Pemilihan
Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Bojonegoro, yang oleh Komisi Pemilihan Umum
Daerah (KPUD) Bojonegoro dijadwalkan berlangsung pada 10 November 2012 nanti,
sepertinya menjanjikan karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) 2007, baik tipologi maupun momentumnya.
Apa titik
relevansi Pemilukada 2012 dengan Pilkada 2007? Mari sejenak kita buka memori lama yang terpampang dalam labirin Pilkada 2007 silam. Dalam Pilkada
2007, sudah jamak diketahui muncul rivalitas yang ketat dan laten antara HM.
Santoso yang ketika itu masih menjabat sebagai
Bupati Bojonegoro (periode 2002-2007), dengan
HM. Thalhah, yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Bupati Bojonegoro.
Rivalitas
itu mengemuka tidak hanya dalam hubungan personal di antara keduanya, meski
dalam tataran formal keduanya masih bisa menampilkan wajah dramaturgis, yang seolah-olah tidak ada kompetisi di antara keduanya.
Tetapi, bagi yang mengetahuinya, setidaknya mengamati, perwajahan itu hanyalah semu dan tidak sebenarnya.
Ketegangan politik (saat) itu
sebenarnya bisa diverifikasi
dengan terlihatnya
hubungan kurang harmonis dalam realitasnya. Di mana-mana, mungkin publik sudah sering mendengar bagaimana upaya perebutan pengaruh antara Santoso dengan Thalhah, ketika itu begitu kuat. Sampai-sampai ketika itu muncul kesan antara klan S1 (Santoso) dan klan S2
(Wabup).
Perebutan
pengaruh itu merembet di ranah publik hingga mempengaruhi berjalannya roda Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) Bojonegoro ketika itu. Dalam
berbagai kesempatan yang berkaitan dengan publik,
kedua belah pihak seperti
sedang bersaing berebut pengaruh
di mata publik.
Rivalitas itu berlanjut hingga Pilkada 2007. Keduanya vis a vis secara terbuka
dalam gelanggang Pilkada.
Di tengah memanasnya hubungan keduanya, muncul new
comer (pendatang baru),
Suyoto. Saat
publik membaca secara kental rivalitas antara Santoso dan Thalhah, publik pun
seolah membutuhkan figur alternatif yang bebas dari anasir orang lama. Suyoto
yang hadir dengan pendekatan kampanye yang integratif, mampu memukau publik.
New comer datang untuk memenangi Pilkada. Publik ketika itu ‘menghukum’
Santoso-Thalhah yang tengah asyik dengan rivalitasnya, dengan menjatuhkan dukungan
kepada publik.
Realitas Pemilukada 2012
Bagaimana dengan Pemilukada 2012? Sebenarnya, jika kita perhatikan secara serius, ada benang merah
karakteristik maupun momentum antara Pilkada 2007 dengan Pemilukada 2012.
Setidaknya ada dua alasan utama yang bisa dijadikan sebagai argumentasi. Pertama, rivalitas ideologis. Secara
geneologi politik, ada benang merah karakteristik antara dua figur yang bisa
dibilang sejatinya terlibat konflik kepentingan yang laten.
Baik Suyoto
maupun Thalhah sama-sama mempunyai latar belakang yang tidak berbeda jauh. Dari
sisi kultur pendidikan, latar belakang keduanya sama. Sama-sama mantan rektor
sebuah perguruan tinggi. Suyoto adalah mantan Rektor Universitas Muhammadiyah
(Unmuh) Gresik. Sedangkan Thalhah mantan Rektor Universitas Bojonegoro
(Unigoro).
Yang
menarik, keduanya juga sama-sama mempunyai latar belakang politik. Ingat, M.
Thalhah sampai saat ini masih tercatat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah
(DPD) Partai Golongan Karya (PG) Bojonegoro. Sedangkan Suyoto juga tidak kalah
matoh. Dia masih menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai
Amanat Nasional (PAN) Jawa Timur.
Secara
kelembagaan politik (baca: partai politik) rivalitas keduanya mencapai
klimaksnya pada Pemilihan Umum Legislatif (Pilleg) 2009. Pada Pilleg 2009,
Partai Golkar mampu memenangi rivalitas kelembagaan politik tersebut. Meski
sama-sama memperoleh tujuh kursi, tetapi Partai Golkar lebih unggul dalam
perolehan suara. Sesuai rekapitulasi KPUD Bojonegoro ketika itu Partai Golkar
memperoleh 100.000 lebih suara, unggul ribuan suara atas PAN.
Siapa pemenang rivalitas
personal Thalhah dengan Suyoto? Apabila mengacu
hasil Pilkada 2007, pasangan
Suyoto-Setyo Hartono (Toto) yang menang. Namun,
Thalhah yang maju lagi dalam Pemilukada 2012 nanti, yang kali ini bergandengan dengan Agus Hariyanto
(AH), masih berkesempatan untuk revans. Siapa
pemenangnya? Menarik untuk ditunggu.
Titik
kesamaan kedua adalah munculnya
kehadiran penantang atau pendatang baru. Ada perbedaan posisi yang disandang incumbent (petahana), dalam hal ini
pasangan Toto yang masih terus bertahan formasinya pada Pemilukada 2012. Ketika
Pilkada 2007, penantangnya adalah Toto, sementara pada Pemilukada 2012
menghadirkan banyak pendatang baru. Baik yang berangkat melalui gabungan Parpol
maupun jalur perseorangan (independen).
Penantang
dari gabungan Parpol terdiri dari pasangan M. Choiri, pengusaha dan Kepala Desa
Plesungan, Kecamatan Kapas, yang bergandengan dengan Untung Basuki, birokrat.
Pasangan yang berakronim Choirun itu diusung oleh PKNU, PPP, Partai Hanura,
PKS, dan PNBKI yang akumulasi kursinya (hingga akhir Juli) 14 buah.
Sedangkan
dari jalur independen, ada tiga pasangan. Yakni, Andromeda Qomariyah-Sigit
Budi H (birokrat-pegiat LSM), Sarif Usman-Syamsiyah Rachim (Kades Balenrejo,
Kecamatan Balen-akademisi/pengusaha), dan Harmono-Sukemi (mantan
Administratur Perhutani-birokrat dan pengusaha media). Akankah pendatang baru yang menang? Ataukah
jago lama yang masih menghegemoni? Menarik untuk ditunggu juga?
Kampanye
Jujur
Dari sisi pendekatan kepada publik, model yang
dilakukan kontestan baru hampir mirip-mirip dengan yang dilakukan incumbent, khususnya Suyoto. Pendekatan
integralistik secara personal kebanyakan juga dipilih oleh masing-masing calon.
Kisah sukses Suyoto pada Pilkada 2007, yang dengan pendekatan kemanusiaannya, diretas
ulang dengan berbagai replikasi, oleh kontestan lain.
Kondisinya kini seperti berbalik. Model yang
dilakukan incumbent, yang hingga kini
masih diteruskan, ditambahi dengan labeling pengajian, juga digunakan sebagai
‘senjata’ serupa oleh kontestan lain untuk menandingi popularitas petahana.
Manakah yang efektif untuk menarik masyarakat? Menarik ditunggu hasilnya.
Yang pasti, momentum Pemilukada bukan hanya
tentang aktualisasi instrumen-instrumen politik yang dilakukan aktor-aktor politik
dalam menyuarakan visi besarnya dalam menata pemerintahan. Pemilukada juga
merupakan sebuah dedikasi dan komitmen untuk bersama-sama melakukan
konsolidasi, sekaligus membangun bangunan demokrasi bagi tertatanya pranata
sosial yang, dalam perspektif Antony Giddens, welfare society (masyarakat berkesejahteraan).
Manifestasi dari sebentuk dedikasi dan komitmen
membangun pranata sosial tersebut harus dilakukan dengan kejujuran, bukan hanya
berlandaskan upaya-upaya untuk pemenuhan kemenangan yang dilakukan dengan
menempuh berbagai cara dan mencederai nilai-nilai pranata sosial yang berkembang.
Filosof
Wittgenstein dalam buku Culture and Value
(1984:35)
mengatakan, kejujuran adalah
kebenaran dan kebenaran hanya dapat dikatakan oleh orang yang telah
menghayatinya. Bukan oleh orang yang masih hidup dalam kebohongan.
Artinya, membangun dan mengkonsolidasikan demokrasi prosedural tak cukup
dilakukan dengan teori-teori normatif yang benar secara akademik dan empiris.
Lebih dari itu, upaya tersebut harus ditempuh dengan cara-cara yang jujur dan
benar. Pelaksanaan cara-cara ini lebih bermakna dan bermartabat, karena di
dalamnya mendorong terciptanya sebuah uswah (teladan) yang menyiratkan
nilai-nilai kebenaran. Dus, jangan sekali-kali melakukan kebohongan publik.
Sekali saja itu dilakukan oleh para kontestan Pemilukada dan aktor-aktor yang
terlibat di dalamnya, publik mempunyai cara tersendiri untuk membalasanya, baik
secara politik maupun sosial. [*]
No comments:
Post a Comment