Thursday, September 1, 2011

Membela Kepentingan Petani

HAL terpenting yang perlu direnungkan bersama sebagai bahan evaluasi sekaligus juga refleksi dalam memperingati Hari Petani pada September adalah sudahkah negara memberikan proteksi yang menyeluruh kepada kehidupan petani. Apabila pertanyaan tersebut diajukan kepada petani secara langsung, niscaya akan didapati jawaban: tidak ada. Bukan bermaksud pesimis dan tidak percaya (apatis) terhadap apa yang selama ini sudah dilakukan oleh pemerintah, faktanya nasib petani dari masa ke masa, dari tahun ke tahun, tidak pernah beranjak dari jurang kesengsaraan, kenestapaan. Betapa potret petani secara keseluruhan dan kemiskinan bagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Sebagai contoh, dalam beberapa waktu terakhir, di Bojonegoro berita yang menceritakan tentang derita petani, nyaris tidak pernah habis. Saat memasuki masa panen beberapa waktu lalu, ribuan petani di Bojonegoro mengeluhkan tentang ketiadaan harapan pada lahan padi mereka, karena ludes diserang hama wereng. Serangan hama wereng yang menyerang nyaris seperti pagebluk, yang mengganas dan meranggasi semua tanaman padi petani, nyaris seperti tidak tersisa. Petani mengalami gagal panen alias puso. Ribuan hektare lahan pertanian tidak bisa dipanen.
Seperti kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Di saat kerugian sudah berada di ambang mata, petani tetap saja menjadi pihak yang selalu dikalahkan dan tidak berdaya. Seolah tidak mau disalahkan, pemerintah dengan enteng mengatakan gagal panen atau pagebluk pertanian di banyak daerah, termasuk di Bojonegoro, kebanyakan disebabkan petani enggan menuruti saran dan masukan dari PPL (pegawai penyuluh lapangan) Dinas Pertanian mengenai pengaturan pola tanam pada sawahnya.
Alibi pemerintah, masa yang seharusnya digunakan untuk menanam tanaman palawija, oleh para petani masih diabaikan. Para petani justru menanam padi. Padahal, mengacu rumus teknis dalam pertanian, dengan menanam palawija maka siklus perkembangan hama (khususnya wereng) akan terputus. Akan tetapi karena tetap ditanami padi, hama wereng tetap subur berkembang hingga menjadi ancaman yang menebar teror dan kemiskinan yang berkepanjangan.
Memang secara sekilas seolah petani salah dalam tragedi pertanian ini. Akan tetapi jika diteliti lebih jauh, sebenarnya petani tidak melulu salah. Persoalannya, adalah sejauh ini pemerintah tak terlalu banyak memberikan penjelasan secara detail kepada petani mengenai kemungkinan-kemungkinan buruk tersebut. Kalaupun dilakukan, sejauh ini tidak dijadikan sebagai gerakan yang menyeluruh dan dengan metode yang mudah dipahami oleh petani, sehingga akan menjadi perhatian tersendiri bagi petani. Yang terjadi, petani menanggung sendiri beban kerugian itu.
Persoalan di atas hanyalah satu di antara banyak problem yang melingkupi petani dan dunia pertanian itu sendiri. Di luar gagal panen dan serangan hama wereng, problem klasik lain yang acap melingkupi petani adalah persoalan distribusi pupuk yang hampir selalu fluktuatif, dan bahkan terkesan hanya menjadikan petani sebagai komoditas kapitalisasi ekonomi.
Persoalan lainnya adalah harga hasil panen yang nyaris selalu anjlok dari tahun ke tahun, hingga minimnya kebijakan yang pro petani, semisal proteksi ketat terhadap komoditas beras impor, gula impor, dan lain sebagainya yang akan mengancam kelangsungan produk lokal. Benar bahwa sekarang adalah era perdagangan bebas yang memungkinkan setiap negara untuk masuk dan bebas melakukan perdagangan.
Akan tetapi, disinilah justru peran negara mutlak dibutuhkan oleh petani dengan cara melakukan proteksi ketat komoditas yang masuk, sekaligus menerapkan kebijakan yang benar-benar pro dan membela kepentingan petani. Keterlibatan negara, termasuk pemerintah daerah untuk memberi proteksi terhadap petani dan produk-produksnya juga merupakan bagian dari tanggung jawab negara untuk memberi jaminan keselamatan dan kesejahteraan terhadap rakyatnya, sebagaimana tertuang dalam pasal 33 UUD 1945. Belum lagi problem semakin menipisnya lahan pertanian di Bojonegoro yang sebenarnya juga membutuhkan perhatian serius dari pemerintah, karena hal ini menyangkut sentral produksi ketahanan pangan.
Kita semua tentu tidak ingin petani selalu menjadi tumbal kemajuan dan perkembangan pesat dari sebuah negara. Sebab, jika petani sampai melakukan perlawanan dengan cara mereka sendiri, misalnya melakukan pembangkangan sipil atau boikot tanam, tidak bisa dibayangkan betapa dahsyatnya dampaknya. Karena, sejatinya merekalah sebenarnya tulang punggung perekonomian nasional. Sekali mereka bergeliat dan melawan, maka stabilitas ketahanan pangan nasional akan benar-benar terancam. Tentu kita tidak ingin bukan? Sekaranglah saatnya membela secara konsisten kepentingan petani, kepentingan tulang punggung bangsa. [*]

No comments:

Post a Comment