Thursday, September 1, 2011

RSI: Dijual atau Dikelola?

Sudah hampir tiga bulan ini perdebatan mengenai mau dibawa kemana Rumah Sakit Internasional (RSI) di Jalan Veteran, Bojonegoro mengemuka di ruang-ruang private dan publik. Keputusan mau diapakan RSI di Jalan Veteran sejauh ini belum menemukan titik singgung yang tepat. Tiga opsi yang ditawarkan, atau lebih tepatnya diajukan Pemkab Bojonegoro kepada DPRD Bojonegoro, sampai detik ini masih gamang, bahkan dapat dikatakan jalan di tempat.
Sejauh ini, DPRD Bojonegoro belum memutuskan untuk mengambil satu opsi atau lebih dari tiga opsi yang diajukan oleh Pemkab Bojonegoro: dikelola sendiri oleh Pemkab Bojonegoro, dikelola bersama pihak ketiga (investor/swasta), atau dijual langsung kepada pihak ketiga. Rupa-rupanya, lembaga legislatif tak mau terjebak dalam ’permainan’ atau ritme yang dimainkan oleh eksekutif dengan pilihan tiga opsi tersebut. Indikasinya, meski permintaan rekomendasi atas tiga opsi tersebut sudah ditawarkan jauh-jauh hari, hingga detik ini belum ada kata sepakat, opsi mana yang diambil.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk memilih mana opsi yang paling rasional. Akan tetapi, tulisan ini akan mengkajinya dari berbagai perspektif, sisi, yang selama ini mungkin saja tidak mengemuka di permukaan, ruang-ruang publik. Tulisan ini akan menganalisis persoalan RSI mulai dari aspek politik (peta politik masa lalu dan masa kini), aspek rencana tata ruang dan tata wilayah (RTRW), sisi hukum, sisi analisis mengenai dampak lingkungan dan kesehatan, aspek nilai manfaat/guna, hingga dari kacamata pandang kemampuan anggaran daerah.

Nuansa Politik
Kajian dari sisi politik, yang merupakan analisis pertama, penulis mulai dari sebelum Pilkada 2007. Kenapa ini menjadi penting, karena menurut penulis, bermula dari sinilah benang kusut pengelolaan RSI di Jalan Veteran, Bojonegoro, bermula. Sehingga, menjadi kurang komprehensif kalau tidak mengkaji sisi politik, saat melihat persoalan RSI.
Penulis beberapa saat lalu pernah berbincang dengan mantan anggota DPRD Bojonegoro periode 2004-2009. Menurut dia, pengusulan anggaran untuk RSI sebenarnya tidak ada dalam dokumen Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja 2006. Padahal, sebagai sebagai sebuah program pembangunan, sudah seharusnya setiap pengeluaran anggaran dari sebuah pemerintahan daerah, diposkan atau ditetapkan dalam dokumen APBD yang kemudian ditetapkan menjadi peraturan daerah (Perda).
Faktanya, tidak seperti itu. Anggaran untuk pembangunan RSI tidak termaktub dalam dokumen APBD. Masih menurut mantan anggota DPRD Bojonegoro periode 2004-2009 tersebut, kalaupun kemudian RSI ini dibangun di Jalan Veteran pada tahun 2006, semua hanya karena berdasar rekomendasi dari komisi B dan komisi D DPRD Bojonegoro yang kemudian diajukan dalam panitia anggaran (Panggar). Oleh Panggar, rekomendasi itu kemudian dilanjutkan dan disetujui agar RSI di Jalan Veteran, dibangun. Dilihat dari proses pengajuan anggaran, dapat dikatakan bahwa proses pengusulan RSI sebagai mal-kebijakan (penyalahgunaan kebijakan). Soal bagaimana implikasi hukumnya, biarlah ranah ini menjadi kewenengan aparat hukum.
Kedua, aspek RT/RW dan hukum. Jika ditelusuri lebih jauh, pembangunan gedung RSI di Jalan Veteran sebenarnya tidak ada dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) periode 2003-2008, yang merupakan blueprint dari pembangunan suatu daerah. Sebab faktanya, gedung RSI mulai dibangun pada tahun 2006, dan selesai tahun 2007. Tentu menjadi sebuah keanehan bila sebuah program pembangunan tak termaktub dalam RPJMD, tetapi tetap saja dibangun. Dari sisi keilmuan manajemen, pembangunan RSI dapat dikatakan sebagai tidak prosedural, karena tidak didahului dengan usulan di dokumen RPJMD. Sebagai perbandingan sederhana, sebuah organisasi kemasyarakatan saja dalam merealisasikan program kerjanya mengacu pada dokumen yang termaktub dalam rencana strategis (Renstra) dan dokumen rencana kerja (Raker).
Dari sisi studi kelayakan (feasibility study) bangunan RSI, juga patut dipertanyakan. Sebab, umumnya studi kelayakan dilakukan setelah anggaran untuk RSI disahkan. Studi kelayakan juga harus dilakukan enam bulan sebelum sebuah bangunan dilaksanakan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No...... Tahun ..... tentang............, yang menyebutkan bahwa studi kelayakan sebuah bangunan dibuat 6 (enam) bulan sebelum bangunan RSI dikerjakan. Faktanya, studi kelayakan gedung RSI dilaksanakan justru setelah gedung RSI mulai dibangun di Jalan Veteran. Sebuah kejanggalan yang perlu dijadikan bahan perenungan sebelum mengambil keputusan..!
Akibat ketidakjelasan konsepsi dan perencanaan pembangunan gedung RSI di dalam dokumen RPJMD, implikasinya penganggaran untuk RSI pun menjadi tidak terkontrol. Hal ini dapat dilihat dari adanya ketidaksamaan taksiran harga bangunan RSI saat hendak diaudit Pemkab Bojonegoro. Ketidaksamaan itu bisa dibaca dengan jelas antara taksiran harga bangunan RSI yang dilakukan Manajemen Konstruksi (MK) yang menaksir Rp 89 miliar yang harus dibayarkan Pemkab Bojonegoro kepada kontraktor, tim ITS Surabaya menaksir seharga Rp 100 miliar, dan versi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menaksir Rp 110 miliar. Sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tak mengeluarkan taksiran harga, karena sampai saat ini tidak mau melakukan audit gedung RSI tersebut. Ketidaksamaan taksiran harga ini jelas-jelas menunjukkan adanya dugaan ketidakberesan dalam proses pembangunan RSI.

Amdal dan Kesehatan
Aspek ketiga, yakni dari sisi analisis mengenai dampak lingkungan dan kesehatan atau Amdal dan kesehatan, penentuan lokasi RSI di Jalan Veteran, juga mengundang suatu perdebatan yang tidak sederhana. Sebab, lokasi RSI sangat berdekatan dengan lapangan Sukowati Pad B di Desa Ngampel, Kecamatan Kapas, yang dikelola oleh Joint Operating Body Pertamina PetroChina East Java (JOB P-PEJ).
Penentuan lokasi ini mengundang sebuah tanya, mana yang lebih dulu dibangun, RSI di Jalan Veteran-kah atau lapangan Sukowati Pad B. Dengan tak bermaksud untuk membela siapapun, berdasar catatan penulis, JOB P-PEJ sudah mengajukan izin pelebaran sumur, khususnya lapangan Sukowati Pad B pada 2004, dan kemudian dilanjutkan pembangunan Pad B pada tahun 2005. Sedangkan RSI di Jalan Veteran baru dibangun pada tahun 2006, dan selesai pada tahun 2007.
Jika ditelusuri lebih jauh, penentuan lokasi RSI di Jalan Veteran dilandasi unsur gegabah, karena sebelumnya tidak didasari atau didahului dengan studi kelayakan. Andai sebelum ditentukan tempatnya didahului dengan studi kelayakan, bisa jadi gedung RSI tidak akan ditempatkan di titik yang berdekatan dengan lapangan Sukowati Pad B, karena hampir bisa dipastikan, Pemkab Bojonegoro (pada waktu itu) sudah mempunyai gambaran riil kalau lokasi tersebut akan digunakan untuk Pad B, karena sebelumnya JOB P-PEJ telah mengajukan izin pengembangan sumur, jauh-jauh hari. Namun, apalah daya. Nasi sudah menjadi bubur, gedung RSI hanya berjarak sekitar 125 meter dari Pad B. Dan siapapun tahu, sumur minyak berpotensi memicu ledakan sebagaimana peristiwa tahun 2005 silam.

Nilai Manfaat dan Kemampuan Daerah
Aspek keempat adalah tinjauan dari nilai manfaat dan kemampuan daerah. Sebagaimana dimaklumi bersama, saat ini kondisi RSUD dr R. Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro sudah overload. Sehingga, membutuhkan sebuah bangunan RSUD yang lebih luas dan lebih representatif. Akibat overload dan overcapacity, banyak pasien mengeluhkan soal pelayanan yang diberikan pihak RSUD.
Sekalipun saat ini Pemkab Bojonegoro memiliki gedung RSI, tetapi bukan merupakan jawaban kalau kemudian RSUD pindah ke gedung RSI. Ada beberapa faktor yang jadi alasan kenapa penulis menilai tidak mungkin pindah ke RSI. Selain faktor status RSI yang masih rawan bermasalah (dan juga hukum?) sebagaimana alasan-alasan di atas, rasa-rasanya RSI saat ini masih belum merupakan jawaban atas kebutuhan RSUD yang sering mengalami overload.
Mengapa? Sebab, secara faktual dan menilik kondisi sosio-ekonomi dan sosio-kultural warga Bojonegoro adalah kelas menengah dan ke bawah. Kalaupun sekarang ini PDRB (Product Domestic Regional Brutto) Bojonegoro meningkat dibanding tahun lalu, namun dari sisi pertumbuhan ekonomi, bisa saja menggumpal di satu segmen. Sedangkan dari sisi pemerataan ekonomi, Bojonegoro masih tergolong sebagai kabupaten dengan angka kemiskinan yang cukup tinggi. Sehingga menjadi kurang relevan kalau RSUD disulap menjadi RSI yang tentu di kemudian hari akan menyesuaikan standar-standar paten dari rumah sakit yang berstandar internasional.
Sedangkan kelima, dari sisi kemampuan alokasi anggaran dari daerah, untuk mengoperasionalkan RSI agar sesuai standar, dibutuhkan anggaran sedikitnya Rp 258 miliar pada APBD 2012. Alokasi anggaran itu sifatnya harus langsung, tidak bisa diangsur, mengingat kebutuhan sebuah rumah sakit yang memang satu paket, dan tidak bisa dipisahkan. Pertanyaannya adalah, apakah daerah mampu menganggarkannya tahun depan?
Sebagai perbandingkan, pada APBD 2011 yang total anggarannya sekitar Rp 1,4 triliun, dan juga APBD-APBD tahun sebelumnya, 60 persen anggaran APBD habis digunakan untuk belanja rutin seperti gaji pegawai. Artinya, untuk belanja pembangunan hanya tersisa Rp 38 persen. Itupun masih dibagi-bagi secara merata untuk dana hibah, dana perbaikan infrastruktur dan anggaran penanggulangan bencana. Jika kemudian sisa dana tersebut digunakan atau tersedot untuk RSI, bisa dibayangkan anggaran untuk perbaikan infrastruktur menjadi terkurangi. Karena itu, bisa dimaklumi kalau kemudian para Kades di berbagai wilayah menolak pengoperasian RSI melalui APBD. Artinya, mereka setuju agar RSI dijual kepada pihak ketiga.

Urgensi Tim Appraisal
Dari berbagai reasoning-reasoning di atas, rasanya cukup masuk akal kalau kemudian pilihan atau jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan RSI di Jalan Veteran adalah dengan jalan dijual kepada pihak ketiga, dengan catatan tidak boleh digunakan untuk rumah sakit, mengingat pertimbangan-pertimbangan di atas.
Namun, sebelum penentuan taksiran harga jual RSI dilakukan, sebagai pertimbangan demi menghindari kesalahan dan risiko hukum di kemudian hari, alangkah baiknya bila Pemkab Bojonegoro membentuk Tim Appraisal independen yang disewa khusus untuk menaksir harga jual RSI, sebagaimana dilontarkan oleh Kepala DPPKA Herry Sudjarwo beberapa waktu yang lalu. Meski demikian, prosedur dan proses penjualannya harus dengan transparan, akuntabel, melalui lelang secara terbuka. Proses penjualannya juga harus diawasi dan melibatkan banyak pihak agar jaminan keterbukaannya ada.
Taruhlah misalnya, berdasar taksiran Tim Appraisal independen harga jual RSI adalah Rp 110 miliar, sesuai dengan taksiran BPKP. Dana itu selanjutnya bisa untuk disimpan di Bank Jatim sebagai deposito dengan bunga 50 persen. Bunga itulah yang nantinya bisa digunakan untuk dana tambahan untuk perbaikan infrastruktur daerah yang selama ini masih buruk dan dikeluhkan publik. Atau, bisa juga digunakan untuk biaya dan belanja pembangunan untuk pos lainnya.
Rasanya, dalam menyikapi polemik RSI di Jalan Veteran, harus disikapi dengan arif dan bijaksana oleh semua pihak yang berkepentingan, tidak hanya oleh Pemkab dan DPRD Bojonegoro, dengan menanggalkan semua kepentingan subjektif yang ada, termasuk juga kepentingan politik, dengan melihat pertimbangan-pertimbangan lain yang lebih rasional dan bermanfaat. Andai cara pandang multiaspek dan mulperspektif yang digunakan untuk melihat polemik RSI, rasanya jalan keluar untuk RSI tidak perlu dipolemikkan. (*)

No comments:

Post a Comment