setidaknya, ada lima
pasangan Bakal Calon (Balon), baik dari jalur partai politik maupun independen
(perseorangan), yang muncul.
Dari jalur partai politik ada tiga pasangan. Mereka adalah pasangan
petahana (incumbent), Suyoto-Setyo
Hartono (Toto). Dua nama ini diusung oleh Partai Amanat Nasional (PAN) yang
berkoalisi dengan Partai Gerindra, dan Partai Demokrat (PD). Kemudian, pasangan
M. Thalhah, yang bergandengan dengan Agus Hariyanto (AH). Thalhah-AH mendapat
rekom dari Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Perjuangan.
Dan ketiga pasangan Moh. Choiri yang bergandengan dengan Untung Basuki
(Choirun). Dua Balon ini mendapat rekomendasi dari Partai Kebangkitan Nasional
Ulama (PKNU), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat
(Hanura), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), serta Partai Nasional Benteng
Kemerdekaan Indonesia (PNBKI).
Selain jalur Parpol, ada tiga pasangan Bacabup dan Bacawabup yang maju dari
jalur independen. Mereka adalah pasangan Andromeda Qomariyah-Sigit Budi H,
Syarif Usman-Syamsiyah Rachim, dan Harmono-Sukemi. Untuk nama terakhir, sangat
mungkin tercoret, karena hingga awal Agustus berkas dukungan mereka tidak
diverifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten (KPUK) Bojonegoro.
Bagi masyarakat Bojonegoro, Pemilukada kali ini menghadirkan nuansa yang
berbeda jika dibandingkan dengan Pilkada 2007. Selain secara perundangan dan
mekanisme yang memang tidak sama, perbedaan mencolok lainnya adalah hadirnya dua
pasangan dari jalur independen pada Pemilukada Bojonegoro, yang dijadwalkan
KPUK berlangsung pada 10 November 2012. Pada Pilkada 2007 kontestannya
didominasi oleh calon dari partai politik.
Dapat dikatakan, Pemilukada 2012 ini seperti menjanjikan ‘pertarungan’ yang
terbuka antara rekrutan partai politik, yang diwakili oleh majunya tiga
pasangan calon, serta rivalitas serius dari perseorangan yang diwakili oleh dua
pasangan. Soal apakah publik tetap cenderung terhadap pilihan partai politik
atau sebaliknya, 10 November lah waktu penentuannya.
Tetapi, justru sekaranglah saatnya publik bisa menilai apakah pasangan dari
jalur perseorangan sudah cukup menjanjikan untuk menggantikan dominasi
sekaligus hegemoni partai politik yang selama ini sudah bercengkeram lama,
berkelindan dengan struktur sosial yang mengurat mengakar. Atau justru
sebaliknya, sejarah akan tercipta dengan lahirnya pemimpin dari jalur
independen. Menarik untuk ditunggu.
Tetapi, marilah sejenak kita tinggalkan ‘pertarungan’ terbuka yang sebentar
lagi akan tergelar. Yang menjadi penting untuk dicermati publik adalah
sejauhmana kemampuan aktor-aktor politik, yang diwakili oleh para kontestan,
berikut instrumen yang akan digunakan, mampu mempengaruhi publik untuk
memberikan dukungan.
Presiden pertama
Republik Indonesia, Bung Karno, pernah berpesan, tolok ukur kedaulatan suatu
republik dapat dilihat dari kemampuan aktor-aktor di dalamnya untuk menciptakan
kemandirian sosial ekonomi, kemerdekaan politik, dan memiliki kepribadian dalam
berbudaya.
Apa maknanya? Bahwa
kemampuan aktor-aktor politik Pemilukada berikut anasir di dalamnya, dalam
mendesain sebuah visi dan misi besar style politiknya akan sangat mempengaruhi
kepercayaan publik untuk memberikan mandat sosial. Mandat sosial dalam bentuk
kepercayaan publik ini penting untuk ditekankan agar instrumen yang dihasilkan
mampu menunjang dan menciptakan kemandirian sosial, ekonomi, dan politik
sebagaimana disinyalir oleh Bung Karno.
Tidak pandang
aktor-aktor politik tersebut dari partai politik ataupun perseorangan, selama
mampu merealisasikan visi besar tersebut, yakinlah bahwa publik akan dengan
sendirinya memberikan dengan sukarela mandat sosial tersebut. Kesadaran dan
keseriusan untuk menanamkan kepercayaan ini menjadi penting agar Pemilukada,
yang merupakan salah satu bentuk dari ikhtiar konsolidasi demokrasi, tidak
hanya menjadi semacam ritual politik yang gegap gempita di permukaannya, tetapi
senyap nilai-nilai demokrasi dalam substansinya. Semua belum terlambat, tetapi
justru baru dimulai.
Pemilukada juga
merupakan sebentuk model kaderisasi dan rekrutmen kepemimpinan daerah. Baik
buruk jalannya rekrutmen kepemimpinan daerah, tergantung sejauhmana kemampuan
institusi-institusi sosial didalamnya untuk membentuk dan mengarahkan mau
dibawa kemana kemudi pemerintah daerah.
Dibutuhkan sebuah
cara pandang yang arif, bijak, dan holistik agar suksesi pemerintah daerah ini
tidak semata-mata dipandang sebagai gelanggang perebutan kekuasaan. Melainkan
sebagai ikhtiar untuk ruang aktualisasi konsolidasi demokrasi, dengan tidak
menafikan kepekaan atas realitas sosial yang berkembang.
Aristoteles,
filosof peletak sendi-sendi politik, menekankan, etika seorang pemimpin
terhadap rakyatnya adalah mampu membangun kepekaan diri terhadap apa yang
mereka butuhkan. Bukan apa yang seorang pemimpin butuhkan untuk kepentingan
dirinya sendiri. Seorang pemimpin yang beretika tidak akan menuntut apapun
kepada rakyat demi kepetingan sendiri saat rakyatnya sedang hidup menderita.
[*]
No comments:
Post a Comment