Thursday, September 1, 2011

Local Content

COBALAH sesekali mendengar dengan seksama dan serius apa saja yang menjadi rasan-rasan di kalangan petinggi Pemkab Bojonegoro dan DPRD Bojonegoro saat ditanya apa pendapat mereka mengenai keberadaan minyak bumi dan gas (migas) di Bojonegoro? Jamak diketahui, jawaban yang muncul adalah bagaimana mengoptimalkan peran serta pemerintah daerah, wabil khusus masyarakat Bojonegoro, dalam mendayagunakan migas untuk kemakmuran rakyat.
Kalau ingin mendapat jawaban yang lebih mengerucut, pasanglah telinga, dan buka mata, serta sadap apa yang dimaui masyarakat yang dekat dengan lokasi migas nun di kawasan Kecamatan Ngasem dan Kalitidu, tempat ladang migas tersebut bersemayam: Blok Cepu. Jawaban yang mengemuka ke permukaan niscaya adalah seberapa besar kalangan lokal (local content) dilibatkan dalam pengelolaan migas.
Nyaris seragamnya koor urgensi local content agar dilibatkan dalam proses pengelolaan minyak hampir seperti suara dan nyanyian sumbang, di tengah gegap gempita penyiapan lima megaproyek (EPC) untuk menunjang produksi puncak minyak dari Blok Cepu yang diproyeksikan bakal berlangsung pada 2013 mendatang. Seolah, hembusan local content seperti menjadi daya dorong yang membangun kekompakan untuk menyuarakan bentuk-bentuk ketidakadilan yang selama ini dirasakan Bojonegoro.
Rasanya, tidak terlalu penting untuk mengetahui siapa pihak yang menghembuskan isu pentingnya local content terlibat dalam proses-proses pembangunan yang berhubungan dengan persiapan produksi puncak Blok Cepu. Kesepahaman dan keseragaman untuk menyerukan pentingnya local content, harus disikapi secara arif, sebagai sebuah sikap kritis masyarakat yang selama ini masih melihat adanya bentuk ketimpangan, untuk tidak mengatakan adanya ketidakadilan, dalam pengelolaan migas.
Rasanya, masyarakat sudah tahu bahwa besaran dana coorporate social responsibility (CSR/tanggung jawab sosial perusahaan) yang diberikan operator minyak sejak 2006 hingga sekarang yang ”hanya” Rp 21 miliar ini, masih cukup kecil apabila dibandingkan dengan potensi kerusakan lingkungan, kultur, sosial politik, ekonomi, dan juga mentalitas masyarakat untuk masa depan generasi mendatang.
Sebagian besar masyarakat Bojonegoro juga telah merasakan bagaimana terjadinya suatu
disparitas penerimaan pajak. Hingga sekarang ini, pajak yang diterima oleh Kabupaten Bojonegoro terhadap keberadaan investor pengelola kilang mini (mini refinery) yang mengolah minyak mentah dari Blok Cepu menjadi minyak jadi, teramat minim. Hanya seratus juta lebih sedikit. Itupun hanya untuk pajak bumi dan bangunan (PBB). Padahal, aset, nilai konstruksi, dan manfaat kilang mini tersebut hingga mencapai ratusan miliar bahkan triliunan rupiah. Kemana larinya? Ke pusat.
Dari sisi penerapan regulasi pajak juga tidak berpihak. Selama ini, pembayaran pajak untuk bangunan EPF (early production fasilities) yang terletak di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban hanya mengacu pada nilai jual objek pajak (NJOP), yang berada pada kisaran Rp 10 ribu hingga Rp 11 ribu per meter persegi. Hal ini kontradiktif, karena nilai aset dari EPF mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah. Idealnya, pembayaran pajak EPF mengacu pada taksiran validasi harga kekinian. Apabila hanya mengacu NJOP, dengan mengatasnamakan regulasi, tentu Bojonegoro amat dirugikan. Sementara, segala dampak negatif yang ditimbulkan akan ditanggung Bojonegoro. Baik di masa sekarang, lebih-lebih di masa mendatang.
Belum lagi kalau bicara bentuk-bentuk ketidakadilan lain yang diterima oleh Bojonegoro. Sebut saja, soal lifting minyak, apakah selama ini pemerintah daerah diberitahu? Apakah benar-benar sebesar 25 ribu barel per hari, sebagaimana yang disuarakan selama ini? Siapa yang menjamin bahwa klaim itu benar, toh juga pemerintahan daerah (Pemkab dan DPRD) tidak pernah diberi data pembanding oleh BP Migas maupun operator. Rasanya memang ada semacam sesuatu yang tidak boleh diketahui, meskipun negeri ini sudah memiliki Undang-Undang tentang Kebebasan Informasi Publik (KIP).
Belum lagi kalau bicara soal bagi hasil participating interest (PI/penyertaan modal), dana bagi hasil (DBH) minyak, maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan pengadaan atau pembuatan infrastruktur penunjang eksploitasi Blok Cepu di luar kaki bor yang ada kesan dipersulit. Rasanya, tidak salah kalau kemudian local content menjadi nyanyian koor yang disuarakan oleh berbagai pihak. Karena, local content adalah kulminasi dari semua bentuk ketidakadilan itu sendiri. [*]

No comments:

Post a Comment