Thursday, September 1, 2011

Petani dan Kutukan Kemiskinan

BERBICARA tentang petani dan pertanian Bojonegoro tampaknya tidak bisa dilepaskan dari peta kemiskinan yang nyaris sudah mendarah daging. Ibaratnya, antara petani dan kemiskinan seperti sudah menjadi kutukan yang sulit untuk dilepas dari takdirnya. Pada masa lalu, petani dan kutukan kemiskinan terletak pada keterbatasan sumber daya alam dan sumber daya manusia (SDM) petani kala itu untuk mengelolanya, sehingga petani selalu terjebak dalam kubangan kemiskinan. Di masa kini, lingkaran kemiskinan tersebut melilit pada ketiadaan, atau setidaknya minimnya akses petani untuk terbebas dari peta kemiskinan melalui serangkaian kebijakan yang pro-poor.
Ihwal kutukan kemiskinan petani di Bojonegoro ini jauh-jauh hari sudah diungkapkan C.L.M. Penders, ilmuwan Department of History University of Queensland, Australia. Dalam penelitian panjangnya yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Bojonegoro 1900-1942: Kisah Kemiskinan Endemik di Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur (diterjemahkan dari judul asli Bojonegoro 1900-1942: A Story of Endemic Poverty in North-East Java-Indonesia), Penders menjelaskan fakta kemiskinan itu sudah melilit petani Bojonegoro sejak masa lampau.
Menurut Penders (1984:8), dalam literatur kolonial Belanda, daerah Bojonegoro selalu digambarkan sebagai salah satu daerah termiskin dan paling terbelakang di Pulau Jawa. Tanahnya kebanyakan tandus dan hampir tidak ada irigasi atau pekerjaan mitigasi banjir. Di luar lembah-lembah sungai yang subur di distrik Pelem dan Baureno, lahan pertanian Bojonegoro berkualitas buruk dan terdiri atas tanah liat dengan kandungan kapur yang tinggi dan kurang fosfat.
Hujan deras menyebabkan tanah di kawasan ini tergenang, sehingga kekurangan udara dan mengakibatkan pembusukan akar batang padi. Selama musim kemarau tanahnya selalu mengering dan menimbulkan rekahan besar, kadang hingga sedalam 5 meter. Tetapi daerah yang subur di dekat bengawan Solo juga sering menjadi sia-sia terkena banjir selama musim hujan.
Ketergantungan yang hampir mutlak pada kerasnya cuaca ini membuat pertanian di Bojonegoro sebagai sebuah bisnis penuh risiko. Gagal panen dan kelangkaan pangan merupakan hal yang umum terjadi di Bojonegoro. Untuk mengurangi kemungkinan kelaparan yang disebabkan gagal panen, petani di wilayah Bojonegoro sejak dahulu kala (sampai kini) menanam palawija di lahan kering (tegalan) mereka. Mereka menanam tanaman pokok seperti jagung, dan juga tembakau yang dijual di pasar domestik Jawa.

Tergerusnya Lahan Pertanian
Dalam kondisi kekinian, bahkan jauh setelah negeri ini merdeka, proteksi dalam bentuk kebijakan yang membela kepentingan petani masih jauh panggang dari api. Alih-alih bisa memproteksi, fakta yang terjadi lambat laun luas areal pertanian (sawah maupun tegalan) yang sebenarnya merupakan basis mutlak dan fundamental untuk terciptanya ketahanan pangan daerah maupun nasional, terus menyusut, tergerus dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data Bojonegoro dalam Angka yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) Bojonegoro, pada tahun 1996 luas tanah sawah di Bojonegoro mencapai 76 ribu hektare lebih. Sebagian besar dari lahan tersebut, yakni 61,35 persen, adalah sawah tadah hujan yang hanya dapat ditanami padi lebih dari satu kali dalam setahun. Ini berarti kebijakan untuk mendorong agar pemerintah daerah mampu `menaklukkan` alam yang gersang menjadi kekuatan yang mampu menjadi penopang ketahanan pangan masih belum maksimal dijalankan, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali.
Bahkan, kecenderungan tergerusnya lahan pertanian dari tahun ke tahun semakin tampak di depan mata. Berdasarkan hasil pendataan BPS Bojonegoro yang dituangkan dalam buku Bojonegoro dalam Angka 2004, dibandingkan pada tahun 1996 dengan 2004, luas tanah sawah di Bojonegoro mengalami penyusutan yang cukup signifikan. Pada 1996, luas tanah sawah di Bojonegoro masih mencapai 76 ribu hektare lebih.
Namun, pada 2004 luas tanah sawah di Bojonegoro menjadi 71,44 ribu hektare atau berkurang hingga 5.000 hektare (sekitar 7 persen) daripada delapan tahun sebelumnya. Dari jumlah itu, hanya 20 persennya sawah dengan pengairan teknis, 8,4 persen sawah setengah teknis, dan sisanya tadah hujan. Tergerusnya lahan sebagian besar karena terkonversi menjadi lahan untuk permukiman, dan pertambangan minyak bumi dan gas (migas).
Jumlah lahan untuk pertanian pada 2004 tersebut terus mengalami penyusutan. Sebab, sejak 2004 hingga kini, sebagian lahan pertanian yang berada di kawasan migas, baik di wilayah Kecamatan Ngasem dan Kalitidu yang masuk Blok Cepu, maupun di wilayah Kecamatan Kapas dan Kota Bojonegoro yang masuk lapangan Sukowati, juga dikonversi menjadi lahan untuk kepentingan industri.
Khusus hingga pertengahan 2011 ini saja lahan pertanian di empat kecamatan tersebut (Ngasem, Kalitidu, Kapas, dan Kota Bojonegoro) yang terkonversi menjadi lahan industri berkurang hingga sekitar 700 hektare. Tidak menutup kemungkinan luas lahan pertanian yang terkonversi tersebut akan semakin meluas, karena pada 2013 Blok Cepu ditargetkan akan mencapai puncak produksi minyak, sehingga membutuhkan lebih banyak lagi lahan yang akan dipergunakan untuk berbagai fasilitas serta sarana dan prasarana yang mampu menunjang masifitas maupun mobilitas produksi migas Blok Cepu.

Regulasi yang Memihak
Mengacu fakta-fakta di atas, di luar untuk kepentingan nasional, dapat dianalisis bahwa salah satu penyebab semakin meluasnya tanah yang dikonversi menjadi lahan industri karena lemahnya proteksi pemerintah dalam mempertahankan sumber produksi untuk ketahanan pangan. Sehingga tidak heran kalau kemudian berita mengenai gagal panen (puso), serangan hama, hingga ancaman krisis pangan menjadi berita-berita utama atau headlines di media massa.
Padahal, dalam penjelasan pasal 14 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria disebutkan, untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat dan negara, yang termasuk dalam hal ini adalah ketersediaan dan ketahanan pangan.
Planning itu mencakup rencana umum (national planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana khusus (regional planning) dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya planning itu, maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan rakyat, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 33 UUD 1945.
Sejauh ini, regional planning pemerintah daerah untuk menciptakan stabilitas ketahanan pangan dalam bentuk regulasi masih belum terlalu tampak. Faktanya, kesan yang muncul pemerintah daerah sedemikian mudah memberikan izin kepada pihak-pihak yang ingin mengkonversi lahan pertaniannya menjadi lahan industri, tanpa mempertimbangkan akan dampaknya pada stabilitas ketahanan pangan daerah dan nasional.
Bisa jadi, kita perlu merenungkan sinyalemen Penders (1984:16) bahwa pada tahun 1900, rakyat Bojonegoro mungkin lebih sengsara daripada era tanam paksa selama tahun 1840 an. Karena, perusahaan swasta telah gagal memutus lingkaran setan penderitaan ekonomi di Bojonegoro. Pasca itu, giliran pemerintahan kolonial berpartisipasi aktif dalam urusan ekonomi dan sosial di daerah ini melalui implementasi kebijakan yang disebut politik etik (ethische politiek) yang sangat dipengaruhi pemikiran sosialis sekuler dan religius yang menguasai panggung politik belanda waktu itu. Akankah kini giliran petani Bojonegoro mengalami neo-kutukan kemiskinan melalui perusahaan-perusahaan swasta yang akan dan sedang memproduksi migas? (*)

Ujung Blok Lingkar, 15 Agustus 2011

*) Tayang di Tabloid blokBojonegoro Halaman 18, Edisi: September.2011

No comments:

Post a Comment